2

1510 Words
"Kamu beneran ndak pengen kerja di perusaan keluarga? Kantor keluarga kita itu butuh kamu, kenapa kamu malah buang-buang uang dan waktu buat bikin rumah makan begitu?" Pria itu memejamkan mata sejenak, berusaha menahan dan menekan rasa tidak nyaman di dalam dadanya karena harus berhadapan dengan situasi yang sama sekali tidak dia harapkan. Bahkan ketika raganya sudah berhasil keluar dari rumah mewah ini, pada akhirnya Agni kembali harus mengulang-ulang cerita dimana dirinya harus tetap legowo menghadapi segala macam tuntutan dan omelan dari Ibunya. "Itu restoran sekaligus kafe, Bu. Bukan sekedar rumah makan," sanggah Agni kalem. Namun ibunya itu berdecak, menaruh garpu yang sedang dipegangnya dengan cukup keras hingga menimbulkan bunyi nyaring yang mengganggu. "Apa bedanya itu sama warteg? Keluarga Andaru susah payah bangun bisnis properti sampai bisa merambah ke makanan dan bidang kesehatan, tapi kamu yang keturunan Andaru justru sibuk bikin rumah makan kayak gitu. Ibu kadang malu kalau pas arisan keluarga nama kamu dibanding-bandingkan dengan sepupu-sepupu kamu yang punya jabatan tinggi di perusahaan keluarga," tukasnya. Agni hanya tersenyum tipis, dia meyakinkan dirinya jika membalas ucapan ibunya saat ini adalah salah dan juga perilaku yang tidak sopan. Maka yang dia lakukan hanya berusaha segera menghabiskan makan malam miliknya meskipun tenggorokannya kesulitan untuk menelan. "Ibu tinggal ndak usah datang aja ke acara arisan itu. Jadi ibu engga harus dengar omongan mereka," sahut Ayodhya. Seorang gadis manis dengan rambut panjang sepunggung yang merupakan adik bungsu dari Agnibrata Andaru, sama sekali tidak berwajah takut meskipun baru saja menyanggah ucapan ibunya yang dianggap punya kuasa mutlak di dalam keluarga semenjak ayah mereka meninggal sewaktu mereka masih kecil. Agni mendesah pelan ketika melihat wajah tidak senang dari ibunya itu. Sudah sering ia mengingatkan Ayu agar adiknya itu tidak membantah apapun yang diucapkan oleh ibu mereka, namun Agni menyerah ketika menyadari bahwa adiknya adalah tipe manusia yang tidak akan mau ditindas oleh siapapun. "Ini yang Ibu ndak suka dari kamu! Dulu Ayahmu terlalu memanjakan kamu dan menuruti semua yang kamu minta sampai sampai sekarang kamu udah bisa bantah Ibu dengan wajah seperti itu, Ayu?" Ayu mendongak, tangannya meletakan garpu dan pisau yang sedari tadi sedang dipegangnya. "Ayu ndak bermaksud menentang ucapan ibu, Ayu hanya menyuarakan pendapat Ayu," katanya. Kemudian dia melirik ke arah Agni yang menggeleng pelan, meminta dirinya untuk berhenti sekarang juga. Namun terlambat, karena Ayu sudah merasa gerah dengan segala tingkah lalu dari Ibunya itu. Melelahkan jika terus mendengar kakaknya disalahkan hanya untuk kesalahan yang tidak dilakukan Agni. "Ibu selalu mengeluh tentang ucapan mereka, dan setelahnya Ibu menyalahkan semuanya ke Mas Agni. Padahal Mas Agni salah apa, Bu? Apa hanya karena Mas Agni memutuskan untuk membuka usahanya sendiri lalu itu artinya dia mengkhianati keluarga? Apa Ibu ndak tahu bahwa restoran yang Mas Agni punya justru memiliki omset yang lebih dari gaji yang akan Mas Agni dapatkan kalau bergabung dengan perusaan keluarga? Mas Agni akan menjadi bawahan dari Pak Dek Kaisar, tapi dengan usahanya sendiri, Mas Agni justru jadi bosnya. Harusnya Ibu bangga, dan bukan malah terus mendorong Mas Agni jadi bawahan Pak Dek yang engga pernah senang dengan Mas Agni itu." Ayu menunduk, merasa nyaris kehabisan napas karena berbicara terlalu banyak. Sedangkan Agni sudah mengepalkan tangannya kuat-kuat, merasa menjadi pecundang yang selama ini tutup mulut namun merasa lega ketika Ayu menyuarakan apa yang selama ini ingin dirinya katakan. "Kamu benar-benar lancang, Ayu!" desis Ibunya. Ayu melengos, kakinya mendorong kursi yang ia duduki hingga membuat jarak antara kursi itu dengan meja makan. Kemudian tanpa mengatakan apapun lagi, gadis itu berbalik dan berjalan santai ke arah kamarnya. "Apa kamu juga berpikir apa yang diucapkan adikmu itu benar? Kenapa kamu diam saja melihat adikmu bertingkah kurang ajar sama Ibu?" Agni mendesah berat, untuk pertama kalinya dia memutuskan untuk mengabaikan pertanyaan dari Ibunya dan berjalan ke arah kamarnya sendiri, persis seperti apa yang dilakukan oleh adiknya. "Agni!" teriak Ibunya murka. Bahkan ketika biasanya dia akan langsung berhenti, berbalik dan berjalan kembali ke bangku ibunya dengan tatapan menyesal, kali ini Agni tidak melakukan itu. Dirinya hanya terus berjalan lebih jauh hingga menghilang di balik pintu jati. * Tubuh tinggi Kinta hanya terdiam di depan pintu pagar rumahnya. Beberapa saat lalu, Kaila dengan baik hati mengantarkan dirinya hingga sampai rumah. Namun yang dilakukan Kinta saat sudah sampai di depan rumahnya, bukanlah langsung masuk dan menemui Maminya seperti biasa, tapi justru hanya berdiri diam dengan kepala mendongak, menatap ke arah gazebo yang terletak di sisi kanan rumahnya. Biasanya, setiap ada yang berulang tahun di rumah ini, mereka akan berkunjung ke makam Papi. Mendoakan Papi agar bahagia di sisi Tuhan. Dan kemudian mereka akan pulang dan mulai menyiapkan acara kecil yang menjadi tradisi di rumah ini, mengadakan makan-makan kecil yang hanya dilakukan oleh mereka bertiga namun dengan berbagai menu yang enak dan banyak yang bahkan tidak berhasil mereka habiskan. Namun tadi pagi, kakaknya kembali berulah dengan mengurung diri di kamar, sehingga yang berziarah ke makam Papi mereka hanya Kinta dan juga Maminya. Kemudian setelah itu Kinta yang niatnya akan mengambil libur, memutuskan untuk berangkat kerja hingga membuat Maminya bingung. Kinta terkesiap ketika bunyi pintu terbuka di depan sana, menampilkan Maminya yang sudah mengenakan daster rumahan itu menatap terkejut ke arahnya. "Kok udah pulang engga langsung masuk?" tanya Puji. Wanita paruh baya itu bergegas turun dari teras dan berjalan mendekat ke arah putri bungsunya. Ia membuka pagar dan membiarkan Kinta yang menyengir itu berjalan masuk. "Kinta cuma mastiin aja kalau Kinta engga salah rumah," candanya. Maminya tertawa, tangannya mengapit lengan Kinta dengan tawa kecil. "Ngaco aja, mana mungkin kamu kesasar di kompleks yang udah kita tinggalin dari kamu lahir," balasnya sambil menggelengkan kepala pelan. Kinta ikut tertawa, dirinya terus berjalan masuk dengan Maminya yang masih menggandeng lengannya. "Mana Kak Kada, Mi?" tanyanya. Maminya tersenyum, melepaskan pegangan pada lengan Kinta untuk menutup kembali pintu dan sekaligus menguncinya. "Tadi siang pergi, engga bilang mau kemana tapi kayaknya engga akan pulang," jawab Maminya. Kinta tanpa sadar menghela napas berat. Matanya menatap sedih pada Maminya yang bahkan masih bisa tersenyum. "Engga apa-apa, selama masih ada Kinta di samping Mami, Mami akan baik-baik aja," ujarnya yakin. Tangan keriputnya terangkat, mengusap lengan Kinta dengan pelan. "Lagipula Kakak kamu engga akan macem-macem, dia cuma akan nginap di rumah Malika dan besok akan pulang," lanjutnya. Kinta mengangguk. Di saat seperti ini tiba-tiba saja dirinya teringat ucapan Kaila yang mengatakan bahwa kakaknya adalah orang yang egois yang hanya memikirkan rasa sakit dan terluka yang dia miliki, tanpa perduli jika orang-orang di sekitarnya juga terkena imbas dari apa yang dia lakukan. "Mami pasti belum makan kan?" tanya Kinta. Maminya itu mengangguk dengan senyum lebih lebar. "Ini kan hari ulang tahun Mami, jadi Mami mau makan bareng sama anak Mami," jawabnya. Hati Kinta terasa diremas, menyadari bahwa ibunya pasti kesepian karena keegoisan anak-anak nya. Kinta juga menyadari bahwa dirinya sama egoisnya dengan Kada, karena memilih melarikan diri dengan bekerja dan meninggalkan Maminya kesepian sendirian di rumah. "Yaudah, ayo kita makan, Mi! Karena ini hari ulang tahun Mami, Mami harus makan yang banyak," katanya. Puji kembali tertawa dengan tangan yang ditarik oleh Kinta menuju ruang makan. Kemudian ketika putrinya itu sudah duduk dengan tenang di kursi, dirinya melanjutkan langkah untuk menghangatkan gulai yang tadi pagi ia masak dan hanya tersentuh sedikit saja oleh Kinta saat sarapan. "Mami engga sempat masak yang lain, jadi gulai yang tadi pagi juga engga apa-apa kan?" tanya Puji dari arah dapur. Kinta mengangguk, "Engga apa-apa, Mi. Lagian sayang banget masak banyak kalau cuma kita berdua doang yang makan," jawabnya dengan suara sedikit lebih keras karena jarak antara dapur dan meja makan agak jauh meskipun tidak terhalang apapun selain kitchen set. Tidak butuh waktu lama hingga ibunya kembali dengan satu mangkuk besar yang mengepulkan asap. Perut Kinta yang tadi tidak terasa begitu lapar, langsung meronta hanya karena mencium aroma menyenangkan dari masakan Maminya itu. "Harusnya kamu ajak Kaila main kesini juga," ujar Puji saat mengambilkan nasi untuk Kinta. Kinta menggeleng, "Dia sibuk ngurusin Pavlov, Mi. Dia bahkan bisa gila kalau ninggalin Pavlov lebih lama sendirian di apartemennya," jawab Kinta. Puji terkikik geli mendengar ucapan anaknya itu. Pavlov yang dibicarakan oleh Kinta adalah anjing kecil yang tidak sengaja ditemukan oleh Kaila ketik mereka masih SMK dulu. Dan hingga saat ini, Pavlov sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Kaila, sampai-sampai gadis itu akan panik setiap Pavlov jatuh sakit walaupun hanya sekedar diare. "Tapi Pavlov itu memang lucu, Kin. Dulu Mami sempat mau piara anjing juga, tapi Papi ngelarang karena anjing bisa jadi bahaya kalau kita engga pandai ngurusnya." Kinta tersenyum geli, bukan cerita soal Maminya ingin punya anjing yang menarik perhatiannya, namun karena dari cerita itu dia bisa melihat bagaimana Papinya begitu posesif dan tidak ingin Maminya terluka. "Iya sih, Mi. Di awal-awal Kaila juga pernah kena gigit, walaupun engga sampai parah," sahut Kinta. Kemudian Maminya membalas ucapannya dengan semangat, seakan-akan raut sedih yang tadi sempat Kinta lihat di wajah Maminya itu tidak pernah ada. Relung hati Kinta menjadi lega, setidaknya meskipun hanya mereka berdua di rumah ini, dan hanya dengan memakan gulai sisa tadi pagi juga sedikit membahas soal Kaila dan Pavlov, sudah cukup membuat suasana hatinya dan Maminya membaik. Sepertinya besok Kinta harus mentraktir Pavlov cemilan yang enak sebagai tanda terimakasih. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD