Tiga

1761 Words
Hal yang paling menyesakkan adalah saat kita susah payah membuang sakit dari masa lalu, tapi dengan mudahnya masa lalu itu datang tanpa rasa bersalah. Itu pula yang di rasakan Deanova saat ini, pikiran dan hatinya jadi kacau karena Adeline yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Bukan karena Deanova adalah pria yang gagal move on, tapi karena luka yang di berikan gadis itu menyayat hatinya begitu dalam. Wanita itu yang dulu membuatnya jatuh sejatuhnya, cinta monyet yang berkesan. Dimana dua sejoli saling ungkap rasa tanpa sadar umur mereka, mengucap janji akan selalu bersama apapun yang terjadi. Di tambah kedekatan antara kedua keluarga membuat mereka menobatkan diri sebagai 'jodoh' tanpa peduli campur tangan Tuhan. Tapi kuasa yang terbesar tetaplah yang Maha Pencipta, kesetiaan antara mereka diuji saat jarak membentang di antara keduanya. Dan mereka kalah melawan takdir. "Dean." Seseorang menepuk pundak Dean, membuat dia menoleh dan menyingkirkan semua fikirannya. "Hm?" gumamnya setengah malas. "Ada yang nyari lo di luar," kata seorang pria berambut cepak kepada Dean. Menoleh, kening Dean lantas berkerut. "Siapa?" Pria itu menggeleng pelan, "Kurang tau gue, kayanya bukan anak kedokteran." "Oh oke, makasih ya." Pria itu mengangguk, lantas berlalu keluar kelas. Sedangkan Dean, menaruh ponsel ke dalam sakunya sebelum kemudian ikut melangkah ke luar. Di depan, kepalanya bergerak miring saat melihat seseorang yang berdiri memunggunginya. Seorang gadis, dan kini sedang bermain dengan kakinya yahh digerak-gerakan menghentak lantai. "Lo nyari gue?" tanya Dean membuat sang gadis menoleh. Dean cukup terkejut, mendapati seorang gadis yang kalau tidak salah dikenalnya kemarin di perpustakaan pusat. Ana kan namanya? tanyanya dalam hati. Dia payah sekali dalam mengingat nama seseorang. "Ana?" Dean mencoba memastikan bahwa dia tidak salah ingat. Ucapanya jelas terdengar ragu. Gadis itu tersenyum, sangat manis dengan mata berbinar. Lucu sekali. "Hai Deanova! Maaf aku ganggu, aku mau ngembaliin ini," ujar gadis itu dengan tangan terulur. Ana menyodorkan sebuah hodie warna abu-abu kepada Dean. Hodie yang dipinjamkan oleh Dean karena hujan masih turun rintik-rintik menjelang saat Ana pulang. "Udah aku cuci kok, cium deh wangi," lanjut gadis itu. Bahkan Ana sampai mengangsurkan hadie itu mendekat pada Dean. Tindakan yang membuat Dean terkejut tapi sedetik kemudian pria itu tertawa melihat betapa polosnya Ana melakukan hal itu. "Iya, wangi kok," balasnya dengan nada jenaka. Ana tertawa kecil sambil menutupi mulutnya. "Harusnya lo engga usah buru-buru balikin. Gue juga punya beberapa kok di rumah. But, thanks ya lo sampe jalan jauh kesini cuma buat balikin hodie gue," ujar Dean lagi. Ana mengangguk-anggukan kepalanya, "Aku lah yang harus nya makasih karena udah di pinjemin hodie kamu waktu itu. Makasih ya Deanova." Dean tersenyum, "Panggil Dean aja, engga usah sampe lengkap gitu." Ana memiringkan kepalanya, "Semua temen kamu manggil kamu Dean?" Dean mengangguk, "Iya. Lebih simple kan?" "Oke kalau begitu aku tetap panggil Deanova," kata Ana riang. Dean mengernyit bingung, "Kenapa?" "Biar beda aja sama orang lain. Jadi kamu mudah inget sama aku." Dean tertawa, "Iya gimana lo aja deh. Asal jangan panggil nama belakang gue juga ya setiap ngomong." "Deanova Stephano?" Mata Dean sontak membulat, dia terkejut saat Ana menyebut nama lengkapnya. "Lo tau darimana nama lengkap gue?" Ana diam sejenak, Lalu dengan senyum manisnya dia menjawab, "Siapa sih yang engga kenal Deanova Stephano Presiden BEM U yang kalau lewat bikin cewek-cewek lupa napas," canda Ana. Mendengar jawaban Ana, raut terkejutnya berubah menjadi geli. "Jangan buka rahasia gue," bisiknya drama. Ana tertawa dibuatnya lalu setelah itu dia tersenyum tipis sambil menggoyang-goyangkan tangannya. "Kalau gitu aku pergi ya. Sekali lagi makasih loh," pamitnya kemudian. Dean mengangguk, bibirnya melengkung sejajar ke atas, membalas senyum Ana. Dia memandangi punggung Ana yang mulai menjauh. Gadis itu sangat unik, dari pertama bertemu saat hujan gadis itu lebih sering tersenyum daripada berekspresi lain. Seakan di hidupnya dia tidak pernah memiliki beban. Bibir Dean terus menampilkan senyum walaupun Ana sudah benar-benar tidak terlihat lagi. Raut ceria Ana seperti penyakit TBC yang bisa menular ke siapa saja. Dean memandangi hodie di tanganya, dan mendekatkannya ke hidung, "Wangi," katanya seperti orang bodoh. *** "Aku mau ngomong, tolong jangan ngehindar lagi." Dean akhirnya menghentikan langkahnya ketika mendengar perkataan Adeline yang terdengar putus asa. "Gue rasa engga ada yang perlu kita omongin lagi. Semua sudah selesai sejak setahun yang lalu," tolak Dean tegas. "Aku pergi bukan karena mau ku Dean." Dean tertawa miris lalu melangkah mendekat ke arah Adeline, menatap gadis itu dengan tatapan tajam. "Tapi lo selingkuh atas dasar kemauan lo sendiri. Dan buat gue, itu udah cukup buat ngakhirin semua yang pernah ada antara gue dan lo. Jadi mulai sekarang, bersikap lah sewajarnya. Gue engga mau lo terus menerus bersikap seperti ini," ujarnya tertahan. "Dean please.. " Dean mengangkat tangannya, tanda dia tidak ingin Adeline mengatakan apapun. "Lo cantik, lo bisa dapetin cowok yang jauh di atas gue kaya selingkuhan lo dulu. Jadi tolong engga usah drama lagi depan gue." Adeline menatap sendu mantan kekasihnya itu, tangannya berusaha memegang tangan Dean tapi pria itu menepisnya. "Dean tapi aku masih ngerasa kalau ada yang perlu di lurusin antara kita," bujuknya tak menyerah. Dean menghela nafas berat, sejujurnya dia sudah sangat jengah dengan sikap Adeline yang seperti ini. Padahal dulu gadis itu yang mengkhianatinya, bagaimana bisa kini Adeline bersikap sebagai korbannya. "Apa yang menurut lo perlu di jelasin? Tentang apa? Apa yang dulu terjadi itu udah sangat jelas, betapa bodohnya gue yang setia nunggu seseorang yang justru dengan mudahnya membagi hatinya ke orang lain." Adeline menunduk. Di kesulitan, Dean tidak membuka celah sedikitpun untuk dirinya. "Aku tau aku salah tapi itu juga karena aku baru pertama ngejalanin LDR, dan selama itu perhatian jarak jauh dari kamu engga cukup nutupin rasa rindu aku ke kamu. Jadi aku... " "Cukup! apapun alasan lo, itu sama sekali engga ada gunanya buat gue. Jadi gue mohon sama lo, bersikap lah seakan kita baru kenal." Deanova berlalu tanpa memperdulikan Adeline yang berkali-kali memanggil namanya. Dia berjalan menuju parkiran untuk mengambil mobilnya, tetapi tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras membuatnya harus menepi untuk berteduh. Ingatannya melayang kepada kejadian kemarin di saat dia melihat Ana merunduk ketakutan saat hujan turun. Entah apa yang terlintas di pikiran Dean, tapi ingatan tentang Ana membuatnya mengurungkan niat untuk ke parkiran dan malah berlari ke arah gedung fakultas Sastra. Deanova bahkan tidak menghiraukan kemejanya yang sudah basah karena air hujan, yang ada di otaknya saat ini hanyalah mencari Ana karena takut Ana hanya sendirian seperti kemarin. Takut? Entahlah, tapi Dean merasa khawatir pada gadis itu. Dari kejauhan Dean dapat melihat seseorang yang sedang berjongkok di antara motor-motor yang terparkir di parkiran motor. Tidak salah lagi, itu pasti Ana, pikir Dean. Dean semakin mempercepat larinya dan berdiri di samping gadis yang masih menunduk itu dengan nafas yang tersengal sengal. "Ana.. " Panggil Dean Ana bergeming dengan tubuh yang bergetar hebat. Dengan ragu, Dean berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan Ana dan menyentuh bahunya secara perlahan. Ana menoleh ke arah Dean dengan pipi basah entah karena hujan atau air mata. Dan sedetik kemudian Ana menghambur ke pelukan Dean. Deanova terkejut, tapi beberapa saat kemudian Dean membalas pelukan Ana dan menepuk-nepuk punggungnya dengan pelan. "Engga apa-apa, ada gue disini. Tutup telinga lo ya." Ana tidak menjawab, tubuhnya masih bergetar walaupun tidak sehebat tadi. Wajahnya dia benamkan di d**a Dean, sedangkan Dean tetap setia mencoba membuat Ana tenang. "Harusnya kalau lo udah liat langit mendung, lo engga usah keluar ruangan dulu. Kalau engga ada siapa-siapa gimana coba?" ujar Dean dengan suara hampir teredam suara hujan. "Ma-maaf, tapi tadi engga mendung kok," kilah gadi dalam pelukannya tanpa mengangkat wajah. Dean mengurai pelukannya, tapi membiarkan posisi mereka tetap dekat. "Ayo ikut gue," ajaknya. Lalu dia bangkit dan menarik tangan Ana. Ana yang sempat bingung akhirnya tetap mengikuti langkah kaki Dean dengan sebelah tangan yang tetap berusaha menutupi telinganya. Deanova membawanya ke sebuah kelas yang sudah kosong dan mengajak Ana untuk masuk. Ana di dudukannya di sebuah kursi di belakang kelas. Tangan Deanova menengadah ke arah Ana, membuat gadis itu mengernyit bingung. "Mana HP lo?" tanya Dean. Ana menaikan sebelah alisnya, "Untuk apa?" Dean tidak menjawab dan tetap mengadahkan tangannya di depan Ana. Ana menghela nafas pelan lalu menyerahkan ponselnya pada Dean. Terlihat Dean mengetikan sesuatu di ponsel Ana dan kemudian mengembalikan nya lagi. "Gue udah save nomer hp gue. Di kontak nama gue, gue tulis pake huruf A. Jadi nama gue ada di urutan paling atas, kalau ada apa-apa lo bisa langsung telpon gue tanpa harus susah cari-cari nama gue." Ana melihat ponselnya sebentar dan setelah itu mengangguki perkataan Dean. "Saran gue, engga aman kalau lo pulang pergi naik motor mengingat phobia lo, kalau mendadak turun hujan pas lo lagi di jalan nyetir motor itu akan sangat bahaya. Mending lo minta anter jemput sodara lo aja." Dean menyarankan. Ana menggeleng, "Aku cuma sendiri di Jakarta, jadi engga ada yang bisa antar jemput. Engga ada pilihan lain," balasnya mengangkat bahu acuh. Kening Dean berkerut, kini dia sudah menarik satu kursi untuk dia duduki berhadapan dengan Ana. "Terus pernah engga kejadian pas lo lagi dijalan tau-tau hujan?" tanyanya penasaran. Posisi mereka sudah duduk berhadapan. Hujan juga sudah mereda dan tidak menimbulkan suara yang ricuh sehingga Ana tidak perlu lagi menutupi telinganya. "Pernah, nih.. " jawab Ana sambil menunjuk sikunya yang terdapat bekas jahitan. "Aku hilang keseimbangan dan jatuh di tengah jalan, untung waktu itu jalanan sepi jadi kemungkinan terburuk aku di lindas kendaraan lain engga terjadi. Cuma siku ku yang sobek dan harus di jahit," lanjutnya santai. Berbeda dengan Ana yang terlihat santai, Dean justru terkejut bukan main. Kepala nya menggeleng tidak percaya, tangannya tanpa sadar bergerak menyentuh bekas luka milik Ana. "Mulai besok gue yang antar jemput lo. Final, gue engga nerima penolakan oke?" Kini gantian Ana yang terkejut, dia bahkan hanya bisa melongo beberapa saat sebelum kemudian menolak dengan sedikit berlebihan. "Engga. Engga usah. Lagipula kita engga sedekat itu sampai kamu harus repot antar-jemput aku." Tapi yang terjadi, Deanova malah menatap tajam gadis di hadapannya lalu melipat tangan di d**a, berusaha mengintimidasi Ana. "Daripada kejadian kayak gitu terulang lagi. Kalau nantinya gue sibuk dan engga bisa anter-jemput lo, lo bisa naik angkutan umum. Jangan bawa motor." Ana tetap menggeleng, "Aku nanti minta bantuan temen aku aja," ujarnya memberi opsi lain. "Kalau gitu, telpon temen lo sekarang dan bilang lo minta dia anter-jemput. Kalau dia bilang 'mau', itu bagus," tantang Dean. Ana terdiam. Dia tidak bisa meminta bantuan Bagas untuk hal ini. Karena Bagas juga harus mengantar jemput adiknya dan rumah mereka berlawanan arah. "Gimana? Kok diem?" desak Deanova. Dengan helaan nafas berat Ana mengangguk. "Oke aku mau di antar-jemput kamu. Tapi jangan maksain diri ya," putusnya mengalah. Dean mengangguk dengan senyum kemenangan. Tidak apalah repot sedikit, daripada gadis di depannya ini kenapa-kenapa. Tapi kenapa juga dia harus peduli? *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD