3

1525 Words
Masih jam lima subuh, dan Kinta sudah bersiap dengan baju olahraganya. Ini adalah rutinitasnya semenjak kelas dua SMA. Setiap selesai sholat subuh, dia akan langsung lari keliling komplek dan baru akan pulang saat matahari sudah muncul malu-malu di atas langit. Membuka pintu, Kinta lalu terdiam saat melihat mobil milik kakaknya sudah terparkir di garasi. Ternyata Kada tidak menginap di rumah Malika seperti biasa, namun Kinta juga tidak tahu jam berapa kakaknya itu akhirnya pulang ke rumah. Ia abai, melanjutkan langkahnya ke luar rumah dan mulai melakukan peregangan. Lima belas menit di rasa cukup sebelum kemudian Kinta berlari dengan tidak terburu-buru. Terus ia lakukan mengelilingi Komplek tanpa terlewat satu blok pun sampai akhirnya ketika hari sudah mulai terang sedikit demi sedikit, Kinta memutuskan pulang dengan keringat yang membasahi baju olahraganya. "Mau salad?" Kinta menoleh, melempar senyum pada kakaknya yang sudah berjibaku di dapur. "Aku mau makan nasi," balasnya. Dia masih sempat mendengar gerutuan kakaknya yang mengomentari kegiatan olahraganya yang sia-sia jika malah lebih sering makan nasi. Namun Kinta tidak perduli, karena pada dasarnya Kinta tidak akan merasa kenyang jika yang dia makan hanya kue atau salad seperti yang tadi ditawarkan oleh kakaknya. "Baru selesai olahraga?" Kini senyum Kinta lebih lebar saat berpapasan dengan ibunya yang sudah tampak segar. "Iya, biar aku awet muda kayak Mami," katanya dengan cengiran lebar. Maminya tertawa, mengusak rambutnya dengan sayang sebelum kemudian merelakan Kinta berlalu memasuki kamar. Kinta bergegas mandi, jam tujuh dirinya sudah harus berjalan menuju apotek atau Kaila akan mengoceh panjang lebar tentang tepat waktu dan kedisiplinan bak guru BK yang biasa berjaga di depan gerbang menanti murid yang terlambat datang. Tidak ada rutinitas memakai eyeliner atau maskara, Kinta hanya menyisir rambut hitam panjangnya dan kemudian membuatnya berkuncir ekor kuda. Bedak tipis dengan liptint sewarna bibir, meskipun begitu maminya kerap kali memuji dirinya cantik. "Nasi goreng dengan telor mata sapi," ujar Maminya, menyerahkan sepiring nasi goreng dengan telor mata sapi di atasnya. Kinta yang baru keluar dari kamar dengan menggunakan kemeja pink yang merupakan seragam apoteknya, memiringkan kepala dengan senyum cerah. "Makasih ya, Mami. Mami memang yang paling tahu apa yang aku suka," ujarnya tulus. Maminya mengangguk, "Jelas dong. Mami kan sayang sama anak-anak Mami," balasnya dengan senyum tak kalah lebar. Kinta hanya tertawa kecil, mulai menyendok nasi goreng miliknya dengan semangat. "Enak banget deh yang badannya engga gampang gemuk, mau habis olahraga makan nasi sama telor juga tetap engga masalah." Kepala Kinta menoleh ke samping saat suara kakaknya terdengar. Wanita cantik yang dulu selalu menjadi wanita populer di sekolah mereka itu, kini sedang memakan sayur-sayuran yang dicampur dengan mayo dan juga irisan lemon. Kinta meringis membayangkan betapa asam yang dirasa dari lemon itu. "Kakak juga engga akan gemuk kalau cuma makan nasi doang. Bukannya yang bahaya dan bisa nimbun lemak itu malah cemilan?" tanya Kinta. Sebenarnya agak ganjil karena kakaknya selalu bersikap biasa saja setiap kali dia habis 'kambuh' dan melarikan diri dari rumah. Seakan tidak pernah ada yang dia lakukan, seakan dirinya tidak bersalah karena tidak ikut berziarah ke makam papi mereka dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan Mami sendirian di rumah. Kadarsih menggeleng, "Engga bisa. Berat badan ku akan langsung bertambah kalau aku makan banyak," tolak nya. Kinta hanya mengangkat bahunya, tidak tertarik untuk mencuci otak kakaknya agar mau makan sebanyak dia. "Kinta, Kada..." Panggilan yang datang dari Ibu mereka, membuat keduanya kompak mengangkat kepala. Kinta masih sempat mengambil satu sendok nasi kemudian memasukan ke dalam mulutnya, menunggu ibunya melanjutkan ucapan. "Sebenarnya dari semalam, Mami udah mau ngomongin sesuatu sama kalian. Tapi karena Kada semalam engga ada, jadi Mami tunda sementara waktu. Dan berhubung kalian sekarang sudah disini, Mami mau ngomong sekarang aja," ujarnya kemudian. Ini adalah sesuatu yang penting. Kinta yakin itu, karena raut wajah Maminya terlihat sedikit ragu namun juga seakan terdesak. "Ada apa sih, Mi? Kok kayaknya penting banget," tanya Kada yang terlihat sudah berhasil menghabiskan salad dalam mangkuknya. Menghela napas, Puji kemudian berujar, "Papi kalian sudah menjodohkan salah satu dari kalian dengan anak temannya. Orang Jogja." Tentu saja Kinta dan Kada terkejut. Mereka sempat saling pandang sebelum kemudian Kada yang berseru paling kencang. "Yang pasti itu bukan aku, Mi," tolaknya. Kembali ingatan tentang ucapan Kaila yang menyatakan Kada egois, terngiang di telinga Kinta. Dia tersenyum sinis, menggeleng pelan. "Jadi maksudnya sudah pasti aku, Kak?" tanyanya pelan dan dalam. Kakaknya memang tidak membalas, namun diamnya Kada membuat Kinta kesal. Baru terbuka matanya, membuat dia mulai memandang Kada dengan cara berbeda. Dia bersimpati pada rasa sakit dan trauma yang dialami oleh kakaknya. Tapi apakah rasa trauma itu justru membuat Kada mengabaikan perasaan orang lainnya dan hanya menganggap perasannya sendiri yang paling penting? "Mi, bisa ya kita obrolin ini nanti lagi? Aku harus berangkat sekarang," kata Kinta pada maminya. Meski terlihat masih ingin bicara, namun Maminya dengan enggan mengangguk. Mengeluarkan tangan untuk bisa disalami oleh anaknya. "Assalamu'alaikum," salam Kinta dan kemudian berlalu begitu saja. Menolak menoleh pada kakaknya yang masih ada di sana. * Tubuh bagian atasnya dia biarkan tidak tertutup apapun. Sedangkan tangannya dengan lihai membalik telur dadar di atas pan, mengangkat pan dan menggerakannya hingga telor kini berpindah pada piring putih bersih yang sudah ia siapkan. "Harum," ujarnya pelan saat mendekatkan hidung ke arah piring itu. Tangan kokohnya mengambil piring itu, membawanya ke arah meja makan dan kemudian dia mendudukkan pantatnya di atas kursi. Dulu, temannya yang seorang anak rantau sering mengeluh rindu makan bersama keluarganya, katanya tidak enak makan seorang diri setiap hari. Namun Agni merasa dirinya tidak seperti itu. Kini saat dia hanya makan seorang diri, Agni justru sangat menyukainya. Tenang sekali, tidak ada omelan ibunya tentang ini itu. Tidak ada petuah tentang apa yang harus dia lakukan dan apa yang tidak boleh. Agni terkejut menyadari bahwa makan sendirian bisa senikmat ini. Hanya sepuluh menit dan piring yang tadi terisi banyak nasi itu, kini sudah kosong melompong. Agni bangkit, menyeret kakinya ke arah sink dan mencuci langsung piring kotor miliknya. Barulah kemudian dia berjalan ke arah kamar, lemari besar yang ada di kamarnya itu dia buka untuk mengeluarkan satu kaos berwarna biru langit yang mencolok di kulitnya yang coklat. Agni memakainya, berbalik kembali keluar kamar dan memakai sepatu. Dia harus mendatangi restoran miliknya seperti biasa, karena jika tidak maka akan banyak komplain dari pelanggannya yang merasa tidak cocok dengan masakan buatan anak buahnya. Mengendarai mobil city car miliknya, Agni membelah jalanan Jogja yang cukup padat. Restorannya berada di kawasan yang strategis, dekat dengan kampus dan juga kawasan perkantoran membuat restorannya ramai didatangi pengunjung. Parkiran masih sepi karena belum memasuki waktu buka, Agni mematikan mesin mobilnya dan berjalan keluar. Tiga karyawan wanitanya sudah sibuk membersihkan isi resto, sedangkan karyawan lelaki sibuk memindahkan bahan segar yang baru datang dari pasar. "Pagi, Mas!" Agni menoleh, tersenyum tipis pada Lili, karyawan pertamanya. "Mau dibikin kopi engga, Mas?" tanya gadis itu dengan ramah. Rambut berponi nya bergerak ringan ketika gadis itu berjalan pelan mendekati bosnya. "Engga usah, biar saya bikin sendiri," tolak Agni. Langkahnya langsung berjalan menuju dapur, membuka lemari tempat penyimpanan yang berisi bubuk kopi ataupun teh berbagai jenis. Mengabaikan kopi, Agni memilih mengambil teh hijau dan menyeduh nya tanpa gula. Aroma khas menguar begitu air panas merendam kantung teh itu, Agni menyesap aromanya dengan serius sampai kemudian dering ponselnya terdengar. Helaan napasnya keluar, mendapati pesan yang dikirimkan oleh ibunya. Jangan lupa soal yang Ibu bilang waktu itu. Ibu butuh jawaban kamu. Ini adalah soal perjodohan. Yang katanya sudah disepakati oleh Ayahnya dengan sahabatnya jaman dulu. Agni pikir hal seperti itu hanya ada di film atau cerita fiksi, siapa sangka jika dirinya justru mengalaminya secara langsung? Ditambah Agni bahkan belum sempat melihat seperti apa wanita yang akan dijodohkan dengannya. Yang ia tahu hanyalah wanita itu tinggal di Jakarta. "Mas, yang pokcoy cuma ada tujuh kilo. Cukup engga ya?" Agni sedikit terkejut saat Fahri melongok dari pintu dapur yang terbuka. Fahri adalah karyawan kedua, orang yang Agni percaya menjaga restoran saat dirinya harus pergi atau ada urusan lain. "Cukup. Kalau engga cukup, bisa ganti pakai sawi putih," jawab Agni. Kemudian pria yang lebih muda darinya tiga tahun itu, berlalu pergi meninggalkan Agni kembali seorang diri. Agni melakukan hal yang sama, keluar dari dapur dan menuju ke arah ruangan restonya yang sekarang dalam keadaan siap buka. Pada karyawan kemudian menempati posnya masing-masing. Sedangkan Agni masih menyangga gelas tehnya sambil berdiri di sisi bar. Bar sendiri adalah meja yang dibuat memanjang disisi tembok yang di decor sedemikian rupa, membuat beberapa pengunjung lebih suka duduk disana karena bisa leluasa berfoto dengan background putih-emas bunga-bunga yang cantik. "Menu utama hari ini Ayam Kalasan, tolong tulis di board," pinta Agni pada Fahri. Kemudian setelah teh dalam gelasnya habis, Agni berbalik kembali ke arah dapur. Mencuci gelas bekas pakainya dan kemudian mengenakan apron. Bersedia di depan kompor dan meracik bahan sekaligus bumbu yang akan digunakan jika ada yang memesan. Hal ini akan memudahkan para juru masak yang akan menggantikan nya, agar rasa yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan masakannya sendiri. "Lili, tolong saya minta laporan yang kemarin." Gadis yang dia mintai tolong itu langsung tersenyum. "Akan saya kirim sekarang juga, Mas. Tunggu ya," balasnya kemudian langsung berlari ke meja kasir. Agni mengerutkan kening. Padahal kalaupun nanti saja juga tidak masalah, tapi gadis itu terlalu bersemangat dan langsung bergerak begitu Agni memintanya. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD