Hah! Sialann sekali.
Padahal dia ingin menghabiskan waktu liburnya dengan menikmati drama Korea yang sudah lama dia lupakan, siapa sangka dirinya malah berperang dingin yang membuat dia akhirnya harus melarikan diri, meninggalkan rumah yang terasa bagai medan perang darinya.
Mungkin Kada juga sudah ikut kabur, dan tersisa hanya Maminya sendirian di rumah. Walaupun Kinta merasa bersalah pada Maminya, tapi dia benar-benar butuh waktu sendirian di luar rumah. Entah kemana saja.
Sayangnya Kinta yang kutu buku di jaman sekolah, tidak memiliki teman lain selain Kaila. Sehingga pada akhirnya dia hanya berhasil kabur ke arah food court mall yang tidak jauh dari komplek perumahan nya. Membeli banyak jajanan dan membiarkan semuanya tergeletak di atas meja.
Dia tidak nafsu makan, membeli banyak makanan hanya dia lakukan untuk menghibur dirinya yang sedang sedih. Tangannya memainkan ponsel dengan jengah, berulang kali membuka dan menutup aplikasi dengan bosan
Kemudian tangannya berhenti pada satu kontak yang hanya sekali menelponnya sejak pertama kali. Dari sekian banyak kontak, entah kenapa Kinta sangat ingin menghubungi orang ini. Orang yang suaranya benar-benar dalam dan sedikit serak, tipe yang menjadi kesukaan Kinta.
Ia mengetukan tangannya di atas meja, berpikir haruskah dia benar-benar bertindak gila menghubungi pria yang katanya akan menjadi suaminya itu.
Bahkan waktu itu seusai dirinya menerima telepon dari Agni, Kinta menangis semalaman karena takut menyesali keputusannya untuk menikah dengan pria yang sama sekali tidak dia kenal. Dia takut jika Agni ternyata bukan pria yang baik.
Bagaimana jika ternyata Agni seorang pemabuk? Seseorang pecandu? Atau yang lebih parah adalah teroris? Membayangkan calon suaminya kan seburuk itu, membuat Kinta merinding.
Kinta mendesah berat, satu cup eskrim yang sudah hampir mencair dia raih, menyendoknya dengan setengah hati. Dia kadang berpikir betapa bodohnya dia, menerima perjodohan hanya karena melihat pria yang akan dijodohkan dengannya seseorang yang tampan. Tapi jika ditanya lagi, Kinta rasanya akan tetap menerima jika kembali melihat foto Agni seperti saat itu.
"Hehe."
Ia tertawa bak orang setengah waras saat teringat betapa manis dan tampannya pria itu. Terkesan kokoh dan juga kuat, Kinta yakin dia akan hidup dengan aman di dalam pelukan Kinta.
Mengabaikan kewarasannya yang cuma tinggal setengah, Kinta akhirnya langsung menekan kontak Agni dan membiarkan ponselnya tergeletak di atas meja.
Tulisan 'memanggil' yang bersandingan dengan titik yang hilang timbul terlihat di layar ponselnya. Hingga beberapa saat kemudian tulisan itu berganti dengan beberapa angka, yang menandakan bahwa sambungan sudah terhubung.
Kinta melebarkan mata, dia menggigit bibir ketika meraih ponsel miliknya dan menempelkan di telinga.
"Kintamani.. Halo?"
Nyaris saja Kinta tertawa mendengar Agni memanggilnya dengan begitu lengkap. Bahkan suaranya yang terkesan bingung itu, membuat Kinta menerka-nerka seperti apa ekspresi Agni saat mengatakannya?
"Iya, Mas," jawab Kinta pelan. Dia langsung menutup mulutnya, merasa aneh bersikap malu-malu kucing seperti ini.
Bukannya suara Agni yang kembali terdengar, yang ada justru suara berisik. Bahkan jika Kinta tebak, Agni sekarang sedang meninggalkan ponselnya sedangkan orangnya sendiri entah kemana.
Kinta berkerut bingung, ia menjauhkan ponsel untuk melihat layarnya. Masih terhubung namun saat kembali didekatkan ke arah telinga, masih tidak ada yang terdengar kecuali suara berisik yang entah berasal darimana.
Apa Kinta matikan saja ya teleponnya?
*
Sudah melewati jam makan siang saat Agni selesai mengurus urusan gaji para karyawannya. Memang tidak banyak, namun Agni harus teliti karena sebagian dari mereka ada yang sudah mengambil kasbon di pertengahan bulan.
Ia menutup aplikasi internet banking yang ada di laptopnya, bergantian membuka Excel untuk memasukan laporan keuangan, jumlah pengeluaran yang baru saja dia keluarkan.
Ketika dia sudah selesai dan hendak menutup laptopnya, suara dering ponselnya menghentikan gerak tubuhnya. Ia mengerut, sedikit terkejut saat nama 'Kintamani Jkt' muncul di layar ponselnya.
Bergegas dia mengangkat panggilan itu, berujar "Halo" Yang malah tidak mendapat jawaban dari orang yang di seberang sana. Agni bingung, dia berpikir apa mungkin Kinta salah pencet dan akhirnya tidak sengaja menghubunginya?
"Kintamani.. Halo?"
Setelah beberapa detik berjeda, barulah si gadis yang ada di seberang menjawab panggilannya.
"Iya, Mas." Begitu katanya.
Agni sempat tertegun sejenak. Memang banyak orang-orang yang lebih muda yang memanggilnya dengan Mas, namun entah kenapa Kinta berbeda.
Ia sudah membuka mulut akan membalas ucapan gadis itu saat tiba-tiba saja terdengar suara bising dari arah luar.
Tanpa sadar, Agni meninggalkan ponselnya begitu saja di atas meja dan berlari keluar. Ternyata hal yang terjadi adalah Rosana yang masih berada di restonya sedang bertengkar dengan seorang gadis berpakaian sedikit minim.
Pertengkaran itu membuat ramai suasana resto, lebih tepatnya terlihat ricuh. Agni bergegas berlari ke arah mereka, menarik lengan Rosana yang sudah akan menerjang wanita yang ada di depannya.
"Ada apa?" tanya Agni.
Keributan mereka terhenti. Agni sempat memohon maaf pada pengunjung lain sebelum kemudian menarik dua wanita itu keluar, dibantu oleh Fahri.
"Kalian ada masalah apa? Ini masih tengah hari dan kalian sudah membuat keributan di tempat orang," tanya Agni. Meski nadanya terdengar tenang, namun terlihat dia sedang menahan rasa kesalnya.
Yang pertama bereaksi masih dengan amarah adalah Rosana. Wajah gadis itu memerah, tangannya menunjuk ke arah wanita yang berpakaian minim tadi.
"Dia lewat sambil haha-hihi, sampai-sampai minuman yang dia bawa tumpah ke arah aku. Bahkan pas aku ditegur, dia minta maaf sambil lalu, engga keliatan tulus sedikitpun. Padahal aku duduk di tempat duduk ku, jadi bisa bayangin engga gimana cara dia jalan sampai minuman dia tumpah ke aku?"
Agni berniat membuka mulut saat tiba-tiba si wanita tadi menyahut.
"Loh, gue kan udah minta maaf. Itu juga gue disenggol teman gue jadi engga sengaja tumpahin minuman ke lo. Lagian lo aja yang baper, gue udah minta maaf masih aja sewot."
"Tuh!" tunjuk Rosana kembali terbawa emosi. "Kamu lihat kan? Dia engga ngerasa salah sama sekali!"
Memejamkan mata, Agni menarik napas berat sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Mbak, tolong minta maaf dengan sepantasnya karena Mbak yang salah," pintanya pada wanita berpakaian minim.
Wanita itu melotot, namun ketika bertatapan dengan manik mata Agni, dia akhirnya melengos.
"Gue minta maaf. Gue benar-benar engga sengaja tadi," ucapnya dengan nada pelan.
Lalu Agni beralih pada Rosana.
"Apa cukup? Kamu bisa maafin?" tanyanya.
Meski terlihat masih agak kesal, namun pada akhirnya Rosana mengangguk.
"Maaf juga karena udah marah-marah," katanya.
Agni berhembus napas lega. Dia kemudian meminta keduanya untuk meninggalkan resto karena sudah terlanjur membuat pengunjung Resto lain tidak nyaman.
Setelah keduanya pergi dengan tenang meninggalkan resto nya, Agni kembali masuk. Sempat berdiri beberapa saat memperhatikan suasana resto sekitar sebelum kemudian kembali masuk ke dalam ruangannya.
Saat itu juga dia meringis, melupakan bahwa tadi sebelum dia keluar untuk melerai dua wanita yang berseteru, dia sedang bertelepon dengan Kintamani.
Namun yang membuat Agni terkejut adalah saat dia melihat kembali ke arah ponselnya, sambungan masih terhubung.
Buru-buru Agni mengambil ponselnya kembali, mendekatkan ke arah telinga.
"Kintamani..." panggilnya ragu.
Beberapa detik tidak ada jawaban hingga kemudian suara gadis itu terdengar.
"Iya? Sudah balik lagi?" tanyanya.
Tanpa sadar Agni mendesah lega, entah kenapa hatinya merasa bersyukur karena Kinta tidak memutus sambungan telepon meskipun sudah lama ia tinggal.
"Maafin saya ya. Tadi ada masalah di resto jadi saya tanpa sadar langsung keluar, saya lupa," sesalnya.
Dia kembali duduk di kursi kerjanya. Tidak disangka berhadapan dengan dua wanita yang bertengkar bisa membuatnya merasa selelah ini.
"Engga masalah. Saya juga sambil makan, jadi dari tadi teleponnya saya pakein speaker," balas gadis itu.
Agni mengangguk, "Makan di rumah?"
Jeda sekitar tiga detik, tampaknya Kinta sedang melakukan sesuatu di ujung sana.
"Engga, Mas. Saya lagi di luar, makan di food court."
Kening Agni berkerut. Latar Kinta disana memang agak sedikit berisik, namun dia sejak tadi tidak mendengar Kinta berbicara dengan orang lain selain dirinya lewat telepon.
"Sama siapa?"
"Sendirian."
Dan Agni langsung terdiam. Kinta sedang berada di tempat ramai dan hanya sendirian. Apakah itu alasan Kinta tiba-tiba meneleponnya? Karena Kinta merasa kesepian?
"Makan apa?"
Agni sambil kembali membuka laptop miliknya, memutar kembali video pendaki dengan suara yang pelan karena tidak ingin mengganggu pembicaraannya dengan Kinta.
"Banyak. Saya pesan sushi, dimsum, burger sama minumnya milo ukuran besar, terus air mineral dingin." Kemudian gadis itu terdiam, "Kalau Mas ada di Jakarta sih udah saya ajak makan bareng saya," lanjutnya kemudian.
Agni mengulum senyum, "Memangnya kamu bisa habisin semua itu? Kenapa engga ajak teman?"
Dan jawaban yang sudah Agni duga kemudian terdengar, "Saya engga punya teman," kata gadis itu.
Gerakan tangan Agni pada kursor laptop bahkan sempat terhenti. Dia juga sama seperti Kinta, temannya hanyalah Ridwan yang bahkan sekarang sudah ada di Papua untuk bekerja. Maka selama ini dia hanya menghabiskan waktu dengan bekerja atau menonton film kesukaan nya. Film action.
"Rencananya mau pesen makan lagi? Atau mau bungkus semua itu buat dibawa pulang?" tanya Agni mengalihkan pembicaraan.
Kembali terdengar suara seperti plastik yang disentuh atau diikat. Sepertinya gadis itu menyerah.
"Kayaknya mau saya bungkus aja. Soalnya ini mau ke tempat kerja, Satu-satunya teman saya ada di sana," jawabnya.
Seingat Agni, Kinta bekerja di apotek. Berarti tempat kerja yang dimaksud oleh Kinta adalah apotek itu kan?
"Naik apa?" tanya Agni berusaha menaruh perhatian pada setiap pertanyaannya.
"Naik ojek online. Oh iya, Mas perlu tahu kalau aku sama sekali engga bisa nyetir mobil dan juga nyetir motor. Siapa tahu Mas berubah pikiran nikah sama aku."
Agni tertawa kecil, "Engga begitu. Saya bisa antar jemput kamu nanti. Kamu engga usah pikirin itu," balas Agni tenang.
Lalu bahkan sampai Kinta sudah bertemu dengan Abang ojeknya, sambungan telepon tetap tidak gadis itu matikan.
**