Bad Boy Palsu

2286 Words
Abdan mendesis melihat sepatunya yang masih menunjukkan noda bekas injakan gadis berbadan tambun dan berjilbab miring itu. Selain rasa nyeri yang masih ada, noda jejak sepatu itu rasanya seperti mengolok-olok harga diri seorang Abdan yang dikenal sebagai pangeran di sekolah ini! Dasar gadis b***k! cibir Abidan dalam hati ketika kembali terbayang akan penampilan dan wajah songong gadis itu. “Lo masih mikirin gadis tadi pagi ?” tanya Vidi tiba-tiba. Abdan berdeham pelan, sebelum mengangguk pelan. Memangnya kelihatan jelas ya? batin Abdan. Alis Abdan terangkat kecil. “Btw, kok gue gak pernah liat tuh gadis jadi-jadian? Anak baru ya?” Abdan spontan menghentikan langkahnya, lantas menoleh pada Vidi yang masih belum menghentikan langkahnya hingga posisi keduanya menjadi sejajar, meninggalkan David di belakang, yang masih fokus dengan ponsel dan earphone-nya. Alis David terangkat saat menyadari Abdan dan Vidi saling tertegun. “Kenapa?“ tanya David seraya melepas earphone dari telinganya dan membiarkan benda itu sekarang tergantung di leher jenjangnya. Sebenarnya David tidak terlalu peduli apa yang kedua sahabatnya itu bahas. “Bisa-bisanya tuh cewek berani injak kaki gue pake kaki gajahnya itu! “desis Abdan, kesal. “Kayaknya dia bukan murid baru deh.” Vidi melipat tangannya di d**a dengan alis terangkat sebelah. “Gue gak sengaja liat lambang di bajunya, lambang kelas sebelas sama kayak kita.” “Iya, dia anak kelas sebelas IPA tiga,” sahut David seraya mengingat-ingat. “Lo kenal? “Abdan menoleh. “Cuma pernah liat aja,” sahut David acuh, sama sekali tidak menghilangkan rasa penasaran Abdan. “Oke. Tugas kalian cari tahu siapa nama tuh gadis songong!” titah Abdan, yang jelas akan mendapat anggukan pelan dari Vidi disusul David dengan wajah malas. “Gue harus kasih pelajaran tuh gadis songong!“ tekad Abdan dengan rahang mengeras dan tangan kanan yang menggempal, geram. “Target bullying baru? “ tanya Vidi dengan serengaian kecil. “Maybe.” Abdan balas menyeringai, rasanya ada semangat membara dalam benaknya, seperti perasaan senang yang berlebihan. “Kayaknya sudah lama kita gak kasih ‘hukuman' ke orang-orang songong macam tuh anak gajah.” “This right !” Vidi mengangguk setuju. David ikut mengangguk setuju sebelum kembali memasang earphone di telinganya. “Tunggu hukuman dari gue gadis b***k!” Abdan lagi-lagi menarik seulas senyum pada wajah tampannya. Senyum tidak simetris yang mungkin akan terlihat menyeramkan pada wajah pas-pasan, tapi pada wajah Abdan malah terlihat sebaliknya. Abdan semakin terlihat tampan dengan senyum evil-nya itu. Beruntung Flo tidak ada di sana, jika Flo melihat ini, gadis itu tidak akan berhenti teriak, tampan banget loh! Sampai satu sekolah heboh dibuatnya. “Btw, kalian duluan aja ke kelas. Gue mau ke room dulu.” Abdan membalik tubuhnya ke arah berlawanan dari arah mereka tadi. Room merupakan sebutan yang mereka berikan pada bangunan yang dialih fungsikan sebagai tongkrongan ketiga pemuda tampan itu dalam menghabiskan masa jenuhnya di sekolah. Tempat itu sejenis tempat rahasia yang hanya bisa diakses ketiganya saja, bangunan itu dulunya merupakan rumah orang yang sudah ditinggal penghuninya. Abdan dan yang lain, tidak sengaja menemukan kunci bangunan itu ketika bolos sekolah dan langsung menjadikan bangunan itu sebagai markas rahasia mereka. Letak room sebenarnya berada tepat di sebelah gedung sekolah, tapi pohon besar di depan gedung sekolah seolah menutup akses akan pandangan semua orang pada bangunan kecil yang hanya berukuran satu kamar tidur sederhana. Di tambah lagi, bangunan itu sedikit dihiasi rumput-rumput liar juga menambah kesan menyatu dengan tumbuhan pohon di sekitar situ. “Ke room sekarang ? Ini udah mau jam masuk, Dan. Lo mau bolos? “ Bertemu cewek b***k dan mendapat surat cinta darinya, bukanlah hal yang Abdan sukai. Wajah tampannya sejak tadi tanpa sadar ia tekuk karena kesal. Jelas Abdan butuh mengistirahatkan wajah tampannya itu! Abdan tidak bisa masuk ke kelas dengan wajah seperti ini, meski tetap terlihat tampan, tapi saja rasanya tidak maksimal. Abdan tidak bisa mengabaikan pesonanya yang mungkin sedikit berkurang karena semua ini. Buat apa masuk ke kelas kalo bukan buat tebar pesona ketampanannya? Buang-buang waktu saja, pikir Abdan. “Mungkin. Liat aja nanti, kalo gerbang udah di tutup, ya gue bolos,” jawab Abdan tenang, toh ini bukan pengalaman pertamanya membolos. Abdan sampai bosan menghitung berapa kali dia sudah bolos. Jadi, Apa bedanya? “Lo nggak mau ngajak kita? Gue juga malas sebenarnya ke kelas,” kata Vidi. “Kalian gak perlu ikut.” Dahi Vidi mengernyit, tidak biasanya Abdan tidak butuh ekor di sisinya. Yap, David dan Vidi sejak dulu memang mendedikasikah diri mereka sebagai ‘ekor’ bagi langkah Abdan. “Hari ini ada bu Imel. Kalo kita bertiga gak ada di kelas, bisa-bisa tuh guru killer ngamuk,” jelas Abdan. Ketiganya ibarat magnet yang menjadi pusat perhatian semua orang. Jika mereka tidak ada di kelas, sudah bisa dipastikan bu Imel yang terkenal paling judes dan jago ruqiyah itu akan langsung sadar. Meski Abdan yakin betul bahwa bu Imel tetap akan menyadari jika tidak ada dirinya, di kelas. Ketampanannya memang sangat mencolok. Padahal hari ini Abdan tidak tertarik untuk mencantumkan namanya pada absen buku BK. Bukan takut atau sejenisnya, tapi Abdan sedang tidak mood melakukan hal itu. “Terus kalo tuh guru killer tanya gimana?” tanya Vidi. “Hem, kalian atur aja lah. Terserah mau kayak gimana.” Abdan melirik sekitar. Retina matanya tanpa sengaja mendapati banyak cewek yang diam-diam mencuri pandang ke arah mereka. Dengan jahil, Abdan melemparkan senyum pada mereka, membuat mata mereka seketika membelalak sebelum membuang muka, mungkin karena salting atau malu sudah tertangkap basah. Dasar gadis-gadis akhir zaman ! Batin Abdan. “Lo harus balik sebelum bel bunyi,” saran David dengan mimik datar, kembali menarik fokus Abdan pada kedua sahabatnya itu. “Atau kita bakal nyusul ke sana.” “Iya gue usahain deh.” Abdan memutar bola matanya malas, kemudian melangkah pergi meninggalkan kedua sahabatnya itu. ** Miftah berjalan gontai menuju kelas. Sesekali gadis bertubuh tambun itu, mengusap perutnya yang makin membuncit lantaran diisi dengan dua mangkok lontong sayur plus es cokelat tiga gelas. Tidak hanya itu, ada dua bungkus roti dan camilan cokelat yang dihimpit pada dua lengan besarnya. “Masyallah, rezeki emang gak ke mana dah,” gumam Miftah dengan senyum mengembang. Dua gadis tadi pagi yang dipaksa mengatakan dirinya jelek, merasa tidak enak hati karena mengangguk menyetui pernyataan dari g**g tampan abal-abal itu. Untuk menebus perasaan bersalah mereka, keduanya dengan baik hati mentraktir Miftah di kantin. Apa pun yang Miftah inginkan langsung mereka beli dengan cepat. Semoga mereka dapat rezeki lebih banyak. Aamiin, batin Miftah. “Meow ... meow... “ Miftah menoleh ke bawa, ada anak kucing di dekat tengah mengadu-gadu kepalanya di rok Miftah. “Puss, ngapai di sekolah?” Meski kesulitan berjongkok karena tubuhnya yang terlalu besar, Miftah tetap memaksakan dirinya untuk berjongkok dan menyambut hangat makhluk berbulu dengan mata hijau terang yang bersinar begitu melihatnya. “Mau sekolah juga?” Kucing itu menggeram pelan, begitu tangan Miftah mengelus lehernya. Kucing itu juga berputar-putar di sekitar Miftah, mengelus tubuhnya dengan tubuh Miftah dan berhenti di sekitar dua bungkus roti dijepitkan lengan Miftah. “Eh, mau roti ini kah?” bingung Miftah saat anak kucing bercorak abu-abu belang itu terus mengeong dan sesekali hendak menoel bungkus roti itu dengan tangan mungilnya. “Puss kan kucing, kok makan roti sih.” Miftah menjelaskan dengan sabar, bukan tidak ingin berbagi makanan favoritnya itu ada kucing selucu ini, hanya saja, Miftah takut roti tidak baik untuk pencernaan kucing. “Puss tunggu sini dulu ya, biar aku beliin sosis buat, Puss.” Satu hal yang Miftah tidak suka dari tubuh tambunnya ini, ia harus mengerahkan banyak tenaga dari dua mangkok lontong sayurnya untuk sekedar berdiri. Beberapa siswa-siswi melirik ke arah Miftah yang kesusahan, mereka saling berbisik lalu tertawa pelan. Tidak berniat membantu sama sekali. Miftah mendengus, buru-buru memperkuat lututnya untuk segera menopang tubuhnya. Berhasil. Miftah tersenyum puas, menatap balik siswa-siswi yang menertawakan tadi dengan senyum lebar yang dipenuhi pipi semua. Miftah memperlihatkan senyum dengan sangat apik, hingga membuat senyum mereka tiba-tiba luntur dan segera mempercepat langkah mereka menjauh dari sana. “Tuhkan minder kan liat kecantikan gue,” gumam Miftah, penuh kemenangan. “Tunggu ya, Puss.” Miftah segera berlari-lari kecil ke kantin. Senang rasanya berlari-lari kecil seperti ini, selain salah satu olahraga untuk menyehatkan tubuh, entah kenapa saat Miftah berlari-lari kecil, semua orang mendadak menjadi baik. Mereka semua spontan memberi jalan bagi Miftah. Miftah bisa sampai ke kantin dengan cepat tanpa hambatan. Setelah membeli dua sosis sapi untuk kucing kecil itu, Miftah kembali ke tempat tadi. Namun kucing tadi sudah tidak ada di posisinya semula. Miftah refleks mengedarkan pandangannya mencari makhluk berbulu yang menggemaskan itu. “Nah itu dia ....” Senyum Miftah berseri saat berhasil menemukan makhluk berbulu yang dengan santainya nangkring di atas bangunan tiang di sebelah pagar sekolah. Kucing kecil itu nampak sibuk membersihkan tubuhnya hingga tidak berniat menyahuti panggilan Miftah yang heboh sendiri memerintahkannya untuk mendekat. Segala upaya sudah Miftah lakukan, mulai dari memamerkan dua sosis di tangannya sampai memanggil-manggil tidak jelas, tapi kucing kecil itu tetap acuh dan membiarkan Miftah seperti orang gila. Menyadari hal itu sia-sia, Miftah memutuskan untuk menghampiri kucing itu, meski rasanya Miftah sangat lelah mengerakkan kakinya lagi. Namun dua sosis yang sudah ia beli khusus pussi tidak boleh gagal tersalurkan, tekad Miftah. “Eh, Puss, tunggu dulu ...” Miftah refleks mempercepat langkahnya, begitu menyadari gelagat kucing kecil itu yang sudah ancang-ancang hendak pergi dari sana. “Eh Puss tunggu ...” Miftah berlari keluar dari sekolah, mengiringi kucing itu yang malah makin lari saat melihat Miftah lari ke arahnya. Mungkin kucing itu mengira, ada gajah yang berlari di belakangnya dan dia harus segera kabur jika tidak ingin jadi kucing gerpek. “Pussi ... tunggu. Tunggu dulu. Gue bawa makanan nih buat Lo,” teriak Miftah dengan nafas tersengal-sengal, meski begitu Miftah tidak menyerah. Ia terus berusaha mengejar kucing itu. “Puss, Tungguin gue kenapa sih? “ gerutu Miftah, yang akhirnya memilih berhenti tepat di depan bangunan kubus tidak terawat di sebelah bangunan sekolah. Miftah memang suka berlari-lari kecil, tapi tidak untuk lari beneran seperti sekarang. Ini sama sekali bukan keahliannya. Tangannya mendadak sangat dingin dan jantungnya berdegup sangat kencang, sampai-sampai rasanya ada sesuatu yang hendak terdorong keluar dari saluran pencernaannya. “Meow ....” Miftah mengedarkan pandangannya, kucing itu berhenti tepat di depan pintu bangunan yang menurut Miftah akan roboh dalam hitungan bulan. “Gue curiga, jangan-jangan tuh kucing salah satu agen komplotan bang Faud, biar gue olahraga sepagi ini,” desis Miftah pelan. Kenapa Miftah bisa berpikir seperti ini? Yap! Karena satu-satunya manusia yang selalu menentang keras keinginan Miftah untuk mempertahankan tubuh besarnya, hanyalah bang Faud— kakak kandungnya yang berprofesi sebagai alih gizi di rumah sakit ternama. Tidak hanya selalu memaksa Miftah untuk rutin berolahraga, bang Faud juga sering kali diam-diam mengubah stok camilan milik Miftah dari cokelat menjadi sayur-mayur, sangat sehat sekali bukan? “Tapi dia lucu banget, mana mungkin gue marah.” Miftah menghela nafas berat. Benar kata orang, makhluk berbulu ini memiliki semacam kekuatan ‘magis’ yang mampu menjadikan manusia sebagai babunya. “Oke, tunggu di situ! Janji jangan kabur lagi,” ujar Miftah, seolah tengah bernegosiasi dengan makhluk berbulu yang sedang sibuk menjilati telapak tangannya sendiri. Kucing itu memang tidak bergerak begitu Miftah mendekat, tapii perhatian Miftah malah teralihkan oleh suara di balik pintu yang ternyata hanya terlihat reog. “Kenapa sih ... selalu gini.” Ada suara tangis seorang pria. Dari mana Miftah tahu, yap! Karena hanya pria yang punya suara vokal seberat itu. Ada yang bilang seorang cowok kalo udah nangis apalagi di tempat sepi kayak gini, itu tandanya dia benar-benar lagi sedih dan alasan memilih tempat ini karena egonya sebagai laki-laki yang tidak ingin di cap lemah karena menangis. Miftah tahu teori ini dari bang Faud. Dulu Miftah sering memergoki abangnya itu nangis diam-diam di gudang belakang rumah karena stres ngadepin tugas kuliah yang makin hari makin banyak. Terdorong rasa penasaran, Miftah mengedarkan pandangannya ke sana-ke mari untuk mencari akses supaya bisa melihat ke dalam. Miftah penasaran apa yang membuat pria itu sangat sedih, bahkan suara tangisnya kini makin menjadi. Dapat! Miftah tersenyum simpul begitu maniak matanya mendapati lubang celah yang bisa ia jadikan tempat untuk mengintip. Ya, Miftah tahu ini termasuk tindakan melanggar privasi, tapi mungkin saja pria itu sedang butuh pertolongan, barang kali Miftah bisa bantu ... bantu doa lebih tepatnya. “Apa kurangnya gue! Gue udah berusaha buat—“ “Meow... “ Tiba-tiba kucing itu merampas sosis dari tangan Miftah. “Eh ... Aw! “ Miftah yang kaget, jadi salah gerak dan berakhir dengan kepala yang terantuk pada daun pintu. Bruk! Suara tempurung kepala Miftah yang beradu dengan daun pintu menarik perhatian pria yang sedang menangis itu. Tangisnya seketika langsung berhenti. Keheningan itu terasa mencengkam bagi Miftah. “Siapa di luar!” suara bariton itu seketika menggerakkan badan Miftah untuk segera membalik tubuhnya dan secepat kilat kabur dengan jurus seribu bayangan sebelum pintu reog itu terbuka dengan sempurna. “s**l! Ada yang liat gue nangis! “dengus pria itu, meski tidak bisa menangkap basah pelaku. Pria itu—Abdan yakin betul ada orang yang barusan lari dari sana, terlihat dari bekas rumput yang baru saja di terobos dengan brutal oleh kaki berukuran jumbo. “s**l!!! “ Abdan mengusap kasar wajah tampannya. Bagaimana jika yang melihatnya itu ternyata anak dari sekolahnya? Bisa hancur reputasi seorang Abdan. Mana ada Bad boy nangis kayak bocah di tempat seperti ini pula! Sungguh menyebalkan! Saran guru privatnya itu sangat buruk! Abdan berjanji pada dirinya tidak akan lagi mendengarkan guru privatnya yang hanya beda lima tahun dari umurnya. Kenapa juga Abdan tergiur untuk menurutinya. Abdan berbalik hendak mengambil tasnya dan pergi dari sana, tapi maniak matanya mendapati sesuatu yang seketika mengembalikan senyum miringnya. “Ternyata Lo! Liat aja Lo! Gue bakal buat perhitungan sama Lo !” Abdan meremas kuat benda yang berbentuk persegi panjang di tangannya. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD