"Mami mau kemana?" tanya Kinta bingung saat melihat Maminya tidak lagi melanjutkan makan dan malah bergerak turun dari ranjang.
"Mami udah sehat, Kin. Mami udah sehat denger jawaban dari kamu tadi. Sekarang Mami mau menghubungi pihak keluarga Agni, ngasih tahu mereka kalau kamu yang akan menikah sama Agni," ujar Maminya semangat.
Kinta melongo, bingung dengan kelakukan Maminya. Kemudian dengan langkah yang cepat, dia mengikuti Maminya yang sudah berjalan keluar bahkan sudah memegangi telepon rumah mereka.
Menggigit bibir, Kinta merasa gugup. Dia takut jika keputusannya adalah sesuatu yang salah mengingat dia asal mau saja setelah melihat wajah manis bak gula Jawa calon suaminya.
Pria yang bernama Agnibrata Andaru itu memiliki kulit coklat yang eksotis, giginya ketika dia tersenyum terlihat begitu rapi dan bersih. Ditambah tubuhnya yang sepertinya mencapai 180 cm. Setinggi artis Korea yang selama ini menjadi idola Kinta. Dirinya yakin hanya wanita bodoh yang akan menolak pria yang seperti itu.
"Baik..baik. Kami tunggu kedatangannya."
Kinta terkejut, ternyata ibunya bahkan sudah selesai bertelepon dengan keluarga Agni.
"Katanya minggu depan Agni sama keluarganya akan datang kesini, melamar kamu secara resmi."
Kinta membulatkan matanya, "kok cepat banget?" tanyanya kaget.
Maminya tiba-tiba memegangi kepala dan berpegangan pada lengannya. Membuat Kinta mengomeli Maminya karena memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur.
"Keluarga sana kan memang tinggal nunggu jawaban dari kita, karena dari awal Agni itu udah setuju sama perjodohan ini," ujar Maminya.
Kinta merasa ngeri, dia jadi berpikir yang tidak-tidak tentang alasan apa yang membuat pria bernama Agni itu dengan mudahnya menyetujui perjodohan bahkan dengan seseorang yang sebelumnya belum pasti.
"Mi, dia sehat kan? Engga sakit keras? Atau dia lagi rebutan warisan sama kakak-kakaknya?"
Maminya malah memukul keningnya pelan tanpa menjawab pertanyaan yang dia lontarkan.
"Dia sehat, engga ngerokok. Jadi kayaknya engga mungkin sakit keras. Dan lagi dia itu satu-satunya yang memilih buat buka resto di saat kakak-kakaknya bergabung dengan perusahaan keluarga. Jadi kalau masalah rebutan warisan, Mami yakin dia engga begitu," sanggah Maminya yakin.
Ada yang aneh, "Kok Mami bisa tahu banget?" tanya Kinta curiga.
Kali ini mungkin keningnya sudah memerah karena dua kali disentil oleh Maminya itu.
"Makanya kalau di kasih tahu tuh dengerin, dari awal kan informasi soal dia ada di biodata yang tadi kamu lihat. Mami engga mungkin biarin anak Mami berjodoh sama sembarang orang, makanya Mami baca dengan teliti semua tentang dia," jawabnya.
Kali ini Kinta mengangguk, dia mengikuti langkah kaki maminya sambil menggandeng tangan pahlawan wanitanya itu agar tidak goyah.
"Kira-kira dia mikir apa ya, Mi? Setelah tahu kalau yang jadi dijodohin sama dia itu Kinta?" tanya Kinta penasaran.
Maminya terkekeh, memegangi tangan Kinta yang melingkar di lengannya.
"Dia pasti mikir gini, 'Ya ampun, sebanyak apa aku bikin kebaikan sampai-sampai dikasih istri secantik bidadari'," kata Maminya meniru suara lelaki.
Kinta terbahak, tangannya kini merangkul leher Maminya hingga kepala mereka menempel.
"Iya ya, Mi? Aku terlalu cantik engga sih buat dia? Dia pasti senang banget," balas Kinta mengikuti alur permainan Maminya.
Kemudian mereka sama-sama tertawa hingga mencapai pintu kamar. Kinta membantu Maminya untuk kembali berbaring, sempat menawarkan apakah Maminya ingin melanjutkan makan atau tidak, yang langsung ditolak oleh Maminya.
"Tapi, Mi. Kalau Kinta nikah sama dia, Kinta berarti bakalan tinggal di Jogja dong?" tanyanya menjadi cemas.
Berbeda dengan dirinya, Maminya justru tersenyum begitu lembut.
"Itu udah kewajiban istri dong buat ikut kemana aja suami pergi. Kamu lupa? Mami juga kan asli Indramayu, tapi akhirnya harus ikut merantau ke Jakarta karena Papi kamu asli sini."
Kinta terdiam merenungi ucapan Maminya. Untuk menikah walaupun dia agak sedikit ragu, namun dia tahu dirinya tidak bisa mundur. Yang jadi pikirannya sekarang adalah karena dia harus meninggalkan Maminya bersama dengan Kakaknya yang sering 'kambuh' itu.
"Mi, calon suami Kinta kaya kan?" tanyanya.
Maminya berkerut kening, namun setelah beberapa saat akhirnya mengangguk.
"Dia masih keturunan bangsawan Jawa," jawabnya.
Lantas senyum Kinta mengembang dengan sempurna.
"Kalau begitu, tiap minggu Kinta bisa bolak-balik Jakarta-Jogja buat nengokin Mami!" serunya.
Sedikit kesal dan takjub dengan perilaku putri bungsunya, namun pada akhirnya Puji tertawa sambil memeluk anaknya itu.
"Jangan sembarangan habisin uang suami dong, Kinta," tegurnya masih dengan sisa tawa.
"Hehe."
*
"Engga mau nginep?"
Gerakan tangan Agni yang sedang mengambil kunci mobil dari dalam saku celananya terhenti saat ibunya tiba-tiba muncul.
"Engga bisa, Bu. Aku harus cek laporan keuangan karena sebentar lagi jadwalnya karyawan gajian," jawabnya kalem.
Ibunya mendengus, tampak tidak suka karena Agni kembali mengungkit soal restorannya. Namun wanita itu tetap tidak mengatakan apapun dan hanya mengantar anak lelaki nya hingga sampai di teras.
"Agni pulang dulu, Bu," pamit Agni. Dia menyalami tangan ibunya yang keriput.
Astari mengangguk, "Jangan lupa persiapin keberangkatan kita ke Jakarta minggu depan. Eyang juga katanya mau ikut," ujarnya mengingatkan.
Agni mengangguk, menjanjikan jika dirinya yang akan memesan tiket pesawat untuk semua orang yang akan mengantarnya ke Jakarta, melamar gadis yang akan menjadi istrinya.
"Kalau begitu, Agni jalan dulu, Bu. Assalamu'alaikum."
Setelah salamnya mendapat jawaban, Agni langsung masuk ke dalam city car-nya.
Ia mengendarai mobil dengan pelan, karena hari sudah terlalu malam dan dia lupa membawa kacamata miliknya. Agni adalah seorang dengan rabun jauh.
Ketika dia bersenandung kecil mengikuti lirik lagu Payung teduh yang terputar di radio mobilnya, matanya tanpa sengaja melihat amplop coklat yang tergeletak di dashboard. Itu adalah amplop berisi biodata calon istrinya.
Dan ia jadi teringat tentang keinginannya untuk bertanya secara langsung mengapa Kintamani yang lebih muda darinya tiga tahun yang dipilih untuk menikah dengannya? Sedangkan kakaknya yang berusia dua puluh tujuh tahun bahkan belum menikah?
Namun jika dipikirkan lagi, rasanya tidak sopan untuk bertanya seperti itu pada Kinta. Agni takut Kinta akan salah paham dan menduga bahwa dirinya lebih mengharapkan kakaknya dibanding Kinta sendiri.
Bagaimana pun jika boleh jujur, Agni memang lebih tertarik kepada Kinta. Karena dia merasa wajah Kinta lebih hidup, seakan hidup wanita itu tidak membosankan.
Kepala Agni menoleh ke samping kanan, memutar setirnya untuk berbelok, memasuki Komplek rumahnya.
Sapaan yang datang dari satpam, ia balas dengan senyum kecil sebelum kemudian kembali melajukan mobilnya memasuki komplek yang sudah sepi.
Rumah Agni ada di bagian tengah, tidak terlalu jauh dari gerbang namun dekat dengan Taman dan juga Masjid. Meski harus membayar dengan harga mahal, namun Agni sangat menyukai letak rumahnya yang strategis.
Mencapai gerbang rumahnya, Agni turun untuk membuka pagar sebelum kemudian kembali masuk ke dalam mobil dan mengendari mobilnya hingga masuk ke garasi kecil yang ada di sisi kanan rumahnya.
Ia keluar, tak lupa membawa amplop coklat miliknya kemudian masuk ke dalam rumah.
Hal pertama yang dilakukan Agni adalah membersihkan dirinya. Berdiri di bawa shower yang mengucurkan air hangat yang membuat tubuhnya terasa segar. Hanya lima belas menit dan kemudian Agni sudah kembali keluar dengan handuk yang melingkari bagian bawah tubuhnya.
Kaos oblong hitam dan celana boxer adalah pilihan untuk menjadi baju tidurnya.
Ia terdiam di ujung ranjang, matanya kemudian melirik pada amplop yang tergeletak tidak jauh darinya. Beberapa saat hanya diam, tangannya kemudian terulur menarik amplop itu dan meletakan di atas pangkuannya.
Kali ini yang dia ambil langsung adalah biodata Kintamani. Kembali bertatapan dengan senyum lebar gadis itu di foto membuat Agni tanpa sadar juga tersenyum.
Matanya menekuri tulisan demi tulisan, sebelum akhirnya berhenti pada barisan angka yang merupakan nomor ponsel gadis itu.
Hatinya terus mendorong untuk menghubungi nomor yang ada disana. Namun otaknya melarang dengan alasan gengsi dan sopan santun karena ini sudah malam.
Namun semakin dipikir, otaknya kalah telak dengan hati. Lagipula jaman sekarang jarang sekali ada perempuan muda yang tidur tepat waktu.
Maka diambil lah ponselnya, mengetik deretan angka itu dengan cepat sebelum dirinya berubah pikiran.
Nada tunggu terdengar, saat itu Agni sudah mulai menyesal dan akan mematikan kembali sambungan itu namun terlambat.
Suara wanita terdengar dari sambungan, nadanya tidak lembut, namun enak didengar.
"Assalamu'alaikum, siapa ini?" tanya calon istrinya.
Agni berdeham, "Waalaikumsalam. Benar ini nomornya Kintamani?" balasnya.
Ada jeda beberapa detik sebelum gadis itu kembali menjawab, "Iya benar. Ini siapa ya?" tanyanya mengulangi.
"Agni. Agnibrata Andaru," jawab Agni pasti.
Lalu jeda itu muncul lagi, kali ini lebih lama sehingga Agni bahkan harus menjauhkan ponselnya dari telinga untuk mengetahui apakah panggilannya masih terhubung atau tidak.
"Agni yang orang Jogja? " tanya gadis itu kemudian.
Agni mengangguk, sebelum kemudian dia sadar Kintamani tidak dapat melihat reaksinya.
"Benar," jawabnya.
"Yang punya resto? Yang kulitnya coklat?"
Kali ini Agni mengerutkan keningnya, namun lantas dia tetap menjawab.
"Iya, itu saya," katanya.
"Waw!"
Kinta di seberang sana tiba-tiba berseru hingga membuat Agni terkejut.
"Maaf.. Maaf, saya reflek," ucap gadis itu kemudian.
Meski tidak tahu mengapa gadis itu tiba-tiba saja berseru, namun Agni lebih memilih menjawab "Engga apa-apa." Daripada menanyakan alasan mengapa gadis itu tadi berseru.
"Saya cuma engga nyangka aja kalau Mas bakalan langsung telepon saya," ujar Kintamani seakan-akan dapat membaca apa yang ada di pikiran Agni. "Ternyata.. Mas lumayan gercep juga ya," lanjutnya.
Agni membulatkan matanya. Meski dirinya sudah tidak muda lagi, namun dia masih tahu berbagai istilah yang digunakan oleh anak muda. Gercep yang dimaksud oleh Kinta tadi adalah singkatan dari gerak cepat, atau dalam bahasa yang lebih kasarnya bisa diartikan juga sebagai agresif.
"Bukan," Agni menyangkal. Dia tidak ingin kesannya di mata Kinta menjadi buruk. "Saya menelpon cuma karena mau menyapa secara resmi, soalnya gimanapun baru hari ini perempuan yang dijodohkan dengan saya akhirnya ditentukan," lanjutnya.
Kinta menjawab dengan ber Oh panjang.
"Begitu ya? Oke deh, salam kenal ya, Mas. Saya Kintamani yang kalau Allah menghendaki akan jadi istri Mas Agni."
Agni diam-diam mengulum senyum, "Salam kenal juga. Saya Agni yang kalau Allah menghendaki, akan jadi suami kamu."
**