10

1508 Words
"Mami mau bicara." Puji sudah duduk dengan tenang di ruang keluarga saat Kada datang dan melewatinya begitu saja. Bahkan anak sulung nya itu sama sekali tidak menoleh padanya meskipun Puji yakin jika Kada mengetahui keberadaannya. "Aku capek, Mi. Mau istirahat." Sudah hendak meneruskan langkahnya kembali saat Puji menyebut nama lengkap putri sulungnya sebagai tanda peringatan. "Kadarsih Alisha Putri!" Dan Kada langsung berhenti, menunduk tanpa berbalik arah memandang Maminya. "Kalau mau ribut soal masalah Kinta, aku engga mau, Mi," ujarnya kemudian. Puji menatap sedih anak sulungnya. Sejak kapan semua perkataan Kinta tentang kakaknya itu menjadi benar? Sejak kapan Kada menjadi anak yang sangat egois seperti ini dan tidak perduli pada perasaan orang lain? "Apa kamu tahu? Bahkan Kita mengaku dirinya salah karena sudah bertindak engga sopan sama kamu. Dia bahkan mencoba mengerti sekali lagi kalau kakaknya memang lemah perasaan sampai-sampai engga bisa ngerelain masa lalunya. Dia udah mau minta maaf sama kamu, tapi Mami larang karena Mami berharap kamu juga bisa menyadari kesalahan kamu. Karena Mami berharap bukan cuma Kinta yang mencoba mengerti tentang perasaan kamu tapi juga kamu yang mengerti perasaan Kinta," tukas Puji dengan suara sedikit bergetar. Dialog yang ingin dia bicarakan dengan santai dan kepala dingin, justru dia suara kan dengan saling berjauhan dengan Kada yang menolak menghampirinya dan justru hanya terus berdiri tanpa menatap ke arahnya. "Tapi melihat kamu yang seperti ini, sepertinya Mami memang berharap terlalu banyak sama kamu, Kada. Padahal selama ini Mami lebih banyak memperhatikan kamu, membiarkan Kinta dalam pengawasan Papi yang kurang mengerti cara mengurus anak. Tapi Kinta mewarisi sikap tegar Papi, sampai dia jarang mengeluh walaupun dia engga suka sama sesuatu. Tapi kamu yang Mami jaga sejak kecil, justru menjadi seperti ini. Orang yang hanya hidup dengan dunia kamu sendiri, engga mau menoleh ke sekitar. Padahal di sekeliling kamu banyak orang yang lebih terluka, banyak yang lebih kesulitan." Sekian banyak kalimat yang terurai, tidak ada yang mendapatkan balasan dari anak sulungnya itu. Untungnya Kinta sudah berangkat kerja, sehingga anak bungsunya tidak perlu menyaksikan bagaimana dia berbicara seorang diri tanpa mendapat tanggapan dari lawan bicaranya. Kinta pasti akan kembali marah jika melihat ini. "Adik kamu maju ke perjodohan itu, anggap saja itu sebagai tindakan terakhirnya mengalah sama kamu. Namun ke depannya, Mami engga kana biarin dia mengalah untuk hal apapun lagi. Kamu bukan lagi nak balita yang musti disuapin dan dimaklumi semua tindakannya. Kamu perlu menyelesaikan semua masalah kamu tanpa menyusahkan orang lain," tukasnya untuk terakhir kali. Hingga semua ucapan Puji keluar, tidak ada sepatah kata pun yang muncul dari bibir Kada. Anaknya itu hanya terus berdiri sambil membelakangi tubuhnya, membuat Puji benar-benar kecewa dan melewatinya begitu saja menuju kamar. Begitu pintu kamarnya tertutup, suara tangis kencang kemudian terdengar. Kada menangis, entah karena mengerti apa yang diucapkan olehnya atau justru merasa sakit hati dan berpikir baik Puji dan Kinta tidak mengerti perasannya. Seperti biasa. Puji mendesah, ia kecewa. Diambilnya ponsel miliknya yang ada di atas nakas, membuka ruang chat Kinta dan mengetikan pesan untuk anak bungsunya itu. Kamu engga usah minta maaf sama Kada. Biarin aja dia buat sementara ini. Hati-hati kerjanya. * Kinta termenung. Dibacanya sekali lagi pesan yang baru saja dia terima dari Maminya. Padahal kemarin Mami nya baru saja memberi nasihat untuk bisa mengerti perasaan kakaknya, namun kali ini mami nya sendiri yang meminta dia untuk tidak meminta maaf pada Kada. Jika tebakan Kinta tidak salah, kemungkinan Maminya sudah berbicara dengan kakaknya itu dsn pembicaraan tidak berjalan dengan baik karena akhirnya Maminya sendiri justru menyerah. "Kenapa? Chat dari siapa tuh? Calon suami?" Dengan sekali tekan, Kinta membuat ponselnya menjadi padam. Dia tidak ingin membuat Kaila yang super kepo itu berhasil mendapatkan apa yang ingin dia cari tahu. "Mami nanyain kapan Pavlov bisa hamil," ujar Kinta asal. Ucapannya itu membuat Kaila mendengus dengan kesal. "Pavlov mana bisa hamil, dia kan jantan," protesnya. Kinta tertawa, dia menunduk dan berakhir dengan duduk di lantai sambil membuka kotak nasi yang dibawakan oleh Kaila. Ini adalah jatah makan siangnya. "Calon laki lo kapan ke Jakarta?" tanya Kaila yang duduk di atas kursi tinggi. Lehernya harus menunduk begitu banyak untuk dapat bertanya pada Kinta yang duduk melantai. "Katanya minggu ini, mungkin akhir pekan," jawab Kinta. Dia ingat Agni pernah berkata jika lelaki itu akan membawa keluarganya ke Jakarta untuk lamaran resmi dalam minggu ini. Tapi Agni tidak memberikan hari pastinya sehingga Kinta sendiri pun tidak tahu. "Boleh kan gue datang pas lamaran lo? Bilang aja ke mereka kalau gue ini kakak lo, daripada lo punya kakak macam Kada yang selfish error," ujarnya santai. Harusnya Kinta marah karena bagaimana pun Kada adalah kakaknya, tapi cara bicara Kaila saat mengatai kakaknya benar-benar lucu hingga membuat Kinta tertawa terbahak hingga nyaris tersedak. "Nih minum," ujar Kaila sambil menyerahkan air mineral kemasan gelas ke arah Kinta. Kinta mengangguk, mengucapkan terimakasih dengan nada yang tidak jelas. "Engga bisa kalau cuma makasih doang, Kin. Sebagai timbal balik karena gue udah baik ngambilin lo minum di saat ko keselek, lo harus ngundang gue ke acara lamaran lo," balas Kaila. Kinta menatap sebal ke arah bosnya itu. "Mending gue muntahin lagi deh nih air minumnya. Gue engga mau ngundang lo ke acara lamaran gue. Yang ada gue bakalan kehilangan calon suami karena Agni diculik tante-tante." Biasanya Kaila akan marah, namun kali ini kakak kelasnya itu justru tertawa keras. "Gue cuma beda setahun sama lo, peak. Gimana bisa gue jadi tante-tante?" Kinta ikut tertawa, dia kemudian kembali pada nasi bungkusnya yang tinggal setengah sedangkan Kaila melayani pelanggan yang datang menggantikan Kinta yang sedang makan. "Kin, gue pinjem HP lo sebentar dong," pinta Kaila tiba-tiba. Wanita itu sudah turun dari kursi tingginya dan kini menengadahkan tangan ke arah Kinta. "Buat apa?" tanya Kaila tanpa curiga. Dia merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. "Deliv," jawab Kaila singkat. Ponsel Kinta kini sudah berpindah pada Kaila. Kinta tidak perduli apa yang dilakukan Kaila karena dirinya sedang asik menikmati nasi goreng seafood yang dengan baik hati dipesankan oleh Kaila karena tahu mood Kinta tidak bagus sejak tadi pagi. "Kintamani?" Gerakan tangan Kinta yang akan menyendok kembali makanannya terhenti, dia mendongak, membulatkan mata ketika melihat wajah Agni di layar. "Mas Agni?" tanyanya terkejut. Lalu dia menyadari siapa dalang yang sudah membuat wajah Agni kini terpampang dengan tampan di layar ponselnya. "Kamu lagi makan siang?" Kinta mengerjap bingung. Dia menatap antara layar ponselnya dan juga Kaila yang sedang terkikik geli, memegangi ponsel miliknya. "I-iya, Mas. Mas Agni udah makan?" Kini tubuh Kaila bahkan bergetar menertawakan sikap canggung Kinta yang benar-benar tidak siap berhadapan dengan Agni dalam rupa asli selama ini. Dia bukannya gaptek yang tidak mengerti adanya fitur video call yang bisa menelpon dengan saling melihat wajah. Dia selama ini hanya menghubungi Agni lewat voice call karena tidak siap dengan keadaan seperti ini. Agni yang dia lihat di foto dengan yang ada di layar ponselnya saat ini benar-benar berbeda. Agni yang sekarang terlihat menggunakan kaos polo bewarna kuning terang yang mencolok dengan kulit coklatnya itu, terlihat lebih tampan. Dan Kinta berani bersumpah untuk itu. Mengabaikan tatapan Agni yang kebingungan setelah menjawab "Saya juga sudah makan. Ada apa Kinta?" Kinta lebih memilih menutup wadah makannya kemudian merebut ponsel miliknya dari tangan Kaila, kabur ke arah belakang. Biar saja Kaila yang melayani pelanggan. "Mas, maaf ya. Tadi itu saya engga tahu kalau teman kerja saja malah nelepon Mas begini. Dia cuma bilang mau pinjam HP, taunya malah nelepon Mas," sesal Kinta. Tangannya menyanpirkan anak rambut yang jatuh dari kunciran nya. Dia benar-benar berantakan di layar sana. Agni yang terlihat kaku itu tertawa, "Oh engga apa-apa. Saya pikir kamu kenapa. Tadi agak kaget karena kamu vcall tiba-tiba," jawabnya. Kinta meringis. Siapa juga yang tidak terkejut jika seseorang yang katanya calon tunangan yang bahkan tidak pernah bertemu tiba-tiba melakukan panggilan video. Jika itu Agni yang melakukannya pun, Kinta mungkin tidak akan mau mengangkatnya saking terkejutnya dia. "Mas pasti sibuk ya? Kalau sibuk, dimatiin juga engga apa-apa kok," ujar Kinta tidak enak hati. Pasalnya dia pernah dengar dari Maminya jika resto yang dikelola oleh Agni itu adalah resto yang cukup terkenal di Jogja, jadi pasti cukup sibuk. Tapi pria itu justru menggeleng, "Engga kok. Saya baru selesai makan siang, sekalian habis bantu di dapur." Lalu Agni tampak memperhatikan layar dengan seksama. "Kamu dimana? Latarnya beda sama yang tadi ya?" Refleks, Kinta menoleh ke belakang. Memperhatikan mushola yang ada di belakangnya. "Iya, ini lagi di belakang. Tadi ada di depan, tapi karena teman saya rese jadinya saya kabur kesini," jawab Kinta. "Engga apa-apa?" Keningnya berkerut, "Engga apa-apa, apanya?" "Sekarang kan jam kerja, kamu engga apa-apa malah telponan?" Oh. Kemudian Kinta tertawa, dia menengok ke arah depan dimana Kaila sedang melayani satu pelanggan. "Engga apa-apa. Siapa suruh dia nelpon-nelpon Mas. Biarin aja dia yang ngelayanin di depan sana," katanya. Kemudian Kinta menertawakan ucapannya sendiri. Tapi tawanya kemudian pudar saat Agni ikut tertawa. Bukan karena dia merasa malu ditertawakan, namun suara tawa Agni membuat dirinya kagum bukan main. Selanjutnya Kinta malah sibuk memandangi wajah itu. Benar-benar manis sekali Agni ini, dengan kulit coklat bersih dan juga tawa yang dalam dan juga renyah. "Mas, Mas sering berjemur ya? Kayaknya Mas ini bakal jadi idola kalau tinggal di luar negeri." **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD