Ponsel yang sejak tadi siang dibiarkan begitu saja oleh Kinta, akhirnya bisa tergapai setelah dirinya selesai di-make over oleh Kada.
Usai dia siap, kedua manusia yang tadi ada di dalam kamarnya memutuskan untuk keluar, membantu anggota keluarga yang lain. Sedangkan Kinta diminta tetap berada di kamar hingga nanti rombongan calon suaminya datang.
Ada satu pesan yang Kinta dapatkan, saat jam satu siang, Agni dan keluarga sudah sampai di bandara dan akan menuju hotel. Lalu ada satu pesan lagi dari pria itu yang menanyakan apakah ada yang Kinta perlu kan? Katanya Agni akan membawakan apa yang Kinta mau, sebuah perhatian kecil yang membuat Kinta tersentuh namun juga merasa lucu karena baru kali ini ada seseorang yang menanyakan keinginan orang yang akan dilamarnya sebelum dilamar.
Tapi dari semua itu, Kinta hanya menjawab dengan satu balasan kecil "Hati-hati" Yang kemudian tidak dibalas lagi.
Kini ketika kepalanya melongok ke arah jam yang ada di kamarnya, waktu sudah menunjukan pukul setengah enam sore lebih sepuluh menit. Hanya menunggu beberapa saat lagi saja hingga keluarga Agni datang untuk melamar secara resmi, pertemuan pertama antara dirinya dengan Agni secara langsung.
Pria gula Jawa yang membuat dirinya tertarik sejak pertama kali melihatnya di foto. Pria yang dijodohkan dengan salah satu dari anak Papinya, namun kemudian Kinta yang maju karena kakaknya jelas menolak perjodohan ini.
Kinta penasaran, dia bangkit ke arah pintu dan menempelkan samping telinganya di pintu. Suara berisik terdengar dari luar, rupanya semua keluarganya sedang bersiap menyambut tamu yang sebentar lagi akan datang.
Lalu suara adzan terdengar, untungnya Kinta sedang datang bulan sehingga tidak harus sholat di saat wajahnya sudah penuh dengan make up.
Dia berbalik, kembali duduk di atas kasur. Menunggu beberapa saat lagi hingga dia akan dipanggil. Namun suara denting ponsel pertanda pesan, membuat dirinya teralih. Satu pesan dari Agni yang mengatakan bahwa rombongan sudah akan berangkat dari hotel. Kinta kembali berdebar.
Dia bergegas keluar dari kamar, celingukan mencari sosok Mami nya. Namun yang terlihat adalah Basri, omnya yang sedang membawa kardus berisi air mineral.
"Om!" panggil Kinta.
Om nya menoleh, meminta waktu untuk lebih dulu menaruh air mineral yang dia bawa sebelum kemudian berbalik kembali ke arahnya.
"Kenapa, Neng?" tanya Basri.
Panggilan itu sudah disematkannya sejak Kinta masih kecil, omnya terbiasa karena istrinya merupakan orang Sunda sehingga sering kali menggunakan panggilan Sunda.
"Tolong bilangin Mami, Om. Keluarga Mas Agni sudah di jalan mau kesini," ujarnya memberitahu.
Basri membulatkan matanya, setelah mengucapkan Oke, dia langsung berlari ke arah dapur dimana semua orang sedang berkumpul.
Kinta sendiri langsung kembali ke kamarnya, beberapa saat kemudian dua orang yang tadi siang mendadaninya masuk ke dalam kamar dengan heboh.
"Lo harus siap-siap sekarang, bentar lagi calon laki lo bakalan datang!" seru Kaila.
Tanpa perasaan dia langsung menggeret Kinta menuju meja rias, mengambil bedak dan kembali membenarkan make up di wajah Kinta. Sedangkan Kada bertugas merapikan tatanan rambut Kinta, juga kebaya yang dikenakan oleh adiknya.
Beberapa saat terasa cepat saat kemudian pintu kamar Kinta diketuk dari luar.
"Keluar, rombongan sudah datang."
Ketiga orang di dalam kamar itu saling tatap sebelum kemudian bergerak dengan gelisah.
"Ya Tuhan akhirnya gue bisa lihat Mas Gula Jawa secara langsung. Ya Tuhan Ya Tuhan!"
Bukan Kinta yang berseru heboh seperti itu, melainkan Kaila yang berlari kecil memutari kamar Kinta dengan memegangi kepalanya.
"Dia kenapa sih? Tinggalin aja, engga apa-apa kan?" tanya Kada dengan gurat heran.
Kinta mengangguk, dia menarik tangan kakaknya untuk keluar kamar, meninggalkan Kaila yang kemudian terburu-buru menyusul mereka.
Di luar, di ruang tamu yang kini sudah digelar karpet Arab berukuran besar, sudah banyak orang. Kinta memegang tangan kakaknya erat, sedikit demi sedikit dia berjalan keluar hingga kemudian semua orang langsung menatap ke arahnya.
Tapi mata Kinta langsung tertuju pada seorang pria yang duduk di tengah, menggunakan kemeja batik yang entah Kinta tidak tahu motifnya apa namun terlihat sangat cocok di tubuhnya. Warna batik itu adalah putih, terlihat menyala di tubuh Agni yang kecoklatan. Ah darimana Kinta tahu jika itu adalah Agni? Karena memang wajah itu yang dia lihat saat melakukan panggilan video.
"Nah yang memakai kebaya berwarna silver itu adalah anak kami yang Insya Allah akan menjadi pasangan untuk Agni," ujar Basri. Ia tersenyum pada Kinta, meminta keponakannya untuk mendekat.
"Neng, yang duduk di depan Om ini adalah lelaki yang akan menjadi pasangan untuk kamu. Kamu sudah tahu?" tanya Basri.
Kinta yang menunduk, mendongak sedikit demi sedikit hingga bertatapan dengan Agni. Pria itu sedang menatap dirinya dengan serius, tidak ada senyum disana.
"Kinta tahu," jawab Kinta dengan suara pelan.
Lalu acara dilanjutkan dengan pengutaraan maksud dari pihak Agni yang diwakilkan oleh Kakak pertama Agni. Perkenalan antara kelurga dan jawaban yang diberikan oleh pihak keluarga Kinta.
Malam itu, satu cincin emas putih tersemat di jari manis Kinta. Dia resmi menjadi tunangan sepasang Agnibrata Andaru.
*
"Hai, Mas!" sapa Kinta.
Raut malu-malu sudah menghilang dari wajahnya, kini digantikan dengan senyum ceria yang sebelumnya Agni lihat saat melakukan panggilan video.
"Hai! Kamu sudah engga gugup ya?" tanya Agni.
Kinta di depannya tertawa, "Saya engga gugup kok, saya cuma pura-pura gugup aja buat dramatisasi keadaan," jawabnya.
Mendengar jawaban yang tidak biasa dari gadis itu membuat Agni hanya bisa menggelengkan kepala takjub.
Acara resmi sudah selesai dilakukan, kini para orang tua hanya sedang bertukar cerita dan saling bercanda. Sedangkan Agni yang memutuskan untuk mencari udara segara, kemudian disusul oleh gadis yang beberapa saat lalu menjadi tunangannya.
"Besok langsung pulang?"
Agni menoleh, mengangguk sebagai jawaban.
"Iya, besok pagi."
Di sampingnya, gadis yang kini sedang mencoba duduk dengan rok yang tampak mengganggu itu, bersenandung pelan entah menyanyikan lagu apa.
"Yang tadi antar kamu masuk, kakak kamu?" tanya Agni.
Niatnya hanya untuk membuka obrolan, namun ternyata pertanyaannya itu justru membuat Kinta salah paham.
"Kenapa? Dia lebih cantik dari saya ya, Mas? Mas berharap Kakak saya yang dijodohin sama Mas?" tuduhnya dengan raut cemberut.
Agni menaikan sebelah alisnya, "Bukan begitu," sangkal nya.
Tapi tunangannya terlanjur mengambil kesimpulan, Kinta lalu melengos sambil melipat tangan di d**a.
Terdiam, Agni kebingungan harus berkata apa untuk meyakinkan gadis itu. Sebenarnya untuk beberapa alasan Agni merasa Kinta tidak benar- benar marah. Namun tingkah gadis itu yang cemberut dan juga memalingkan wajah, terasa menganggu nya.
"Saya engga ada maksud seperti yang kamu sebutkan, saya hanya mencoba cari bahan obrolan soalnya saya bingung mau ngomong apa," ujar Agni, kembali mencoba memberi penyangkalan.
Baru kemudian Kinta menoleh, bibirnya masih mencebik hingga membuat Agni harus melipat bibir agar tidak tertawa.
"Ya kalau pun memang Mas berharap Kakak saya yang dijodohin sama Mas, yaudah kita tinggal masuk lagi ke dalam terus bilang ke semua orang kalau kita itu--"
"Kintamani," panggil Agni. Dia menarik napas pelan sebelum kemudian menepuk pundak gadis yang duduk di sampingnya dengan dihalangi meja kopi.
"Saya menerima kamu yang terpilih oleh keluarga kamu. Ketika tadi saya menyematkan cincin di jari kamu, itu artinya kamu yang saya masukan ke dalam daftar wanita yang harus saya jaga perasaannya. Jadi tolong jangan berpikir yang tidak-tidak."
Di depannya Kinta langsung terdiam. Gadis itu berdeham pelan sambil membetulkan letak duduknya.
"Ya..ya memang harusnya seperti itu. Kan saya yang sudah jadi tunangan Mas. Ngapain ngomongin perempuan lain?"
Agni menggeleng, "Kan tadi saya sudah bilang kalau saya cuma mencari bahan obrolan aja."
Meski masih dengan wajah yang bersungut-sungut, namun pada akhirnya Kinta mengangguk. Gadis itu mulai kembali duduk menghadap depan, tidak lagi membuang muka dari Agni.
"Mas.." panggilnya kemudian.
Agni menoleh sedikit sambil menjawab panggilan Kinta.
"Kenapa Mas mau dijodohin?"
Pertanyaan yang sebenarnya sudah Agni duga akan ditanyakan oleh pasangannya. Dan Agni sudah menyiapkan jawaban untuk itu.
"Karena saya punya alasan untuk melakukannya."
"Apa?"
Matanya menatap lurus pada Kinta yang membalas sama lurusnya. Dibiarkan beberapa waktu terbuang dengan saling pandang, hingga kemudian Agni memalingkan wajah dengan senyum tipis.
"Sepertinya untuk saat ini saya belum bisa cerita," balas Agni.
"Apa alasan ini akan jadi masalah kalau kita jadi menikah? Kalau jadi masalah, saya kira lebih baik diomongin sekarang," tanya Kinta lagi.
Seperti pertanyaan yang diberikan oleh Kinta padanya, Agni juga menanyakan itu pada dirinya sendiri. Akankah alasannya membuat rumah tangganya dengan Kinta kelak akan mendapat masalah?
Tapi kemudian dia menggeleng, "Ini bukan masalah yang besar. Dan saya yakin engga akan jadi masalah di masa depan," katanya.
Kinta tampak mengangguk, tidak memaksa Agni untuk bercerita saat ini. Toh mereka baru pertama kali bertemu. Bahkan obrolan mereka saat ini terasa dingin dan hambar, Kinta menyadari satu hal bahwa Agni bukan tipe orang yang pandai membuka obrolan dan bukan tipe orang yang terganggu walaupun berada di situasi canggung.
"Kayaknya kita punya sedikit kesamaan," ujar Kinta tiba- tiba.
Agni yang sedang memandang beberapa kendaraan yang melewati rumah Kinta, langsung menoleh.
"Apa?" tanyanya.
Gadis di sampingnya tersenyum, duduk dengan bersandar pada badan kursi.
"Sama-sama engga bisa mengakrabkan diri dengan baik. Sama-sama bukan orang supel yang pandai bergaul, soalnya saya cuma punya satu orang teman," jawabnya kemudian.
Mengangguk, Agni menyetujui ucapan Kinta. Dirinya juga hanya memiliki satu teman, dan bahkan sekarang sudah terpisah jauh darinya.
"Benar," katanya setuju.
Lalu tawa kecil Kinta terdengar bersamaan dengan tangan kecil gadis itu yang menyentuh lengan Agni, membuat Agni menatap dan mendapati senyum manis itu.
"Ke depannya kita coba buat saling menyamakan diri ya, Mas? Soalnya kalau jadi nikah, kita engga akan hidup sama-sama sehari dua hari atau sebulan dua bulan aja kan? Aku engga mau cerai karena aku mau nikah sekali seumur hidup. Setuju?"
Tanpa ragu, Agni mengangguk. Dia juga menginginkan hal yang seperti itu.
"Setuju."
**