Agni terdiam beberapa saat, kemudian dia tertawa geli hingga menjatuhkan kepalanya di atas meja. Dia tidak menduga jika Kintamani adalah pribadi yang mudah bicara blak-blakan.
Bagaimana bisa dia menanyakan sesuatu yang sebenarnya membuat Agni malu dengan gamblang seperti tadi? Bahkan gadis itu memujinya dengan berkata, bahwa Agni akan menjadi idola jika saja tinggal di luar negeri karena kulit eksotis nya.
Untungnya setelah ucapan itu, Kinta dipanggil oleh temannya sehingga gadis itu memutus sambungan karena harus kembali bekerja. Membuat Agni bersyukur karena bisa bernafas lega tanpa harus menimpali ucapan Kintamani.
"Maassss?"
Agni terperanjat, mendongak dan melempar senyum pada adiknya yang melongok dari pintu yang terbuka.
"Kamu baru datang?" tanyanya.
Tangannya melambai, meminta Ayodhya untuk mendekat dan duduk berhadapan dengannya.
"Mana sahabat rasa pacarmu itu? Engga ikut?" tanya Agni, merujuk pada Irham yang biasanya mengekori adiknya kemana-mana.
Ayu mendengus, duduk di hadapan kakaknya dengan lemas.
"Katanya dia mau ketemuan sama teman SD nya. Baru ketemu lagi setelah tiga tahun engga ketemu," jawabnya.
Agni mengangkat sebelah alisnya, memperhatikan raut wajah Ayu dengan seksama. Lihat saja, katanya hanya teman namun ekspresi sebal bercampur malas itu, apa artinya?
"Jadi, adik Mas ini patah hati?" goda Agni.
Raut wajah Ayu semakin suram. Sebanyak mungkin mulutnya menyangkal, namun raut wajahnya yang gelisah dan kelihatan sedih itu membuktikan sebaliknya.
"Tunggu sebentar ya, Mas buatkan cemilan," ujar Agni.
Setelah Ayu mengangguk, barulah Agni berlalu keluar dari kantornya menuju dapur.
Tidak membuatkan sesuatu yang sulit, hanya pancake dengan lumuran madu dan kismis. Karena menurut banyak orang, makanan manis dapat meningkatkan mood dan memperbaiki suasana hati seseorang.
Walau adiknya berkata bahwa dirinya baik-baik saja dan tidak masalah meski Irham bertemu dengan ribuan wanita, namun Agni tahu jika hati adiknya dalam kondisi yang sebaliknya.
"Ayu?"
Agni mengerutkan kening saat melihat adiknya tengah asik memperhatikan ponsel, dan ponsel yang sedang dipegang oleh adiknya itu adalah ponsel miliknya.
"Ada apa, Yu?" tanya Agni. Dia membawa pancake yang tadi dibuatnya kepada Ayu.
"Ini Mbak Kinta yang mau dijodohin sama Mas?" tanya Ayu sambil mengangkat ponsel milik Agni, menunjukan foto profil Kinta di aplikasi chat.
Tanpa ragu, Agni mengangguk.
"Iya, itu Kintamani," jawabnya.
Ada binar kagum yang muncul di mata adiknya itu, kemudian senyum menggodanya terkembang begitu lebar.
"Recent call nya beberapa saat lalu nih, video call pula," ledeknya sepenuh hati.
Agni menggeleng pelan, kembali duduk di bangku kerjanya.
"Tadi temennya iseng nelpon Mas, padahal Kinta lagi makan. Dia aja samai kaget pas Mas nyapa dia," terang Agni. Senyum kecil timbul di wajahnya, mengingat wajah terkejut Kinta tadi.
"Wah, udah sampai cerita ke temannya, berarti dia suka sama Mas kali?"
Untuk berpikir Kinta menyukainya, rasanya terlalu berlebihan. Karena dari yang Agni tahu, sedikit tentang Kintamani adalah dia merupakan gadis yang apa adanya dan bukan tipe orang yang pandai memendam sesuatu. Entah salah atau tidak, tapi rasanya memang seperti itu.
"Engga begitu. Dia mungkin cuma sedang berusaha terbiasa dengan Mas yang nantinya bisa jadi beneran nikah sama dia. Mas juga sedang berusaha seperti itu soalnya."
Sepertinya Ayu mengerti, karena kemudian adiknya itu mengangguk pelan sambil terus menatap layar ponsel Agni.
"Dia secantik yang ada di foto, Mas?"
Gerakan tangan Agni yang sedang menyalakan laptopnya terhenti. Dia terdiam, mengingat wajah Kinta tadi saat melakukan panggilan video dengannya.
"Lebih cantik. Dari mukanya itu, muncul banyak ekspresi. Mirip kamu," jawabnya.
Ayu menyipitkan mata, mengembalikan kembali ponsel milik kakaknya itu.
"Engga boleh begitu. Nantinya dia akan jadi istri Mas, jadi engga boleh nyama-nyamain dia sama anggota keluarga Mas, sama mahramnya Mas," tegur Ayu.
Agni mengangguk, mulai fokus menatap tayangan video yang terputar dari layar laptopnya. Masih video pendaki, kesukaannya.
"Mas engga sama-samain, cuma karena melihat tingkah dia yang begitu memang mirip kamu," kilahnya. Ketika dia melirik, dia melihat adiknya sudah asik menikmati pancake yang tadi dibuatnya.
"Ayodhya," panggil Agni pelan.
Adiknya menoleh, mulutnya bergerak dengan lucu karena sedang mengunyah potongan pancake di dalam mulutnya.
"Kalau memang suka, bilang suka. Jangan suka tapi bilang engga suka, nanti akhirnya kamu sendiri yang akan nyesel."
Mendengar ucapannya, Ayu malah memutar bola matanya malas.
"Aku engga suka sama dia, Mas. Beneran," katanya.
Tersenyum simpul, Agni hanya mengiyakan saja penyangkalan yang dilakukan adiknya itu. Dia berharap semoga Ayu nantinya tidak akan terlambat menyesali waktu yang berlalu begitu saja tanpa dia sadari.
*
"Padahal lo baru pulang tadi pagi, tapi sekarang udah ada disini lagi. Belakangan ini lo kenapa sih? Ada masalah apa sama keluarga lo?"
Kada berpura-pura tidak mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu. Dia hanya terus menggoreskan pensil di atas kertas, membentuk pola model gaun kekinian pesanan pelanggann nya.
"Da, lo kenapa? Dari kemarin lo tidur di butik. Bahkan gue engga yakin kalau lo beneran tidur ngeliat mata lo yang begitu. Lo berantem sama Mami lo?"
Lalu gerakan tangan Kada terhenti, mendengar nama maminya disebut membuat dia teringat tentang apa yang terjadi tadi pagi, saat Maminya berlalu melewatinya dengan kecewa.
"Ka, apa benar selama ini gue egois? Apa iya selama ini gue cuma sibuk mikirin perasaan gue sendiri sampai gue engga sadar orang di sekitar gue susah karena gue?" tanya Kada pada akhirnya.
Percuma saja dia berniat melanjutkan gambarnya, otaknya sedang kacau balau dan jika dilanjutkan maka hanya akan menghasilkan sketsa yang berantakan dan asal jadi.
Malika, orang yang dipercaya Kada untuk menjalankan bisnis bersamanya, kini berjalan mendekat. Meninggalkan contoh kain yang sejak tadi sedang dia perhatikan dengan teliti.
"Da, kalau gue yang jawab pertanyaan lo, itu percuma. Karena belum tentu hati lo bakalan terima dikomentari sama gue. Jadi saran gue, lo tanya diri lo sendiri. Apa yang lo lakuin selama ini. Pernah engga lo pengen tahu tentang apa yang bakalan bikin Mami lo senang, apa yang disukai sama adik lo. Dengan begitu engga akan ada pertentangan dalam diri lo, lo bisa langsung paham sama apa yang lo rasain."
Kada menatap sahabatnya dengan mata yang kembali basah.
"Darimana lo tahu masalahnya antara gue sama Mami dan adik gue?" tanya Kada bingung.
Malika tersenyum. "Memangnya lo punya siapa lagi selain mereka sama gue? Sedangkan sama gue, lo engga ada masalah. Jadi pasti sama mereka kan?"
Mengangguk, Kada mengusap ujung matanya yang basah.
"Katanya gue selama ini egois, engga pernah mau ngeliat apa yang ada di sekitar gue. Katanya selama ini Kinta sama Mami udah banyak ngalah demi gue yang lemah hati, Mami bilang Kinta bahkan engga berani bawa pacarnya dulu ke rumah karena takut bikin gue sedih. Tapi gue engga pernah tahu itu, gue engga tahu kalau patah hati gue yang parah ini bikin mereka susah."
Kada kemudian menangis, terisak hingga kepalanya menempel pada meja. Tubuhnya bergetar, mempertanyakan sudah seberapa jauh dirinya bertindak egois.
"Gue harus gimana, Ka? Sedangkan gue engga bisa berdiri, sakitnya masih ada samping sekarang. Gue otomatis langsung down setiap kali harus berhadapan sama hal picisan. Apalagi kemarin Mami tiba-tiba bilang kalau Papi dari dulu mau jodohin salah satu anaknya sama anak sahabatnya. Waktu itu gue langsung nolak, dan rupanya penolakan gue bikin Kinta marah. Dia mulai ngomong sesuatu yang sebelumnya engga pernah dia bilang ke gue. Gue...gue sakit hati dengernya. Bahkan pas tadi gue pulang ke rumah, Mami juga marah karena gue engga merasa bersalah udah berantem sama Kinta. Padahal Kinta sendiri katanya udah mau minta maaf ke gue tapi dilarang sama Mami."
Menangis sambil berbicara sepanjang itu, membuat napas Kada tersengal.
Malika berjalan mendekat, mengusap punggung Kada dengan lembut.
"Kalau dipikir lagi, memang gue yang jahat ya, Ka? Ternyata Kinta memang udah banyak ngalah demi gue. Gue harus gimana, Ka? Gue malu."
Sengaja Malika tidak mengatakan apapun, gadis itu hanya membiarkan Kada untuk tetap menangis hingga puas. Hingga matanya menjadi bengkak dan memerah.
"Sudah? Udah puas nangisnya?" tanya Malika setelahnya.
Kada mengangguk, tangannya mengusap matanya yang basah.
"Tunggu disini sebentar, gue bikin teh hijau buat lo," ujar Malika.
Tanpa membantah, Kada membiarkan sahabatnya keluar rumah. Dia kemudian memandang ke arah foto keluarganya yang ada di atas meja kerja, di foto itu dia sudah dalam kondisi patah hati. Mereka berlibur juga atas ide Papi mereka yang ingin menghibur Kada, namun Kada gagal memasang senyum lebar di foto itu. Padahal semua anggota keluarganya berusaha keras untuk membuatnya tersenyum. Namun dia menyiakan hidupnya dan juga kasih sayang keluarganya hanya karena satu orang yang kini menjadi asing dan tidak ingin Kada temui seumur hidupnya.
Air mata nyaris jatuh kembali saat teringat bahkan sebelum pergi, Papinya berharap Kada bisa menikah dengan seseorang yang tulus mencintai Kada. Mungkin saat itu Ayahnya berpikir bahwa Kada yang akan maju dalam perjodohan.
Namun pada kenyataannya Kada ini pengecut, lagi-lagi Kinta yang menjadi perisai untuk nya. Betapa jahatnya dia.
"Nah minum dulu."
Kada terhenyak, dia memaksakan senyum saat menerima secangkir teh hijau dari Malika.
"Habisin teh lo dulu, karena hari ini kita harus lembur," ujar sahabatnya itu kemudian.
Sambil menyesap teh yang hangat kuku sesuai kesukaan Kada, Kada menaikan sebelah alisnya bingung.
"Perasaan engga ada pesanan yang deadline nya deket-deket ini. Kenapa harus lembur?" tanyanya.
Malika berkacak pinggang, membelakangi Kada karena saat ini dia tengah memilah motif dan bahan yang ada di katalog sample.
"Karena kita harus bikin sesuatu buat tanda maaf lo ke Kinta. Dan ini harus lo sendiri yang bikin, dengan setulus hati dan penuh perasaan. Supaya maksudnya bisa tersampaikan. Gue cuma akan bantu milih bahan dan juga nempelin renda sama maniknya."
Sejenak Kada menjadi bodoh karena tidak mengerti maksud ucapan Malika, sampai kemudian dia tersadar bahwa acara lamaran Kinta akan diadakan dalam minggu ini.
"Oke," jawabnya.
**