12

1524 Words
Dua hari tidak pulang ke rumah, menghabiskan waktu di butik seorang diri dan hanya ditemani oleh Malika saat pagi sampai sore saja. Dan segala susah payahnya terwujud dalam sebuah gaun berwarna silver yang cantik. Lebih cocok disebut kebaya panjang hingga mata kaki yang kemudian dilapisi kain puring tipis tahu bergelombang di bagian bawah. Kada tahu jika adiknya tidak menyukai jenis rok model apapun, jadi kebaya ini tetap akan cocok jika dipadukan dengan legging atau celana jeans. Namun karena katanya calon suami Kinta berasal dari keluarga bangsawan Jawa maka Kada membuat rok hitam batik yang longgar, agar gerak adiknya tidak terganggu. Ia berdiri, menatap setelan yang dia buat dengan tangannya sendiri. Entah apa yang dipikirkan oleh adik dan ibunya karena dia tidak pulang, namun dengan adanya ini Kada berharap bisa meminta maaf setulus hati pada keluarganya itu. Bagaimana pun dia tidak ingin menyakiti Maminya lebih dalam dan membuat Kinta lebih salah paham lagi padanya. "Woah cantik ya jadinya?" Kada menoleh, melempar senyum senang mendengar pujian Malika. "Bagus ini pasti kalau dipake Kinta. Dia kan tinggi, jadi pasti nge bentuk banget," lanjut Malika dengan memegangi kain kebaya yang merupakan pilihannya. Tidak salah dirinya bahkan sampai harus menjemput sendiri kain ini karena stoknya yang tidak banyak dan tidak ingin sampai diambil yang lain. "Gue juga engga nyangka kalau warna silver gini bakalan cantik jadinya. Gue jadi engga sabar ngasih ini ke Kinta," ujarnya. Malika menepuk pundak temannya itu, "Tunggu apa lagi? Pulang sana," katanya. "Eh, jam segini Kinta masih di apotek, jadi mending lo temuin aja sekalian di tempat kerjanya. Biar lebih kelihatan tulusnya." Mendengar saran dari temannya, Kada berpikir sejenak sebelum kemudian mengangguk dengan senyum lebar. "Oke deh. Hari ini cuma ada satu orang yang akan fitting, lo bisa kan?" Dengan senyum sama lebarnya, Malika mengangkat jempolnya tinggi. "Semangat yaa, Bestie!" Segera Kada mengambil tasnya setelah melambai sebentar pada Malika. Kemudian dia keluar dan masuk ke dalam mobilnya. Hari masih siang, Kada tidak sempat melihat jam namun jika melihat dari padatnya jalanan, ini sudah masuk jam makan siang. Dia memutuskan untuk mengendarai dengan tenang dan pelan, tujuannya bukan untuk segera sampai namun bisa sampai dengan selamat dan memberikan hadiah permintaan maaf itu untuk adiknya. Entah karena dia bodoh atau memang pura-pura bodoh, selama ini Kada menutup mata dari kebaikan yang diberikan oleh Ibu dan adiknya. Hingga akhirnya malah menyakiti mereka. Membuat Kinta berlalu begitu jauh tanpa bisa dia gapai kembali, membuat adiknya mengambil sebuah keputusan besar untuk menikah, menerima perjodohan dengan seseorang asing untuk dapat memenuhi amanat Papi mereka. Dan Kada tanpa perasaan langsung menolak seperti sudah seharusnya Kinta yang akan maju menggantikan perannya. Tangan Kada memegang setir begitu kuat. Hatinya terasa ngilu. Pantas saja Kinta marah saat itu, pantas saja adiknya yang selama ini baik itu tiba-tiba saja marah besar. Ternyata dia memang sudah keterlaluan. Ternyata dirinya memang sudah sangat jahat. Menempuh jarak lebih dari empat puluh lima menit, Kada baru bisa memarkirkan mobil miliknya di depan apotek tempat adiknya bekerja. Dia tidak langsung turun, hanya terus memandangi dinding kaca yang menjadi tembok apotek. Dirinya sudah memantapkan hati, tapi saat kini sudah ada di tempat yang sama dengan adiknya, Kada justru ragu hanya untuk turun dari mobilnya. Dia benar-benar tidak tahu harus memulainya dengan apa. * "Masih ada dua box di gudang, nanti biar gue aja yang ambil." Kinta mengangguk, membiarkan Kaila berlalu ke gudang penyimpanan untuk mengambil Amoxylin yang habis di etalase. Sedangkan dirinya sendiri sudah sibuk mengambil obat yang sudah masuk tanggal kadaluwarsa menurut apa yang terlihat di sistem komputer mereka. Obat itu akan dihancurkan dan dibuang ke pembuangan sampah kemudian. Sebenarnya ini tugas Geisha, tapi karena kebetulan hari ini cukup sepi sehingga Kinta yang akhirnya melakukan pekerjaan itu. Dia tidak pilih-pilih pekerjaan, toh Geisha juga akan melakukan hal yang sama dengannya. "Jadinya hari jumat kan?" Kinta terkejut saat tiba-tiba suara Kaila terdengar. Padahal sejak tadi dia tidak mendengar ada suara langkah kaki yang mendekat. "Apanya?" Kaila berdecak, "Lamaran lo," balasnya. Mengangguk, Kinta kemudian kembali merapikan barisan obat-obatan yang ada di etalase ditambah obat yang tadi baru saja dibawakan oleh Kaila. "Terus gimana sama Kakak lo? Udah ada kabar kapan dia balik?" Kali ini tangan Kinta terhenti, tersenyum tipis sebelum kemudian menggeleng pelan. "Engga tahu. Habis berantem sama Mami dia belum pulang lagi," jawab Kinta dengan nada pelan. Dirinya memang tidak mencoba menghubungi Kada karena Maminya melarang. Menurut Maminya jika kali ini mereka mengalah lagi, maka yang ada Kada tidak akan pernah sadar dan mengerti. Melihat dari Kaila yang tidak lagi bertanya padanya atau menanggapi ucapannya, Kinta kemudian bangun sambil membawa kantung plastik hitam yang berisi obat itu. Sebelum membuang, Kinta sudah lebih dulu memilah obat. Obat berbentuk kapsul atau tablet lebih dulu dia hancurkan, kemudian mencampurkan dengan tanah sebelum dimasukan ke kantong plastik berflip yang bisa ditutup rapat. Sedangkan obat yang berbentuk cair, Kinta buang isinya ke selokan yang ada di belakang apotek sebelum memasukan botolnya ke dalam plastik. Semua kemasan sudah dilepas segelnya terlebih dulu agar informasi mengenai obat tidak dapat dikenali. "Gue mau buang ini ke depan," ujar Kinta. Dia langsung mengangkat kantung plastik itu dan membawanya ke depan, meninggalkan Kaila yang kemudian bersenandung tidak jelas. Membuka pintu kaca apotek, Kinta kemudian mematung saat melihat seseorang yang baru turun dari dalam mobilnya. Dia adalah orang yang sesaat tadi menjadi bahan pembahasan singkatnya dengan Kaila, yang sudah tidak pulang berhari-hari ke rumah setelah bertengkar dengan Maminya. "Kak Kada.." panggilnya. Kakaknya juga sama terkejutnya. Tadi kakaknya sedang sibuk menutup pintu mobil sehingga tidak menyadari keberadaan Kinta. "Kakak kenapa bisa ada disini? Kakak sakit?" tanya Kinta. Dia berjalan mendekat. "Sebentar, Kak. Aku mau buang ini dulu," katanya sambil mengangkat kantung yang dia bawa. Setelah Kada mengangguk, Kinta berlalu ke arah tempat sampah dan memasukan dua kantung yang dia bawa. Setelah selesai, dia langsung berbalik dan kembali mendekati kakaknya. "Kakak sakit?" tanya Kinta lagi mengulang. Kakaknya menggeleng, "Engga. Aku kesini bukan buat beli obat, tapi buat ketemu sama kamu." Kening Kinta berkerut, namun kemudian dia menarik kakaknya ke kursi tunggu yang ada di depan apotek. "Kakak nyari aku? Ada apa?" tanya Kinta. Dia mencoba memperhatikan wajah kakaknya, ada yang berbeda dari Kada saat ini. Wajah kakaknya tampak lelah, ada lingkaran hitam di bawah matanya dan sedikit kuyu. Kinta jadi sangsi jika Kada memang tidak sakit. "Aku mau minta maaf, Kinta." Sebuah ucapan yang tidak pernah terpikir akan Kinta dengar dari kakaknya. Dia bahkan tidak tahu harus menjawab seperti apa dan hanya terus diam sambil menatap kakaknya. "Berhari-hari ini selama aku engga pulang, aku banyak mikirin semua ucapan kamu sama Mami. Tentang keegoisan aku, tentang kamu yahh sudah banyak mengalah. Semuanya. Ditambah aku juga cerita ke Malika dan Malika bantu aku buat berpikir. Aku.. Aku akhirnya sadar kalau selama ini aku memang udah keterlaluan. Aku udah banyak bikin kamu dan Mami sulit. Aku minyak maaf." Kada menangis, menunduk dengan isak tangis pilu yang membuat Kinta juga ikut menangis. Dia selama ini hanya berpikir jika selama ini memang sudah sewajarnya dia yang mengerti Kada. Selama ini juga Kinta tidak masalah jika harus meminta maaf lebih dulu. Tapi sekarang Kada yang meminta maaf lebih dulu padanya. "Kak, aku udah maafin Kakak. Dan aku juga minta maaf sama Kakak karena pernah ngomong kasar. Kakak jangan nangis ya," ujar Kinta. Tangannya menepuk pundak kakaknya agar Kada bisa lebih tenang. Kada mengangguk, kemudian tangannya mengusap wajah yang sudah basah. Diraihnya paper bag yang sejak tadi dia bawa dan dia letakan di bawah tempatnya duduk. "Ini," katanya saat memberikan bungkusan itu pada Kinta. Kinta mengerut kan keningnya, menerima pemberian dari kakaknya itu dan membukanya. Matanya membulat ketika mengetahui apa yang ada di dalam kantung yang diberikan oleh kakaknya. "Itu kebaya yang aku buat sendiri bareng Malika. Aku buat sebagai tanda maaf aku, juga supaya bisa kamu pakai di hari lamaran kamu." kemudian Kada terdiam. "Kalau misal kamu terpaksa jalanin perjodohan ini, aku bisa bantu buat bilang ke Mami buat batalin. Mami kita kan baik, jadi pasti Mami mau dengerin permintaan kita," lanjutnya kemudian. Kinta menggeleng, mengulas senyum sambil menyentuh kebaya yang diberikan Kada untuknya. "Engga, Kak. Aku engga apa-apa. Aku juga udah sedikit kenal sama Mas Agni, jadi mungkin akan baik-baik aja ke depannya." "Mas Agni?" Mengangguk, Kinta tersenyum dengan malu kali ini. "Dia lelaki yang dijodohin sama aku. Namanya Agnibrata. Dari beberapa hari ini kenal dia, aku rasa dia baik," jawabnya. Kali ini Kada tertawa kecil, tangannya mencubit pipi Kinta dengan keras. "Jadi adik aku jatuh cinta sama cowok yang dijodohin sama dia?" godanya. Kinta lantas menggeleng. "Engga begitu dong, Kak. Aku cuma suka aja sama sikapnya," elaknya. Kemudian kepala Kinta melongok ke dalam kantung. "Ini pakai rok ya?" tanyanya. Kada mengangguk, "Sebenarnya bisa dipakai sama legging atau jeans, cuma dari info yang aku dengar, keluarga yang mau berjodoh sama keluarga kita itu masih keturunan darah biru, jadi kita engga bisa sembarangan. Takutnya malah keluarga kita yang dicap engga baik." Kinta merengut, merasa tidak senang karena harus menggunakan rok yang sudah tidak dipakai nya lagi setelah lulus SMA. "Tenang aja, roknya aku buat melebar, jadi engga akan sulit kalaupun kamu pakai. Lagian juga kan kamu cuma duduk doang, jadi engga akan kenapa-kenapa," ujar Kada menenangkan. Setelahnya dia pamit pulang karena harus menemui Maminya, dan Kinta juga masih harus bekerja. ___
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD