bc

Shoulder

book_age16+
305
FOLLOW
1.3K
READ
love after marriage
brave
drama
sweet
bxg
mystery
ambitious
female lead
city
friendship
like
intro-logo
Blurb

Permainan cinta detektif amatir yang baru menikah di usia tiga puluh tahun. Citra Mayangsari seorang staf keuangan di pabrik kertas bersama Panji Sasena sang pemilik restoran, berusaha mencari arti cinta dalam perjalanan memecahkan kasus misteri. Bukan uang yang mereka cari, melainkan kepuasan hati saat menjadi penyelamat tanpa pamrih.

Mereka tetangga sekaligus teman sejak kecil. Tidak punya ambisi soal cinta membuat mereka terpaksa menikah di usia yang tak lagi muda. Polos dan lucunya kisah mereka terselip di setiap misteri. Bagaimana perjalanan mereka? Di saat uang bukan segalanya dan cinta tak tahu arah, mereka membuat pilihan untuk melangkah ke jalan penuh masalah.

Cover by Dimas Priyanto

Font : Another Hand by PicsArt, Milasian Circa by PicsArt

chap-preview
Free preview
Prolog
 Gemericik air dari kamar mandi terdengar sampai dapur. Pintu sengaja terbuka karena Citra takut gelap. Wajahnya penuh sabun. Tiba-tiba air di keran berhenti. Citra membuka sedikit matanya, ternyata seluruh lampu di rumah padam.  "Panji, ini mati listrik, ya?" Citra berteriak sambil meraba tembok mencari handuk.  Pengantin baru tepat di malam pertama mereka mengalami masalah listrik. Panji yang ada di dapur sedang menyeduh teh pun kaget.  "Kayaknya iya," jawab Panji santai.  "Apa? Aku nggak dengar!" Citra sedikit berteriak seraya mengusap wajahnya dengan handuk. Dia keluar meraba pintu kamar mandi, lalu menuju dapur. Samar-samar terlihat punggung orang yang mulanya teman kini menjadi suaminya.  Citra mendesah, "Menyebalkan!"  Berputar arah sengaja menghentakkan kaki dan masuk kamar. Panji menoleh tanpa ekspresi mendengar hal itu. Dia pun pasrah menuju ruang tamu. Teh hangat dibiarkan begitu saja. Panji memaksakan diri untuk tidur di sofa.  Pukul sepuluh malam setelah resepsi selesai, pura-pura tersenyum bahagia sudah tidak lagi terpancar. Hati mereka dilanda gelisah terutama Citra Mayangsari. Gadis berusia 30 tahun itu bekerja sebagai pegawai keuangan di pabrik kertas Surabaya. Sengaja tidak menikah lantaran tidak ada niat untuk menjalin hubungan asmara. Ambisinya hanyalah kedua orang tuanya bahagia dan semua kebutuhan mereka tercukupi. Dirinya sendiri tidak dipedulikan.  Rambut hitam kecokelatan sebahu, mata yang besar, dan warna kulit kuning langsat. Citra bahkan tidak tahu caranya berdandan. Dia hanya menggunakan bedak bayi dan pelembab bibir agar tidak terlalu pucat. Pernikahannya sangat singkat. Acara lamaran sampai resepsi bisa diselesaikan dalam satu minggu. Masa cutinya masih ada tiga hari. Dia bingung berada satu rumah dengan Panji Sasena.  Orang yang selalu bermain dan mengusiknya waktu kecil. Menjaga dan membuatnya marah sewaktu remaja. Sekarang menjadi suaminya. Tidak ada rasa suka sama sekali. Hanya pasrah menuruti orang tua dan usia yang tidak lagi muda untuk menikah.  Jarak antara ruang tamu dan kamar tidak terlalu dekat. Dalam gelap citra masih bisa melihat Panji yang pura-pura tidur di sofa. Citra berdecak lalu menutup pintu kasar. Seketika Panji membuka mata.  "Kalau nggak bisa tidur jangan marah sama pintu!" teriak Panji meskipun dalam hati tidak berniat mengatakannya. Pikirnya Citra pasti akan kesal tanpa alasan. Nyatanya Citra tidak menjawab. Panji hanya bisa menghela napas.  Listrik kembali menyala setelah pagi datang. Ternyata ada pemadaman listrik di sekitar kompleks. Panji dan Citra melongo melihat tetangga samping rumahnya yang heboh karena mati listrik. Mereka mengoceh tidak jelas.  "Eh, berantem cuma gara-gara listrik gitu faedahnya apaan?" tanya Citra heran.  Panji melipat tangan di perut, "Mungkin bikin suasana hati tentram. Tuh, ibunya masih marah-marah. Lucu, ya!"  Citra mendelik, "Apanya yang lucu?"  "Lucu aja. Ngomong nggak pakek titik koma." Panji terkekeh.  Citra berdecih lalu masuk rumah. Menggerutu kalau kesukaan Panji tetaplah sama yaitu mendengarkan ibu-ibu yang sedang marah.  "Citra, masak sarapan sana!" teriak Panji tanpa berpaling dari tetangganya.  "Masak sendiri!" balas Citra kesal.  Panji semakin tergelak. Pagi ini lumayan terhibur. Suasana sudah berubah lebih baik dari semalam.  "Hah, malam pertama yang hambar." senyum Panji tetap merekah.  Citra sibuk bermain handphone tanpa peduli perut keroncongan. Persetan dengan status suami-istri, dia sedang sibuk dengan suasana hati yang tidak baik. "Kenapa aku ikutan marah? Ah, Panji emang pantas dimarahi. Biarin aja!"  Citra terkejut karena Panji membuka pintu kamar tiba-tiba.  "Ngomong apa barusan? Dipikir aku pelampiasan amarah? Lagi PMS emangnya?" dengan santainya duduk di tepi ranjang. Seketika Citra menggeser duduknya di paling ujung. Panji mendekat lagi dan Citra menjauh lagi. Terus begitu sampai Citra jatuh.  "Hahaha, makanya jangan sok ngejauh. Gimana? Kamarku nyaman, 'kan? Harusnya kamu bayar uang sewa tiap malam." bukannya mengulurkan tangan justru menjentikkan jarinya meminta uang.  Citra menganga. Melempar Panji dengan bantal setelah naik ke ranjang. "Benar-benar kebangetan jadi orang. Ngapain, sih, ngerusak pagi indahku? Pergi sana!"  "Eh-eh, matanya merah kayak ibu tadi. Sebelum kamu bayar uang sewa kamar, aku nggak mau pergi." Panji melengos.  "Oh, ya? Kalau gitu biar aku yang pergi!" Citra mengibaskan rambutnya lalu beranjak dari kamar.  "Jangan lupa kalau pulang bawain nasi bungkus!" masih sempat berpesan walau Citra tidak akan memenuhinya. Ekspresi Panji berubah datar, "Dia nggak pernah berubah. Setelah ini apa bisa berubah?" gumamnya kemudian mendesah panjang.  Citra benar-benar keluar mencari sarapan. Tidak sadar dia cukup jauh dari kompleks. Jalan raya sudah ramai dan matahari mulai terik. Lupa membawa handphone ataupun jam tangan. Citra berhenti di trotoar dan memarkirkan motornya.  "Jam berapa ini? Udah siang, ya?" mengernyit memandang langit. "Ngapain nyari sarapan lagi? Mendingan keliling kota sendirian. Biarin aja si Panji kelaparan." sambungnya terkikik.  Ujung-ujungnya Citra kembali pulang karena tidak kuat berkendara dalam perut kosong. Motor sudah di garasi dan suaminya di depan pintu sedang memasang senyum manis menahan Citra masuk.  "Ehm, lama banget," kata Panji masih setia dengan senyumnya.  Citra berkacak pinggang, "Minggir!"  Panji ikut berkacak pinggang, "Nggak mau! Mana makanannya? Udah siang ini nggak dapat apa-apa? Tega banget buat aku kelaparan!" sedikit menaikkan nada bicaranya.  Citra meringis bangga, "Aku juga lapar. Hari ini terlalu nggak jelas sampai lapar pun nggak tau mau makan apa. Mau rebahan aja." mencoba menyingkirkan tangan Panji yang menutupi jalan pintu. "Aku nggak mau bayar sewa kalau itu mau kamu!" Citra menoleh tegas.  "Ck, jangan begini, Citra. Bercanda doang dibawa serius. Tuh, di meja makan ada sisa nasi goreng yang aku buat. Kamu makan aja. Aku mau pergi sama Indra. Mungkin malam baru pulang." Panji menurunkan tangannya.  "Ngapain sama Indra? Mau cari cewek, ya?" Citra sengaja menggoda.  "Apaan, sih?" Panji sedikit risih.  Mendahului masuk rumah dan mengunci pintu kamar saat berganti pakaian. Biar bagaimanapun juga kamar tidur hanya ada satu. Mau tidak mau mereka akan berbagi ranjang suatu saat nanti. Hanya saja keduanya masih enggan untuk membahasnya. Citra sendiri tidak keberatan jika tidur di sofa nantinya.  "Haha, dasar anti cewek! Uang banyak percuma kalau nggak punya cewek cantik. Panji, Indra itu playboy terbaik yang pernah aku lihat. Walaupun cinta mati sama istrinya dia tetap hobi godain yang seksi-seksi. Kamu harus belajar darinya!"  Citra menuju dapur mencari nasi goreng bekas Panji. Suaranya menggelegar jika sudah menggoda Panji. Tak ada sahutan dari kamar membuat Citra terkikik. Dia terkejut melihat dua piring nasi goreng yang masih utuh.  "Ini dia bilang sisa?" gumam Citra.  Dia duduk menunggu Panji keluar kamar. Namun, hampir setengah jam Panji tak kunjung keluar. Nasi goreng bahkan sudah dingin. Citra memutuskan untuk menyusul, dia terkejut pintu kamar terbuka dan Panji tidak ada. Segera menuju garasi, motor Panji juga tidak ada. Citra mendesah lemas.  "Kapan perginya?"  Ekspresinya berubah sedih. Tidak ada selera memakan nasi goreng karena Citra pikir Panji juga belum sarapan. Bertemu seorang dosen genit bernama Indra Nugraha membuat Panji semangat. Tidak tahu bicara soal bisnis atau hanya bermain, Citra berharap Panji lebih banyak berinteraksi dengan perempuan saat bersama Indra. Panji tidak pernah tertarik dengan perempuan seperti dirinya yang tidak pernah tertarik dengan laki-laki. Meskipun begitu mereka sangat ceria dan menyenangkan. Sering menjadi sorotan banyak orang semasa remaja.  Citra mengenal Indra karena mereka teman seperjuangan saat kuliah. Ada satu lagi namanya Rama Kamajaya. Dia seorang penjaga perpustakaan keliling sekaligus ketua rumah dongeng dari kelompoknya. Rama cenderung menyukai anak-anak dan suka berkeliling. Pekerjaannya sekarang sama seperti menjalani hobi. Sudah lama Citra tidak bertemu Rama. Bahkan dipernikahannya pun Rama tidak datang lantaran berkeliling menebar dongeng bersama anak perempuan dan istrinya.  Mengingat hal itu Citra menjadi tersenyum-senyum sendiri. Teman seperjuangan sudah berubah menjadi kepala keluarga. Sekarang giliran ceritanya bersama Panji bermula. Nasi goreng itu diletakkan di lemari. Citra memilih menggambar di kertas tak terpakai dari tempat kerjanya. Dia memang suka menggambar hanya untuk mengisi kebosanan. Harum maskulin Panji memenuhi kamar sudah tidak asing lagi bagi Citra.  Handphone berdering setelah satu gambarannya selesai. Terlihat nama ibunya tertera di panggilan telepon, Citra segera mengangkatnya. Basa-basi ala ibu dan anak Citra lakukan dengan senang hati, kecuali pembahasan terakhir.  "Panji nggak ada di rumah, Bu. Nggak usah nanyain dia kenapa, sih? Anak Ibu, 'kan aku bukan Panji," Citra gemas sedari tadi ibunya menanyakan menantu tercinta.  "Kamu jangan begitu. Sudah menikah bukan hidup sendiri lagi. Suami itu harus diperhatikan. Bukannya keluar sampai hampir malam dibiarin gitu aja. Gimana, sih, kamu?" di seberang sana ibunya mengomel.  "Dia lagi main. Nggak mungkin Citra ganggu, 'kan?" menjawab ibunya seraya berjalan ke dapur untuk mengambil air minum.  "Apa!? Di hari pertama kalian dia justru pergi main? Benar-benar menantu kurang ajar! Tau begini nggak usah nikah sama dia!" ibunya citra marah.  Citra mengambil air dingin di kulkas malas, "CK, ibu lebay banget, deh. Biarin aja nggak pulang juga nggak apa-apa. Malah bebas tanpa dia." minum dengan tenang.  "Anak konyol! Kalau dibilangin ngebantah terus. Ibu cuma mau kamu hidup bahagia, Nak. Mengurus dirimu sendiri, jangan terlalu mikirin ayah sama ibu. Kamu itu juga punya kehidupan pribadi. Sekarang udah punya suami. Apapun di bagi sama suami, harus nurut. Kamu udah tua, kapan mau punya anak? Ibu mau cucu laki-laki yang ganteng. Kalau perempuan yang cantik kayak ibu, bukan kayak kamu nggak mau dandan. Ibu heran, kenapa Panji mau nikahin kamu? Dia banyak yang naksir padahal umurnya juga sama kayak kamu. Apa karena kasihan sama kamu, ya? Sejak kecil terus bersama begini jadinya. Ujung-ujungnya nikah. Nggak masalah, toh, Panji ganteng banget. Ingat semua pesan ibu, loh. Ibu harap tahun ini kamu hamil!"  "Sekian dan terima kasih atas ceramahnya. Berhubung hari sudah petang saya tutup dulu teleponnya. Permisi...," Citra segera menyahut dan mematikan panggilan telepon.  "Ibu-ibu cerewet! Ngapain bahas begituan lagi coba? Emangnya siapa yang mau punya anak? Aku masih anak-anak." Mengendikkan bahu kembali minum air dingin sampai tandas satu botol.  "Nggak sadar diri! Tiga puluh tahun itu bukan anak-anak lagi, Bodoh!" Panji datang dari belakang mendorong dahi Citra pelan membuat Citra tersedak. Matanya melebar menatap Panji tanpa ekspresi berdiri di belakangnya.  "Astaga, ngagetin aja, nih, orang! Lagi minum juga!" cerca Citra.  Panji berdecak, "Malam ini aku tidur di kamar. Kamu di kamar mandi sana." melenggang pergi begitu saja.  Citra menganga, "Woy, yang bener aja! Udah gila, ya!?" pekiknya sambil meletakkan botol ke kulkas dengan kasar.  Angin malam begitu dingin. Citra rela duduk di teras tidak mau masuk sebelum Panji memanggilnya. Dia tahu kalau Panji sedang melihat perkembangan bisnis restoran yang dia dirikan sendiri. Kemampuan berbisnis Panji tidak diragukan sejak dulu. Suaminya itu juga pandai memasak. Citra bahkan tidak bisa memasak seenak buatan Panji.  "Dasar nggak peka! Dia marah apa gimana? Pulang-pulang wajahnya datar. Ngusir aku dari kamar lagi!" gerutunya sambil mengusap tangan kedinginan.  "Siapa yang nggak peka? Itu kamu!"  Lagi dan lagi Citra dikejutkan Panji sampai terlonjak dari duduknya, mendorong dahinya kecil. Citra ingin membantah, tetapi Panji menyela terlebih dahulu.  "Masuk sana. Soalnya kalau masuk angin aku nggak mau ngobatin." cuek Panji mencebikkan bibirnya.  Sontak Citra berdiri, "Ih, kalau ngomong enak banget. Bibir itu maju udah satu meter. Mau dipotong?" cerewet tanpa belibet.  "Maunya di cium." Panji mengerucutkan bibirnya.  Citra tersentak tak berkutik. Sejenak mereka saling memandang. Lalu, Panji tergelak membuyarkan lamunan Citra. "Hahaha, cuma bercanda, Citra! Ogah dicium sama kamu. Jijik!" Panji masuk rumah dengan santainya.  Citra ingin memukul kepala Panji. "Bisa-bisanya ngomong begitu. Belajar dari mana dia?" menggeleng heran.  ~~~  Mentari bersinar cerah membangkitkan semangat kerja di pagi hari. Pakaian Panji sudah rapi berbeda dengan Citra yang masih memasang muka bantal. Panji menggedor pintu keras membuat Citra terjingkat dari tidurnya.  "Bangun udah pagi! Kalau nggak bangun aku siram air selokan! Cepetan bangun!"  Semakin keras memukul pintu akhirnya Citra bangun. Langsung melempar bantal ke pintu. "Berisik!"  "Nah, bangun juga. Aku mau ke restoran. Kamu masih cuti, 'kan? Jaga rumah jangan sampai ada nyamuk masuk." kata Panji lalu pergi tanpa menunggu balasan dari Citra.  Citra menggaruk kepalanya, "Terserah! Biarpun cuti emangnya aku nggak punya kerjaan? Ck, aku juga mau pergi!" teriaknya yang jelas tidak didengar Panji.  Saat Citra hendak menyalakan keran mendadak airnya berhenti mengalir. Dia tidak bisa memasak apapun tanpa air. Ternyata listrik kembali padam dengan alasan Panji lupa membayar listrik.  "Panji Sasena! Orang kaya tapi peliittttt!!!" Teriak Citra menggema di dapur.  Hari yang ceria untuk mencuci mata. Melihat cowok-cowok enerjik nan muda di universitas tempat Indra bekerja. Citra malas pergi ke restoran Panji hanya untuk mengomel. Dia diundang Indra untuk makan siang di kantin kampus.  "Emangnya nggak ada tempat lain?" Citra memutar bola matanya malas setelah duduk di kursi kantin.  "Emangnya nggak ada teman lain?" balas dosen itu tak mau kalah saing ekspresi yang dijelek-jelekkan.  "Hahaha, kampus ini ngggak ada yang berubah. Kangen juga masa-masa kuliah. Eh, hari ini kamu yang traktir, ya!" Citra menunjuk wajah Indra.  "Tenang aja. Buat pengantin baru apapun aku turutin. Haha, masa kuliah kamu dekil banget. Rambut pendek lagi. Ihh, ngeri!" Indra bergidik sambil memanggil bibi penjaga kantin.   "Jelek di matamu doang. Aku primadona kampus dulu." Citra menepuk dadanya bangga.  "Ck, nggak sadar diri." ejek Indra setelah selesai memesan makanan.  Citra berdecih, memutar pandangan ke seluruh sudut kantin. Lumayan padat mahasiswa yang sedang bercengkrama. Pergantian jam memang waktu yang pas untuk bersantai sejenak. Dia melihat Indra memulai aksi menyebalkan lagi yaitu menggoda mahasiswi cantik yang lewat di sampingnya.  "Ih, mata jelalatan banget, sih! Kebiasaan buruk dibiarin mulu!" Citra memukul lengan Indra.  "Aww! Sakit tau! Mataku bekerja sendiri. Suka lihat yang bening-bening berarti aku waras. Daripada lihat kamu? Amit-amit" Indra bergidik setelah mengelus lengannya.  Citra menganga tidak terima. "Iihhh, nyebelin banget jadi dosen! Aku sumpahin mahasiswi di sini pada kabur di mata kuliahmu!"  "Bodoh amat, emang aku pikirin? Ngomong-ngomong Panji kemarin curhat banyak, loh. Sshh, kasihan juga sama dia. Gimana betah tinggal selamanya kalau begini?" Indara memasang wajah kasihan.  "Aduh! Ampun, deh, para cowok lebay banget. Emangnya nggak kasihan sama aku?" Citra muak sambil menirukan gaya Indra.  "Enggak," balas Indra santai.  Citra sudah mengangkat tangannya ingin memukul Indra. Pesanan datang membuat Citra menurunkan tangannya. "Pak dosen yang baik, kenapa ngundang saya ke sini, Pak?" tanya Citra mulai merayu.  "Ehm, bahasanya tolong jangan begitu. Saya bisa alergi." Indra ikut bicara formal seraya menggaruk lengannya seolah gatal-gatal.  "Ck, ngomong buruan!" Citra kembali sewot. "Diajak ngomong baik-baik, malah ngajak ribut," sambungnya.  Indra meringis sebentar kemudian berubah serius, "Jadi, kemarin Panji mau ikut Rama keluar kota buat bantu program donasi buku. Berhubung sekarang musim hujan, mereka mau menginap sekaligus main sama anak-anak di sana. Yahh, gimana Rama aja kalau sama anak kecil. sekadar menghibur pikiran kata Panji. Dia nggak ngomong sama kamu, 'kan? Haha, udah ketebak."  Citra terkejut hanya diam. Indra makan cukup lahap tanpa menunggunya berkomentar. Citra tidak heran kenapa Panji ikut dengan perjalanan Rama, tapi tidak memberitahunya dan itupun setelah pernikahannya, membuat hati Citra sedikit tersentil.  "Kapan?" tanya Citra membuat Indra mendongak. "Nanti malam berangkat. Kalau kamu benar-benar mau mulai hubungan baru, mendingan cegah dia," saran Indra setelah menelan makanannya.  "Cegah?" Citra seperti orang d***u yang terlalu polos. Indra mendesah lelah, "Citra, pernikahan bukan sekadar teman. Kamu lebih paham sikap Panji daripada aku. Tetangga kok gitu?" menggeleng karena Citra tak paham maksudnya.  Citra mencebikkan bibirnya. Menoleh ke kerumunan mahasiswa yang asik bercanda sambil berpikir. Dia sadar jika pikiran Panji mungkin berkecamuk. Secara status mereka sudah berganti secara resmi. Apalagi malam pertamanya terlalu membosankan. Laki-laki mana yang tidak ingin malam pernikahannya istimewa? Setidaknya mereka bisa bercanda atau Citra sedikit tersenyum padanya sebagai teman. Padamnya listrik menambah kegelapan hati Panji. Citra tersenyum miring membayangkan awan mendung menyelimuti kepala Panji membuat Panji murung.  "Nah, sudah paham? Dasar lemot!" maki Indra menyadari senyuman Citra.  Citra memukul lengan Indra sungguhan, "Iya-iya! Kalau pintar nggak perlu sombong, kali. Gimana cara nyegah Panji, ya?"  "Kekerasan dalam rumah tangga! Istriku aja nggak pernah mukul kayak gini. Aku kasihan sama Panji. Kalau tiap hari dipukul cewek garang kayak kamu gimana?" lagi dan lagi Indra bergidik mengejek Citra.  "Ihhh, ngeselin ngomong sama kamu! Kok, mahasiswa di sini biasa aja gitu sama sikap konyolmu? Kalau aku udah ogah." Citra membuang pandangan ke arah lain.  "Hehe, soalnya aku dosen ganteng, pinter, baik hati, dan nggak pelit nilai. Soal cara nyegah Panji pikirin sendiri. Saran doang, jangan pasang muka judes ke Panji. Kalau nggak mau jadi pasangan seenggaknya teman, 'kan masih bisa. Jangan cuek juga, nggak baik," tutur Indra.  Citra melirik Indra, "Lama-lama kayak ibu lagi ngasih petuah."  "Aku serius, Payah!" balas Indra.  Citra berdecak malas lalu memakan pesanannya. Indra memang selalu perhatian layaknya seorang kakak. Sering menasehati dan sering menjadi tempat curhat. Selesai dengan Indra, Citra menuju rumah dongeng milik Rama yang terletak tidak jauh dari pusat kota. Meskipun Rama tidak ada di sana karena masih berkeliling, rumah dongeng tetap dibuka dan dikelola para tim Rama. Banyak buku cerita dan barang-barang untuk mendongeng. Boneka lucu yang bisa bicara selalu berhasil membuat Citra tertawa.  "Lucu, ya?" tegur seseorang mengejutkan Citra sampai Citra sedikit melompat. Terlalu percaya diri menunjukkan deretan giginya di depan Citra, alhasil Citra menampar orang itu.  "Aduh! Kok, ditampar, sih?" Panji mengelus pipinya.  "Habisnya ngagetin!" sewot Citra mengelus d**a.  Panji masih cemberut, "Kamu ngapain di sini? Rama lagi nggak ada."  "Harusnya aku yang nanya. Katanya mau ke restoran?" tanya Citra memicing.  "Oh, udah selesai." jawab Panji santai dengan tersenyum. Tanpa sadar Citra ikut tersenyum. Ingat saran dari Indra jika dia tidak boleh mengabaikan Panji. Citra mendadak menarik Panji untuk duduk di pojok ruangan yang penuh buku cerita.  "Eh-eh, ada apaan?" Panji heran.  "Duduk sini aku mau ngomong." Citra menepuk kursi. Panji menurut meskipun curiga. Citra membuka mulutnya sengaja membuat Panji menunggu. "Mau ngomong apa, sih?" Panji gemas sendiri.  "LISTRIKNYA MATI LAGI, PANJI! DASAR PELIT!!!" teriak Citra tepat di depan wajah Panji. Dia menutup mata rapat-rapat, meringis terasa ngilu. Ingin membalas, tetapi Citra kembali berteriak. "KALAU BELUM BAYAR LISTRIK, BILANG JANGAN NGILANG!"  Puas sudah Citra menerapkan saran Indra. Melengos acuh membiarkan Panji menikmati sisa-sisa ngilu di telinga. Jika sudah seperti ini tidak saling mengabaikan lagi, bukan?  Panji menggaruk kepala belakangnya, "Eee, hehe. Emang belum bayar listrik, ya? Bayarin, dong."  Citra menoleh marah. Sebelum Citra mengomel Panji buru-buru menyela, "Iya-iya, nanti aku bayar. Jangan marah mulu ntar cepat tua baru tau rasa. Lagian kamu nggak mau bayar sewa kamar, sih. Jadi wajar aja listriknya mati."  "Apa!? Lagi-lagi itu yang dibahas. Pokoknya aku nggak mau pulang sebelum listriknya nyala. Aku aduin ibu, loh!" ancam Citra.  "Aduin aja. Malahan bersyukur banget kalau kamu nggak pulang. Ganggu hari-hariku doang." kini giliran Panji yang membuang pandangan.  Citra meremas udara gemas seolah meremas wajah Panji. "Tau begini aku nggak usah mikir gimana caranya nyegah kamu keluar kota. Ikut Rama aja sana! Pergi yang jauh nggak usah balik!"  Panji menoleh kaget, "Tau dari mana? Indra?"  "Siapa lagi kalau bukan dia? Panji, ngapain ikut Rama bagi-bagi buku donasi? Udah sering begitu nggak bosen?" Citra tidak mengeraskan suaranya lagi.  "Daripada di rumah nggak ada yang seru." sindir Panji melirik Citra.  "Kan, ada aku. Masih nggak seru?" dengan gamblangnya Citra menunjuk diri.  Panji tersenyum manis, "Emangnya kamu siapa sampai buat hariku seru? Ngaca dulu yang lama." mengacak rambut Citra lalu pergi masih dengan senyuman.  Citra ternganga, menggebrak meja tidak terima, "Siapa aku? Nanya siapa aku gitu? Dari bayi sampai segede kingkong masih buta sama paras menawan, seksi, nan baik hati seorang Citra Mayangsari? Minta ditampol pakai sepatu kaca kali, ya, biar ngaca! Panji... Jangan pergi dulu!"  Citra mengejar Panji yang belum keluar dari rumah dongeng. Tim Rama yang ada di sana sudah biasa dengan sikap mereka. Bukan hal asing lagi jika Citra teriak-teriak. Tak heran juga jika Panji datang tanpa alasan. Meskipun mereka risih, tetapi jika lama tidak melihat mereka bertengkar rasanya akan sepi. Seperti sekarang mereka masih beradu mulut di teras.   Panji mengikuti semua gaya bicara Citra yang menurutnya lucu. Namun, di hati Citra ada keganjalan dengan ekspresi Panji. Walaupun laki-laki itu sedang tersenyum menjengkelkan dan bersikap biasa saja, tetapi matanya sangat memancarkan kegelisahan. Saat Citra bertanya apakah Panji sedang gundah, Panji hanya menggeleng. Lalu, mengalihkan perhatian Citra dengan mengajaknya pulang. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.2K
bc

My Secret Little Wife

read
97.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook