Si Cerdas Wangga

590 Words
Aree: Si Cerdas Wangga "Lo, beneran diejek nggak punya Bapak sama temen-temen di sekolah?" Untuk pertama kalinya, gue mengajak Wangga berbicara. Biasanya mana pernah mau. Belum gue ajak ngomong, bocah ini seringkali bertingkah menyebalkan. "Hm." "Nggak lo hajar aja temen lo sih." Wangga menengadahkan kepalanya ke atas. Kedua matanya agak menyipit karena sorotan matahari. "Mereka banyak!" "Sebanyak apa?" "Satu kelas," jawabnya. Oh, satu kelas ternyata. Pantesan aja si Wangga nggak berani melawan. Orang, yang mengejek dia satu kelas rupanya. Daripada ntar dia diajak tawuran sama teman satu kelasnya, emang paling benar si Wangga diam aja. "Guru lo nggak marahin mereka karena udah ngejek lo?" "Udah," gumam Wangga, mengangguk pelan. "Terus?" Langkah bocah itu berhenti. Menarik kedua tali tasnya yang tersampir di bahu. "Bawel," sungutnya. Woah! Lihat, kan, gue udah berusaha ngajak ngomong dia, tapi reaksinya malah begini. Gue dikatain bawel sama bocah, anjir! "Emang nggak bisa dibaikin lo," gerutu gue, sebal. Gue mengalah sama Mama kali ini. Selain nggak tahan sama ocehan wanita itu, Mama juga membahas hal yang sangat sensitif tadi. Ya, soal skripsi gue. Mama kayak nggak pernah kuliah aja! Nanya soal skripsi berasa kayak nanya udah makan apa belum. Gue yang menjalani stress nih! Mana dospemnya susah banget diajak ketemu! Berasa kayak ngajak ketemu penyanyi kelas dunia aja! Wangga jalan di depan gue, nggak menoleh ke kanan ke kiri sama sekali. Tahu nggak, sih, gue pergi mengantar Wangga jalan kaki! Motor di rumah tahu-tahu bannya bocor. Padahal seingat gue, kemarin baik-baik aja kok! "Jalan kaki aja!" teriak Mama waktu gue mengadu ban motornya bocor. "Biar sehat," ejek Douvan sebelum menaiki sepedanya. Dan benar aja, gue jalan kaki berdua sama Wangga. Panas-panasan, nggak boleh bawa mobil mau pun jaket sama Mama. Emang ya, Mama gue totalitas banget menghukum gue sampai segininya, loh! "Sekolah lo mana sih? Jauh banget perasaan," dumel gue mulai kesal. Wangga setengah berlarian mendekati sebuah pagar. Seorang perempuan berdiri di sana, menyapa beberapa anak yang mengenakan seragam seperti Wangga. Gue melihat sekeliling, dan baru sadar ada banyak anak yang seliweran di kanan serta kiri gue. Sebagian anak-anak itu menyapa sang guru sebelum masuk ke dalam sekolah. "Pagi Wangga," sapa gurunya. Sedangkan Wangga sendiri cuma menatapnya tanpa minat. "Anj—" Hampir aja gue mengumpat, tapi keburu gue tahan. Teman-teman sekolah Wangga pada nyebelin banget, sih. Gue segede ini malah ditabrak sama mereka. Di kanan dan kiri, sesekali berteriak menyapa temannya yang lain. "Loh, Wangga diantar siapa, Sayang?" Perempuan itu melirik ke gue dan tersenyum ramah. "Kakaknya, ya? Atau omnya Wangga?" Wangga balas melirik gue. Tatapannya, tuh, kayak nggak sudi banget melihat wajah gue. "Ayah," sahut Wangga terdengar malas. "Ayahnya Wangga?" "Hm." "Oh, masih mudah banget ya. Pasti nikah muda nih Ayah sama bundanya Wangga!" Gue harus jawab apaan? Masa, gue bilang kalau orang tuanya Wangga nggak menikah? Nanti, Wangga bukan cuma diejek nggak punya Ayah, tapi anak haram juga! "Bundanya Wangga nggak ikut anter ya, Mas?" "Pergi," sambar Wangga. "Sana, buruan masuk kelas!" kata gue sambil mendorong punggungnya. Kalau gue biarin Wangga masih di sini dan ngobrol sama gurunya, yang ada keluar semua aib gue sama Ramel. "Belajar yang bener!" tambah gue sebelum meninggalkan TK-nya Wangga. Wangga termasuk anak yang cerdas, sih. Nggak tahu menurun dari siapa. Dari gue, jelas nggak mungkin banget. Di antara teman-teman lainnya, termasuk Lucky, otak gue yang paling susah diajak belajar. Mana paham kalau dijelasin cuma sekali doang. Ngikut Ramel? Ya lebih nggak mungkin lagi! Mama kali, ya. Bawelnya, cara ngomongnya, udahlah, kayak Mama banget. Apa pun yang dikatakan sama orang di sampingnya, langsung diserap oleh Wangga.   To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD