Hari Jum'at. Hari dimana pada akhirnya kedua keluarga akan bertemu untuk pertama kalinya.
Sejak pagi keluarga Kinta sudah sangat heboh dan juga sibuk. Maminya yang sudah berbaikan dengan Kada, menyeret anak sulungnya itu untuk ikut ke pasar, berbelanja bahakan masakan dan makanan. Sedangkan Kinta yang mau ikut, dilarang oleh Maminya dan hanya diminta untuk menjaga rumah sampai mereka kembali.
Dan tahukah kalian apa yang dilakukan oleh Kinta sejak pagi? Dirinya sudah menganggu Agni dan menanyakan jam berapa keluarga pria itu akan berangkat.
Agni bilang, keluarganya sudah akan berangkat jam delapan. Maka dari itu semenjak jam enam Agni dan rombongan sudah ada di bandara, menunggu jadwal keberangkatan mereka.
Lalu karena bosan menerima jawaban Agni yang singkat-singkat saja, akhirnya Kinta memilih tidak membalas lagi dan malah memainkan sosial media nya. Dia benar-benar bosan, bahkan ingin keluar dari kamar pun percuma karena tidak ada yang bisa dia lakukan seorang diri.
Untungnya dirinya baru memiliki kesibukan saat Mami dan Kakaknya datang dari pasar. Kinta yang lumayan memiliki keahlian memasak berperan besar pada semua masakan yang dibuat untuk menyambut keluarga Agni. Kemudian bala bantuan datang di jam yang hampir tengah hari, tante dari pihak Ayahnya datang untuk membantu dan mempersiapkan segala macam dekorasi dan juga kue kecil sebagai cemilan.
Keberadaan mereka benar-benar sangat membantu keluarga Kinta karena ibunya hanya seorang diri di ibu kota. SEluruh keluarganya ada di Indramayu sehingga sulit untuk mengundang mereka semua datang ke Jakarta.
"KIta mau lesehan kan, Mbak?" tanya Basri, adik kedua Papinya Kinta dan Kada.
Puji mengangguk, tangannya menunjuk ke sisi belakang.
"Karpet nya ada disana, Bas. Udah Mbak laundry," beritahunya.
Basri mengangguk, berjalan bersama dengan anaknya yang kini duduk di bangku kelas tiga SMA.
"Mbak, aku tadi pesan brownies sebelum datang kesini. Tolong nanti diterima ya barang kali aku engga dengar pas ada di dapur!" Seru Mentari, istri Basri yang keluar dengan menggunakan celemek.
Puji mengangguk, mengucapkan terimakasih sebelum adik iparnya itu berjalan kembali ke arah dapur.
Suaminya adalah anak sulung yang mempunyai tiga orang adik. Yang pertama tinggal di Semarang dan belum sampai di Jakarta karena mendapat penerbangan jam sembilan pagi. Basri adalah adik kedua dan yang ketiga adalah Mila yang kini sedang bersama dengan Mentari untuk membantu di dapur. Sama seperti dirinya, Suami Mila sudah meninggal semenjak du tahun yang lalu karena penyakit kanker, Mila atang hari ini hanya bersama dengan anak sulungnya yang kelas satu SMA sedangkan anak keduanya bersekolah di kota kelahiran suaminya yaitu Malang.
"Mi.."
Puji menoleh, mendapati Kinta yang tampak kacau.
"Kamu kenapa?" tanya Puji cemas.
Dia berjalan mendekat, memegangi pipi anaknya yang terasa hangat.
Kinta menggeleng, memeluk lengan Maminya dengan manja.
"Engga tahu kenapa, kepala Kinta sakit," keluhnya.
Puji mendesah berat, seperti ini jadinya kalau Kinta mengalami gugup yang berlebihan. Tubuhnya mudah sakit jika mengalami sesuatu yang membuatnya panik atau gugup.
"Kamu tunggu di kamar, biar Mami aja yang ambilin obat," ujarnya kemudian.
Anaknya menurut. Kinta langsung berjalan ke arah kamar, duduk di tepi ranjang sambil mengusak hidungnya hingga merah.
Padahal tadi dirinya baik-baik saja, bahkan bisa membantu Maminya di dapur. Namun siapa sangka semakin berjalannya waktu, dirinya yang tadi biasa saja tiba-tiba merasa gugup bukan main.
"Minum dulu, kamu udah makan kan?" tanya Puji.
Kinta mengangguk, mengambil gelas dan obat dari tangan ibunya.
"Masih sempat engga sih, Mi, kalau Kinta tidur dulu sebentar?" tanya Kinta. Tubuhnya benar-benar terasa lemah.
Maminya mengangguk setelah melihat jam di nakas yang masih menyentuh angka setengah dua belas.
"Dua jam aja ya tidurnya? Sekitar jam dua Mami bangunin lagi," katanya mengingatkan.
Setelah Kinta mengangguk, Maminya itu lalu berjalan keluar kamar meninggalkan Kinta yang sudah tidak berdaya dan bisa tertidur hanya dalam waktu lima menit.
*
Dua jam kemudian, bukan Maminya yang masuk ke dalam kamar untuk membangunkan, melainkan kakaknya Kada yang sudah selesai mandi dan tengah menggulingkan rambutnya dengan handuk.
"Bangun, Kin. Orang-orang udah pada ganti baju, habis maghrib kan keluarga Agni mau datang."
Meski jelas mendengar suara kakaknya, namun mata Kinta sangat sulit untuk terbuka. Dirinya mengantuk sekali.
"Kin, bangun. Jangan sampai Mami yang kesini, bisa habis kamu kalau Mami sampai lihat kamu belum bangun," ancam Kada.
Barulah dengan sangat terpaksa, Kinta membuka matanya lebih lebar.
"Ini jam berapa emangnya, Kak?" tanyanya sambil mencoba untuk bangun.
Pusing di kepalanya sudah tidak sekuat tadi siang, namun masih ada rasa mual di dalam perutnya yang membuat Kinta merasa tidak nyaman.
"Jam setengah tiga. Ini aku juga mau ganti baju sama ngeringin rambut. Kamu makan aja dulu di depan, baru habis itu aku bantu siap-siap," jawab Kada.
Kinta mengangguk. Dia melangkah turun dari ranjang dan keluar bersama dengan Kada. Mereka berpisah ketika sampai di depan, Kada yang masuk ke dalam kamarnya dan Kinta yang berjalan ke arah meja makan.
"Gimana pusingnya? Kata Mami kamu, kamu malah sakit?" tanya Mentari ketika melihat Kinta memasuki dapur.
Kinta menyengir, duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan.
"Cuma pusing biasa kok, Tan. Aku emang gini kalau gugup," jawabnya.
Tertawa, Mentari memberikan satu gelas air putih untuk Kinta.
"Makasih ya, Tan," ujarnya.
"Walaupun bukan sama pacar, kalau mau dilamar emang bikin gugup ya, Kin?"
Kinta mengangguk, menaruh kembali gelas yang sudah kosong.
"Kinta malah takutnya dia berubah pikiran dan langsung nolak aku pas ketemu langsung, Tan."
Mentari bergerak memundurkan tubuhnya hingga bersandar pada kursi.
"Mana mungkin, yang ada begitu melihat kamu, dia bakalan langsung minta nikah besok."
Kemudian mereka tertawa, menertawakan ucapan Mentari. Sampai Puji datang dari luar dan menawari anak bungsunya untuk makan.
Kinta hanya berhasil makan setengah piring dari apa yang diberikan oleh Mami nya, perasaan mual masih terasa hingga membuat Kinta tidak bisa menikmati makanan yang sebenarnya enak karena merupakan hasil karya Maminya dan dirinya sendiri.
Usai makan, Kinta langsung kembali ke dalam kamar. Dia membersihkan diri, menghabiskan waktu sekitar empat pulih lima menit. Atau mungkin lebih. Dan ketika dirinya keluar, sudah ada Kada dan Kaila yang duduk di tempat tidurnya.
"Yoo.. Udah mandi aja nih," ujar sahabatnya itu.
Kinta mengabaikan ucapan Kaila, dia memilih berbelok ke lemari dan mengambil kaos putih oblong dan celana pendek rumahan.
"Kak, katanya mau bantu aku," katanya pada Kada.
Kada mengangguk, berjalan mendekat dan mendorong adiknya hingga duduk di depan cermin.
"Mau diapain? Digelung apa di urai aja?" tanya Kada bak penata rambut profesional.
Kinta memiringkan kepalanya, berpikir.
"Kalau diurai kelihatan kayak orang hutan engga sih?"
Padahal Kinta bertanya dengan serius, karena rambutnya kadang kalau terlalu lama digerai maka akan mengembang. Namun Kaila yang mendengar pertanyannya, justru tertawa dengan keras. Hingga membuat Kinta rasanya ingin melempar alat curly yang ada di hadapannya ke sahabatnya itu.
"Engga kok. Tapi kayaknya emang lebih bagus digelung aja ya?" jawab Kada.
Setelah berpikir, Kinta akhirnya setuju dengan kakaknya itu.
Pertama, rambutnya diberi vitamin oleh Kada. Katanya agar tidak rusak meskipun harus menggunakan alat yang panas dan kemungkinan bisa membuat rambut menjadi rusak.
Baru kemudian rambutnya disisir dengan lembut oleh Kada, dan mulai dirapikan menggunakan alat rebonding untuk meluruskan beberapa bagian rambut yang sulit untuk dirapikan.
"Calon lo udah sampe?" tanya Kaila yang sejak tadi hanya memperhatikan sahabatnya diolah oleh Kada.
Kinta memandang Kaila dari kaca, kemudian mengangkat bahu.
"Engga tahu. Dari tadi gue engga lihat HP, habis bangun tidur langsung makan terus mandi. Jadi engga tahu deh dia udah nyampe atau belum," jawabnya.
Bahkan Kinta sendiri lupa di mana dia menaruh ponselnya sebelum tidur.
"Aku sisain anak rambut sedikit ya? Biar lucu," tanya Kada.
Kinta hanya mengangguk saja. Menyerahkan semuanya pada Kada yang lebih mengerti. Toh biasanya dia hanya menguncir satu rambutnya atau dibiarkan tergerai setelah habis keramas.
Cukup lama Kada berkutat dengan rambutnya hingga kemudian kakaknya itu berseru begitu puas.
"Sudah selesai!"
Kinta langsung menatap ke arah cermin, puas juga dengan tampilan rambutnya yang lucu.
"Wah, bisa cantik juga lo ya? Terakhir kali gue lihat lo dandan, pas lo pawidya SMK. Pas gue bela-belain datang buat kasih selamat ke lo karena lo engga punya temen," komentar Kaila.
Kinta berdecak, kali ini dia tidak berpikir lagi dan langsung melempar satu lipstik kosong ke arah Kaila yang langsung membuat gadis itu memekik.
"Jahat banget lo!" rutuknya.
Tapi Kinta tidak perduli. Dia hanya mengikuti instruksi Kada yang memintanya untuk bangun.
"Aku bantu pakai kebayanya," kata Kada.
Kali ini Kaila memiliki peran. Gadis itu dengan sigap langsung bangun dari duduknya dan membantu mengambil kebaya dan rok yang sudah di persiapkan oleh Kinta.
"Kalau jaman dulu rok kayak ini harus pakai tali atau belt buat ngiket. Tapi karena sekarang semuanya dibuat mudah, jadi udah bisa pakai kancing atau resleting," ujar Kada. Menceritakan tentang asal mula adanya resleting panjang di belakang rok yang Kinta kenakan.
Kinta dan Kaila yang memang tidak mengerti fashion, hanya mengangguk begitu saja.
Kada pertama memakaikan rok pada Kinta, merapikan hingga rempelnya dapat terlihat di bagian depan dan belakang. Baru kemudian dia meminta adiknya untuk melepas kaos atasannya. Dia memberikan pilihan kalau-kalau Kinta mau mengenakan tanktop sebagai dalaman, tapi adiknya itu menolak. Katanya Kinta takut kegerahan.
Akhirnya kebaya atasan berwarna silver itu dipakai tanpa dalaman. Dan hasilnya...
"Bagus banget. Pas di badan lo, Kin."
Kinta mengangguk setuju, baju yang dibuatkan oleh kakaknya benar-benar sangat pas di badannya. Di tambah kain burkatnya tidak terasa gatal meskipun dipakai tanpa dalaman.
"Nah sekarang kamu angin-anginan deh. Biar engga keringetan nunggu sampai maghrib."
**