“Yuda sama Raja sangat persis seperti papa mereka,” komen Lyssa, melihat kedua anaknya yang sling berlomba.
“Sepertiku pasti,” balas Rainier terengah.
“Hahaha, iya iya, papanya Yuda dan Raja. Unch unch sayang banget!” Lyssa bahagia mengecupi pipi suaminya, menambah semangat untuk Rainier.
“Daddy! Aku sampai duluan!” teriak Yuda. Berhenti di depan gerbang rumah.
“Aku duluan!” balas Raja.
“Sayang, kalau kalah harus ngaku kalah,” kata Lyssa.
Langsung deh Raja yang memang tiba setelah kakaknya itu nangis kejer, meraung-raung di depan gerbang. Baby sitter yang sudah menunggu di depan gerbang sampai dilema, ingin menolong tapi bagaimana, sedang ada Rainier dan Lyssa.
Meski anaknya menangis, Rainier sama sekali tak menurunkan Lyssa dari punggungnya. Dia mengelus bangga kepala Yuda. “Selamat. Sudah menang. Kamu kuat sekali.”
"Hehe, thank you, Daddy," balas Yuda. Tersenyum bahagia saat dipeluk papanya. Makin kejer lah Raja meraung-raung.
“Raja sini, berhenti menangis. Kalah menang tidak masalah, masih ada esok hari," panggil Rainier.
"Hiks. Hiks."
Raja sebenarnya masih ingin menangis, tapi melihat kakaknya sudah nemplok memeluk kaki Rainier, dia pun iri, menangis sesenggukan sembari memeluk kaki papanya yang satu lagi.
Lyssa di punggung, Yuda dan Raja di kedua kakinya. Ketiga orang tersebut adalah harta terindah untuk Rainier.
"Hah. Hah. Hah." Napas Rainier pendek-pendek. Meski begitu tetap lanjut berjalan. Tersenyum kecil kala Raja dan Yuda kembali akur berbisik-bisik.
“Nanti jam makan siang, aku samperin ke kantor,” bujuk Lyssa.
Lyssa dan Rainier adalah pasangan m***m, tak perlu ditanya mereka mau ngapain di kantor.
“Sama besok,” balas Rainier, menapaki tangga rumah, masih dengan istri dan kedua anaknya yang menempel bak koala.
“Hehehe, oke," balas Lyssa ceria. Ia kecupi leher suaminya.
***
Ditinggal Rainier bekerja, bukan berarti Lyssa bisa santai. Kedua anaknya adalah cucu-cucu dari keluarga ternama.
Evan Ageng Sanjaya, mantan kekasihnya dulu, dia adalah putra tunggal dari Keluarga Sanjaya, pemilik perusahaan investasi terkenal di Indonesia. Sementara Rainier, meski dia memilih untuk memulai usaha sendiri, keluarga besar Rainier adalah pemilik rumah sakit nomor satu di Indonesia. Sementara ayah Lyssa sendiri adalah pengusaha sukses tanah air.
Tentu saja, Lyssa sebagai ibu harus mempersiapkan anak-anaknya untuk menjadi yang terbaik.
“Yuda sayang, lihat Mama. Apple,” kata Lyssa, memperlihatkan gambar besar yang dia pegang.
Yuda yang tadi diam-diam main mobil-mobilan di bawah mejanya langsung menirukan ibunya, “Apple.”
“Sekali lagi, Apple.”
“Apple.”
“Raja,” panggil Lyssa.
Jika Yuda main mobil-mobilan di bawah meja, beda lagi sama Raja. Bocah itu sudah keliaran dengan mobil pemberian kakeknya.
“Ini gambar apa, Sayang?”
Raja jeda meng-“Wiu wiu,” mobilnya, melihat gambar yang dibawa mamanya. “Itu buah apel!” teriak Raja.
“Bahasa Inggrisnya?”
“Uh. Uh.” Raja celingukan, tak sabar ingin lanjut main.
“Raja, lihat Mama. Apple.”
“Uh. Apel.”
“Apple.”
“Apel.”
Raja terus-terusan salah. Kakaknya sampai turun tangan, datang ke adiknya untuk berbisik memberitahu adiknya. “Apple,” bisik Yuda, menangkup wajah adiknya.
“Uh.. Apple!”
Akhirnya. Bisa juga Raja.
“Sekali lagi, Nak,” panggil Lyssa.
“Apple!”
“Good. Nice.”
Selesai kata ‘apple,’ mereka berlanjut ke buah yang lain, terus begitu sampai jam belajar selesai.
“Mommy! Bunga apa ini?” teriak Raja.
“Anggrek, Sayang.”
“Mommy! Bunga apa ini?” ganti Yuda yang bertanya.
“Mawar, Sayang.”
Setiap hari Lyssa menyiram bunga, setiap hari juga Yuda dan Raja selalu bertanya. Tak pernah bosan mereka bertanya ini dan itu. Meskipun pertanyaan mereka kebanyakan sama dan berulang setiap hari.
Mumpung Raja dan Yuda sedang semangat, selesai snack time, Lyssa sekalian mengajari anak-anaknya main piano.
“Mommy, haus,” kata Raja.
Baby sitter yang stand by menemani, langsung pergi mengambilkan minum.
Menjadi baby sitter untuk Raja dan Yuda bisa dibilang bukan pekerjaan yang sulit. Apalagi Lyssa yang full di rumah. Anak-Anak mandi sama makan pun lebih suka jika diladeni mama mereka. Lyssa juga baik, sering menyuruh para pembantu istirahat jika memang sedang tidak butuh. Itulah kenapa para pelayan di rumah Rainier sangat betah dan kerasan. Apalagi Lyssa juga sering bagi-bagi bonus.
“Selesai lagu Pororo ini kita makan siang,” kata Lyssa. Dia sabar dan telaten menyuapi anaknya minum bergantian.
“Yay!” jawab para bocah bersamaan.
Selesai makan siang dan memandikan anak-anak, Lyssa akhirnya punya juga kesempatan untuk rebahan, meninabobo anak-anak sampai ikut terkantuk.
“Nyonya, maaf, Nyonya-”
Lyssa bergeliat bangun, melihat Dian di sisi ranjang.
“Ada apa?” tanya Lyssa berbisik, baru terasa ngantuk dan capeknya.
“M-Maaf, tapi tadi Tuan Rainier menelfon, menanyakan kabar Nyonya dan anak-anak. S-Saya takut mungkin ada apa-apa.”
Lyssa mengucek mata, duduk bersandar di sandaran kasur.
“Nggak ada apa-apa sih. Rainier nelfon baru atau sudah lama?” tanya Lyssa, memeriksa hanpdhone.
“Baru kok, Nyonya.”
“Emm,” gumam Lyssa. Dia melihat beberapa panggilan tak terjawab dari suaminya. Sepertinya pas Lyssa sedang memandikan anak-anak tadi. Lyssa pun menghubungi suaminya.
“Iya, Mas?” tanya Lyssa.
“Oh, iya, Lyss. Sudah makan?”
“Sudah kok. Mas sudah?”
“Ini lagi makan.”
“Aku temani,” tawar Lyssa.
“Makasih. Ganti video call, Yang.”
“Ya.”
Dian yang merasa tidak diperlukan pun keluar, istirahat di kursi depan kamar anak-anak.
Lyssa tengkurap, meletakkan handphone-nya bersandar di bantal sembari memeluk kedua anaknya. Ia temani suaminya makan dalam diam.
“Kok nggak makan di kantin?” tanya Lyssa.
Rainier menyelesaikan dulu kunyahannya sebelum menjawab, “Beneran lupa?”
“Apa?”
“Hah.” Rainier pasrah mengembuskan napas. “Ya sudahlah,” katanya.
“Apa, Mas?” desak Lyssa.
“Adek lupa ya? Katanya jam makan siang mau main ke kantor?”
“Oh iya, Mas! Lupa! Beneran lupa. Nanti aku jemput deh sama anak-anak.”
“Bener ya?”
“Iya. Ini anak-anak baru selesai mandi terus bobok.”
“Coba lihatin ke kamera.”
Lyssa mengambil handphone-nya, memperlihatkan dua anaknya yang pulas tidur.
“Aku kirim foto bentar ke grup sama Evan.”
“Ya.”
Mau cemburu atau apapun, Rainier hanya bisa mencoba untuk tidak egois. Orang dia yang nyulik Lyssa dulu pas Lyssa akan nikah sama Evan. Tanpa memastikan jika Lyssa tengah hamil atau tidak, Rainier menikahi Lyssa begitu saja. Jadilah Raja dan Yuda meski kembar namun dengan ayah yang berbeda.
“Mas, Mas. Kata Evan di grup, fotonya Yuda lucu banget! Gemesin kayak fotonya Evan pas kecil dulu,” ujar Lyssa, membacakan pesan w******p dari Evan.
Rainier yang tak mau kalah pun membalas di grup. “Raja juga sangat menggemaskan, tampan seperti papanya.”
Balas Evan, “Jangan sampai nanti pas gede, jadi tukang rebut cewek orang juga seperti papanya.”
Lyssa langsung panik. Dia hendak mengunci grup, tapi pas banget sama Yuda bangun, minta diantar pipis.
Duh, panik Lyssa, menggendong putranya secepat kilat ke kamar mandi. Begitu selesai menidurkan Yuda lagi, sudah banyak chat-chat panas Rainier dan Evan.
Rainier, “Siapa yang rebut siapa? Lyssa cewek gue dari awal, Njir.”
Balas Evan, “Cewek lo?? Lo lupa? Gua pacar pertamanya Lyssa. Pertama dan satu-satunya sampai lo datang!”
Rainier, “Oh? Pacar pertama? Yang pertama nyakitin Lyssa kan? Emang pantesnya Lyssa sama gue. Yang bisa jagain Lyssa ya cuma gue.”
“Lo pikir gua nggak tahu? Lo nikah sampai sekarang juga gak dapat restu kan? Lo pikir yang kayak gitu nggak nyakitin??”
“Lyssa nikah sama gue, bukan sama emak gue.”
“Alesan. Bentar lagi lo bosan paling juga lo tinggalin mamanya Yuda.”
“f**k. Lo kalo ngomong yang bener!”
“Emang bener kan? Atau jangan bilang, tiap hari lo ungkit-ungkit Lyssa yang hamil anak gua? Nggak terima gua udah hamilin Lyssa?”
Lyssa dengan tangannya yang basah dari toilet bergegas mengunci grup, membuat kecewa Rainier yang tengah ‘mengetik’ tapi tak sampai mengirim ketikannya di grup. Wanita itu lanjut membuka layar video call yang sempat terjeda.
“Mas?” panggil Lyssa takut-takut.
“Mas nggak papa kan?”
Rainier di seberang kesal sekali. Tidak nafsu melanjutkan makan siangnya.
Sobat karib Rainier, Leo dan Ragil, yang kini bekerja untuk Rainier masuk ruangan Rainier, menemukan teman mereka yang jelas sekali tengah tensi.
“Ada apa woi?” tanya Leo, duduk di sebelah sahabatnya.
“Mas?” panggil Lyssa lagi.
Rainier menarik napas dalam, bersandar di sofa ruang kerjanya. Wajahnya masih terlihat bad mood saat dia melihat Lyssa lagi di layar.
“Kenapa jutek begitu? Kan berantemnya sama Evan bukan sama aku,” kata Lyssa.
Rainier terus dan terus menghela napas. Kedua temannya sampai kepo, ikutan video call melihat Lyssa.
“Lihatin si kembar dong, Lyss!” teriak Ragil.
Lyssa memperlihatkan kameranya ke arah si kembar.
“Si Raja makin gembil aja pipinya. Apa dulu Rainier kayak gitu ya? Hahaha.”
Tawa Ragil dan Leo lumayan juga untuk mencairkan suasana. Nanya ini itu ke Lyssa sampai Rainier mengusir mereka.
“Udah ya, Yang. Aku lanjut kerja dulu,” kata Rainier.
“Udah nggak marah lagi?”
“Nggak kok.”
“Oke deh, nanti pulang aku jemput.”
“Siip. Nanti makan malam di luar ya? Aku mau mampir Limitless bentar.” Limitless adalah nama klub malam milik Rainier, sudah ada dua cabang sekarang.
“Okay. See you,” balas Lyssa.
“See you too. Kiss kiss.”
“Kiss.”