BAB III

1796 Words
"Begini ya, walaupun perasaan seseorang memang tidak ada yang bisa menebak tapi mengapa kita tidak mencoba peka saja dengan hasil tak keseluruhan kita ketahui...." - Uknown - *****     DARI kejauhan nampak seorang gadis yang sedang memotret kearah panitia yang sedang membangun panggung untuk proses dokumentasi nantinya. Namanya Stella, anak XI IPS 2 sahabat akrab Mitchell dan yang lainnya juga. "Pacaran ama kamera mulu lo." Stella tersentak kaget saat seseorang mengagetkannya dari belakang. "Babi ya lo ra, kaget nih gue." ketus Stella. "Ternyata bisa kaget juga lo." ucap Mitchell tertawa. "Bodo ya, eh lo murid baru?" Tanya Stella menatap kearah Azel yang memandangnya sejak tadi. "Iya baru kemaren pindah, nama gue Azel." Azel mengulurkan tangannya kearah Stella yang dibalas Stella dengan senyuman. "Stella, wah lo Waketos baru itu kan. Cukup kaget si denger lo murid baru udah jadi Waketos aja." ucap Stella. "Jangan kan lo, gue yang ga tau menau berita apapun gara-gara dance sialan itu kaget setengah mampus." celetuk Sherren. "Heh ciwi-ciwi, yang kaga bertugas panitia kaga usah ngegosip dah. Ini kerjaan banyak." celetuk laki-laki bername tag Justin. "Heh bule nyasar, yang ngegosip saha hah?" Tanya Clara sengit. "Udah deh bantet lu diem aja." tegur Daffa. "Katain gue bantet sekali lagi coba?!" Tantang Clara kearah Daffa. "Kaga njirr maap." "Lo sebagai Waketos, contohin yang baik bisa?" Perkataan dingin Devan membuat semuanya diam sedangkan Azel hanya menatap malas. "Iye-iye, dah sono lo ren. Kita mau jadi kuli dulu hari ini." usir Azel membuat Sherren menoyor kepalanya. "Mentang-mentang gue cewek sendiri yang bukan anak OSIS, enak banget lo ngusir. Mau ngajak berantem ha?" "Heh cina, gue pergi ye. Jadi tukang yang bener, awas panggungnya miring sebelah." ucap Gaga menatap Mitchell. "Najis Ga, lo semangatin apa nistain gue si." ucap Mitchell. "Sebenarnya sih kaga ked--AMPUN YANG SAKIT!!" teriak Gaga saat Mitchell menjambak jambulnya dengan ganas. "Mampus ngakak gue liatnya." tawa Argha. "Rasain lo ga, itu tuh efek kalo macan betina disenggol dikit langsung bacok." cerocos Daffa. "Ribut lu semua, pergi sana!" Desis Devan membuat semuanya segera pergi meninggalkan Devan, Clara, Stella, Mitchell, Azel, dan Justin. "Terkadang lo ganas juga ya chell." ucap Justin. "Apa lo bilang hah?!" "Bacot anjir, udah kerja sana." Clara segera menarik tangan Stella dan Azel menuju kearah panggung. Mata Azel menatap sekitarnya sambil mencari tempat yang cocok untuk bekerja. Cuaca lumayan terik dengan sinar matahari yang memancar membuat Azel dapat melihat keringat temannya menetes. "Suruh siapa lo mandor disana hah?!" Bentak Devan menatap Azel tak suka. "Sans aja dong, sensi amat kayak lagi datang bulan aja." gumam Azel lalu segera menuju segerombolan perempuan yang sedang membuat lattering diatas kertas. "Weh keren amat." puji Azel. "Ah kak Azel, sini kak gabung!" Ajak salah satu adik kelas Azel yang tidak diketahui oleh Azel. "Ini lattering mau ditaruh dimana?" Tanya Azel menatap tulisan itu. "Mau ditaruh di depan gerbang buat ucapan selamat datang sih kak, disuruh sama kak Devan." jelas gadis itu. "Emang Pensi nya ngebolehin sekolah luar masuk?" Tanya Azel penasaran. "Ya dulu sih enggak kak, cukup satu sekolah aja yang nonton tapi kak Devan milih yang beda gitu" balas gadis itu. "Pakai tiket atau karcis dong biar bisa masuk? Udah jadi emang?" Tanya Azel. "Belum sih kak, panitia nya baru aja mulai bikin sama ngeprint tadi." Azel hanya mengangguk paham dan matanya sedikit membaca name tag gadis itu, Luna Azrela. "Lo bikin ini bareng siapa dah?" Tanya Azel. "Ama Aqila kak." "Oh gitu ter--- " "Ikut gue." Tangan Azel ditarik paksa oleh seseorang membuat Azel meringis dan segera menarik tangannya kembali saat tau Devan yang menariknya. "Ga bisa lembut ama cewek ya lo? Kasar banget." Azel menatap tajam kearah Devan. "Bacot lo." Devan dengan santai nya menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan hingga matanya menatap ke gedung lantai 2 dimana segerombolan perempuan menatap matanya dengan kagum. "Sok ganteng lo, maksud lo apa narik gue? Kaga bisa apa disana ae ngomongnya." tanya Azel menggebu-gebu karena laki-laki di depannya. "Ga suka lo?" Tanya Devan sarkastik. "Gila, baru kali ini gue nemu spesies manusia yang bodoh banget." desis Azel "Apa lo bilang?!" "Lo kalo mau ngajak gue ngobrol bilang ae, ga usah basa basi kayak tadi. Gengsi lo tinggi banget jadi orang." ucap Azel membuat Devan berdecak kesal. "Ini kertas nya, semua tugas lo ada disitu." ucap Devan melempar kertas kearah Azel. "b*****t lo jadi manusia, ga punya sopan santun banget. Di sekolahin ga sih lo?!" Bentak Azel yang mulai tidak tahan. "Lo kalo ngomong di jaga!!" Devan menatap Azel dengan aura dinginnya begitu sebaliknya. Gaga dan yang lain melihat langsung menghampiri mereka dengan cepat . "Eh eh kenapa nih?" Tanya Daffa menatap Devan dan Azel. "Udah zel, kaga usah marah-marah entar tensi lo naik kan barabe ceritanya." ucap Mitchell merangkul bahu Azel. "Lo juga Dev, udah tau Azel cewek masih aja kasar. Lembutin sikap lo sama cewek Dev." tegur Stella. "Ga." perkataan Devan sukses membuat Azel menonjok bibir Devan dengan kuat membuatnya mundur beberapa langkah. Devan terkejut dan memegang sudut bibirnya yang berdarah lalu menatap Azel dengan pandangan yang sulit diartikan. "AZEL!!!" Teriak semuanya kaget bukan main. "Anjir zel, jangan nonjok orang zel." ucap Sherren menarik Azel mundur. "Jaga omongan lo ya, ga usah pernah merasa tinggi mentang-mentang lo ketos, anak pemilik sekolah, dan idola sekolah jadi lo bisa seenaknya ngomong tanpa di pikir dulu. Percuma lo ganteng, tapi ga ngotak!" teriak Azel yang wajahnya sudah memerah menahan amarah lalu segera pergi. Semua menatap kearah Devan dan yang lainnya, panitia yang tadinya sibuk bekerja harus terhenti karena perdebatan itu. Semua memandang takut kearah Azel yang perlahan pergi dari lapangan sekolah mereka. "Eh itu serius Azel nonjok Devan?" "Gila itu berdarah anjir." "Gue dapet fotonya." "Devan lembek ampe kaga bisa ngehindarin bogeman tuh cewek." "Cewek nya bar-bar." "Murid baru itu kan? Waketos baru, gila sih serem." "Ga nyangka gue, waketos kita yang baru bisa nonjok Devan." "Yah muka Devan kasian, pengen bantu ngobatin." "Ga usah ngimpi lo ngobatin, lo jalan ke dia aja udah di tatap tajam." "Jual batagor! Jual batagor, masih anget nih gaes." "Heh Danu, orang lagi nonton yang di lapangan malah jualan dia." "Berbisnis itu indah." "Anjir kak Devan kayaknya marah deh tuh liat mukanya." "Gue suka gaya kak Azel biar tuh cowok ga merasa berkuasa." "Halah gitu-gitu lo juga suka dia." Devan hanya menatap malas mendengar bisikan-bisikan anak sekolah, dengan langkah cepat dia pergi dari sana. Meninggalkan semua teman-temannya. "Itu Azel kenapa dah? Temen gue kasian noh." ucap Argha. "Si Azel baperan amat dah." celetuk Gaga membuat semua menatapnya. "Ngomong apa tadi lo?" Tanya Mitchell menatap tajam kearah Gaga. "Kaga yang, yaelah salah mulu gue." gerutu Gaga. "Gue mau nyamperin Azel aja dah." ucap Clara meninggalkan semuanya. "Gue juga lah." Sherren mengikuti Clara disusul Mitchell dan Stella. "Gila ga sih tuh cewek, ampe berdarah anak orang." ucap Argha. "Si Devan suka kurang baca istigfar kalo ngomong ya jadinya gitu." ucap Daffa membuat Gaga menoyornya. "Lo ga usah ngelawak monyet." "Kaga usah bawa nama kembaran lu setan." Daffa mendelik kearah Gaga. "Gue makan kepala lo, mampus lo!" Gaga segera pergi meninggalkan Argha dan Daffa. "Njir ngakak nih gue." ucap Argha dengan tawany. "Ga usah ketawa." ******      Azel menendang kursi di depannya, rasanya dia ingin menghajar wajah Devan yang sombong itu. Azel menggeram frustasi dengan keadaannya sekarang. Ponsel Azel kembali berbunyi, dengan id caller yang sama Azel mengangkatnya dengan kasar. "Apa lagi!!!" "Gue mau lo pulang kesini!" "Persetan ama lo, gue ga mau. Ga akan pernah mau!!" Azel melempar ponselnya keatas meja hingga retak. Azel tak peduli, suasana hatinya tidak baik untuk saat ini. "Allahu Akbar Azel, nih kursi-kursi kenapa jadi kek gini." pekik Clara yang baru memasuki gudang sekolah mereka. "Ini gudang kenapa banyak debu anjir." keluh Stella. "Namanya juga tempat penyimpanan barang, ga keurus pula makanya banyak debu kampang." ucap Sherren menoyor kepala Stella. "Untung gue ga b**o kek Stella." gumam Mitchell pelan namun dapat didengar oleh Stella. "Maksud lo apa nyet." ucap Stella menatap Mitchell. "Kaga bercanda doang hehe..." cengir Mitchell mengangkat kedua jarinya. "Zel, lo ga papa kan?" Tanya Clara menghampiri Azel. "Buset ini hp kenapa pecah gini layarnya." pekik Sherren. "It's ok beb, lo ga usah terlalu terbawa emosi. Devan emang kayak gitu orangnya." ucap Mitchell menenangkan Azel. "Ga punya otak tuh cowok." desis Azel. "Udah elah, lo ga usah pake acara nonjok Devan. Kasian muka dia." celetuk Stella. "Ya tap--" "Zel, jangan terlalu terbawa emosi. Anggap aja Devan bercanda tentang itu, sekarang lo obatin luka dia. Kasian dia nyet." ucap Mitchell. "Salah dia sendiri, muka songong kek gitu pantes ditonjok." ucap Azel kukuh. "Setan ya lo, sono obatin. Udah baikan aja,  Devan emang kek gitu orangnya." ucap Sherren. "Iya zel bener tuh, Devan emang udah sering kek gitu. Sikap dia emang bawaan dari zaman dia masih zigot. Jadi, maklumin." ucap Clara. "Suka ngelawak juga lo." ucap Stella. "Babi, apaan si." Clara hanya menatap datar Stella. "Yaudah iya, entar gue obatin dia." Azel menghembuskan nafasnya pelan membuat semuanya tersenyum. "Nah gitu dong, udah ya jangan marah-marah lagi. Lo kalo marah bikin anak orang luka tau kaga." ucap Sherren. "Iye, kek kesurupan." ucap Stella "Apa hubungannya sih Stel, lo mah ah jangan b**o napa." keluh Clara yang mulai kesal. Stella hanya menampilkan cengiran polosnya membuat semua yang disana ingin memukulnya. ****     Devan duduk di kursi taman belakang sekolah dengan tenang, sesekali dia meringis merasakan perih di sudut bibirnya. Devan mengakui bahwa tonjokan gadis itu lumayan kuat. "Anjing, sakit." gumam Devan. "Makanya diobatin, bukan malah nyumpahin aja bisanya." celetuk seseorang yang duduk di samping Devan. Dengan segera Devan menoleh dan mendapati Azel yang duduk membawa P3K di tangannya. "Sini muka lo."ucap Devan. "Sana lo! Gue ga butuh diobatin sama cewek bar-bar kek lo." Azel hanya memutar bola matanya malas, dengan kekuatannya. Azel menarik wajah Devan mendekat kearahnya, dengan cepat Azel menempelkan kapas berisi betadine ke luka Devan. "ANJING SAKIT b*****t!" Teriak Devan saat Azel menekan lukanya dengan kuat. "Berisik lo, lemah banget jadi cowok." gumam Azel. "Bacot lo." balas Devan muak. Devan memandang kearah Azel dengan mata tajamnya. Gadis itu mengingatkan Devan dengan seseorang yang sudah pergi meninggalkannya. Memori kelam di masa lalu Devan kembali terputar di otaknya membuat Devan mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Lo mau nonjok gue?" Tanya Azel membuyarkan memori di ingatan Devan. "Luka lo udah gue obatin, gue minta maaf soal tadi. Dan satu lagi, gue harap lo musnahin sikap songong lo yang buat gue muak." ucap Azel berdiri dari duduknya dan segera melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah Azel berjalan, Devan memanggilnya. "Zel." Azel menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Devan dengan wajah bingung. "Thanks." Azel tersenyum tipis mengangguk lalu segera pergi perlahan meninggalkan Devan seorang diri. Devan hanya menghembuskan nafasnya pelan, baru kali ini dia bisa mengucapkan terima kasih kepada seseorang. Gengsi yang terus dia jaga, sekarang hancur karena gadis pendek itu. Perlahan sudut bibir Devan tertarik menghasilkan senyuman tipis yang tak pernah dilihat siapapun dalam hidupnya. Devan sedang bahagia. Selesai
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD