Deanova berbaring di kasurnya, men-scrol layar ponselnya turun kebawah mencari apa yang menjadi suplemennya selama dua minggu ini. Mungkin terdengar berlebihan, namun hanya dengan melihat gambar tulisan yang sudah dua minggu disimpannya itu mampu membuat Dean merasa lebih baik di saat dia merasa lelah.
Jarinya terhenti pada satu foto dan kemudian membukanya. Dia tersenyum kecil lalu membaca setiap untaian yang ada disana secara berulang ulang. Puisi favorit nya.
Angin... Aku ingin bertanya..
Bagaimana kah rupa jodohku?
Apakah Tuhan membocorkan sedikit saja tentangnya padamu?
Entah, aku rindu..
Meski aku bahkan tak tau siapa dia.
Angin.. Mungkinkah saat ini hatinya di pinjam orang lain?
Kapankah dia akan datang? Atau aku yang harus mencari nya?
Hai kau, pejamkan matamu dan dengarkan aku..
Aku jodohmu, percayalah..
Siapapun yang berada di dekatmu saat ini
Tinggalkan...
Karena aku mulai lelah..
Angin.. Bawalah pesan ku sampai padanya..
Jangan pergi sebelum dia berkata 'Ya'..
Eidelweiss
Deanova meletakan ponselnya sembarang. Senyumnya tidak pernah lepas hanya karena membayangkan, bagaimana kiranya ekspresi Eidelweiss saat menuliskan setiap curahan hatinya? Ah curahan hati? Ya, bagi Deanova puisi yang di tuliskan Eidelweiss lebih mencerminkan ungkapan hati dari gadis itu. Gadis? Benarkah Eidelweiss seorang gadis? Setidaknya seperti itulah yang Deanova bayangkan. Jikapun pada kenyataannya Eidelweiss adalah seorang pejantan, tak apa. Deanova hanya cukup menjadi pengagum dari setiap tulisannya saja.
"ABAAANGG!"
Deanova berjengkit kaget. Dia nyaris terguling ke bawah kasur jika tidak saja dia tidak segera bangkit dari posisi tidurannya. Teriakan itu mampu meluluh lantakan senyum di wajah Dean, membuat kupingnya berdenging seketika. Tangannya bergerak, mengusap wajahnya kasar dan bergegas beranjak untuk membukakan pintu.
"Hm," gumamnya dengan wajah malas.
Di depan pintu berdiri seorang gadis kecil berusia dua belas tahun yang mengenakan kaus oblong berwana pink dan juga celana pendek rumahan. Kepala kecilnya itu mendongak ke adah Dean dengan wajah kesal. Gadis kecil itu adalah Dealova, adik bungsu Dean.
"Buruan dong turun! Udah jam makan malam nih," sungut Dea sambil menatap Dean kesal. Pasalnya dia sudah lapar tapi kakaknya ini tak kunjung turun meski semua anggota keluarganya sudah menunggu di ruang makan.
Dean mengangguk pelan, kemudian berpaling ke arah dalam kamarnya lagi.
"Iya. Udah sana, nanti Abang turun," jawabnya kemudian.
Dea bergeming, tangannya yang bertoslk pinggang dengan wajah yang menatap pada kakaknya curiga itu bertahan hingga beberapa waktu. Barulah ketika Dean menunjukan wajah garangnya, Dean langsung bergegas turun ke lantai bawah dan bergabung dengan Papa Mama nya yang sudah duduk rapi di meja makan.
Deanova hanya bisa menggeleng pelan. Langkah kakinya bergerak kembali masuk ke dalam kamar, menyentuh ponsel untuk menutup semua aplikasi yang berjalan sebelum akhirnya kembali keluar.
Dia berjalan turun, bergabung dengan yang lain yang sudah siap dengan porsi makanan yang ada di piring mereka masing-masing.
"Lagi ada tugas, Bang? Tumben telat turun," tanya Mamanya. Wanita cantik itu mengambilkan makanan untuk anak sulungnya dan kemudian menyerahkan pada Deanova.
Deanova sendiri menggeleng, menyentuh gelas air putih yang sudah ada di dekatnya.
"Engga, Ma. Tadi lagi dengerin musik jadi lupa waktu," jawabnya berbohong.
Bisa jadi bulan-bulanan keluarga jika dia mengaku baru saja membaca puisi abstrak dari orang yang bahkan tidak dia kenal.
"Paling juga lagi galauin cewek, Ma. Jadi kebawa perasaan," sahut Dea dengan mulut penuh dengan makanan.
Denova memutar bola matanya malas, "Anak kecil tahu apa sih? Darimana coba tahu soal galau sama bawa perasaan segala?" ujarnya galak.
Namun itu tidak berpengaruh pada adiknya, karena Dea justru memeletkan lidahnya untuk menggoda abangnya itu.
"Udah, makan yang benar. Engga baik ribut di meja makan," tegur Papa mereka.
*
Ana berjalan masuk kedalam kelas dengan menyapa orang-orang yang berdiri di sepanjang koridor. Hal ini sudah merupakan kebiasaan yang sudah dia lakukan semenjak pertama kali masuk ke fakultas Sastra Indonesia, tersenyum dan menyapa siapa pun yang ia temui di sepanjang langkahnya menuju kelas.
Karena itulah dia disukai banyak orang, kepribadiannya yang humble dan juga tidak membeda-bedakan orang membuat siapapun ingin berteman dengan gadis sepertinya.
"Pagi Bagas!" sapanya pada seorang pria yang tengah mengobrol dengan teman pria yang lainnya.
"Pagi, An!" balas Bagas. Dia bergegas bangun dari duduknya dan berjalan ke bangku yang ada di sebelah Anam "Kemarin lo pulang jam berapa? Kan kemarin hujan, lo enggak apa-apa?" tanyanya kemudian.
Ana tersenyum, kepalanya menggeleng dengan semangat.
"Engga apa-apa kok. Aku nunggu hujan reda di perpus pusat," jawab Ana masih dengan senyum di wajahnya.
Bagas tersenyum simpul, kepalanya dengan santai mengusap kepala Ana lembut.
"Lain kali, kalau hujan lo langsung telpon gue ya," pintanya. "Biar gue yang anter lo pulang, kalau kemarin gue engga sempet nyari lo karena Digta udah nelponin mulu."
Ana mengangguk lalu mengibaskan tangannya dengan santai.
"Santai aja, aku engga apa-apa kok," ujarnya meyakinkan.
Bagas mengangguk mengerti. Sejenak dia memperhatikan wajah gadis di sampingnya ini. Ana adalah gadis yang selalu dekat dengannya sejak masih putih biru, tidak heran jika Bagas bahkan lebih mengenal Ana daripada diri Ana sendiri. Kebiasaan Ana, kelebihan Ana, ketakutan Ana, dan juga masa lalu Ana. Nyaris tidak ada hal yang Bagas tidak tahu soal sahabatnya ini, selain ukuran dalaman yang biasa Ana pakai.
"Jangan liatin aku kaya gitu, aku belum siap loh kalau kamu tiba-tiba jatuh cinta sama aku," cetus Ana ngaco.
Bagas yang nyaris terjatuh dalam lamunannya, tersadar sepenuhnya saat mendengar ucapan kacau Ana. Dia mendengus, tangannya menyentil kening Ana pelan.
"In your dream," balasnya dengan wajah menyebalkan.
Ana hanya terkekeh kecil. Sudah biasa seperti ini didalam hubungannya dengan Bagas. Tidak ada rasa canggung tau curiga terhadap apapun, yang ada hanya candaan kekanakan dan juga saling lempar kata ejekan. Hal-hal yang serius hanya jika mereka merasa butuh dan di keadaan tertentu saja. Selebihnya tidak ada yang perlu di seriuskan karena itu terasa menggelikan untuk mereka.
Ada jeda dalam obrolan mereka. Bagas bergerak mengecek ponsel miliknya, sedangkan Anyelir hanya menatap ke arah pintu masuk kelas dengan senyum kecil.
"Kemarin akhirnya aku ketemu dia," ujar Ana lirih.
Ucapan yang nyaris tidak terdengar itu, justru membuat Bagas bereaksi dengan berlebihan. Dia menoleh dengan cepat, melupakan apapun yang ada di ponselnya sesaat tadi.
Bagas tahu betul siapa 'dia' yang Ana maksud. Bibirnya sangat ingin bertanya apa yang terjadi hingga pada akhirnya Ana mulai menampakan diri di depan 'orang itu' setelah selama 3 tahun ini hidup bagai hantu yang tidak terlihat. Tapi hatinya melarang keras, dia tidak yakin bisa menahan emosinya jika harus melihat Ana bercerita tentang 'orang itu' dengan wajah berbinar-binar, seperti yang selalu Ana lakukan semenjak dulu.
Maka yang dia lakukan hanya pura-pura tidak mendengar dan kembali fokus mengajak bicara temannya yang lain, meninggalkan Ana yang kini sibuk dengan pikirannya sendiri.
Untuk saat ini Bagas merasa dia tidak perlu mendengar cerita apapun tentang Ana dan 'orang itu'. Setidaknya ini adalah cara Bagas melindungi dirinya sendiri.
Meski dalam ucapan dia menolak jatuh cinta pada Ana, nyatanya hati yang ada dalam tubuhnya itu sudah menjadi milik gadis itu sejak lama. Sejak Ana jatuh cinta pada 'orang itu'itu'.
*
"Oke kalau enggak ada yang mau di tanyain lagi, rapat gue tutup."
Ucapan Deanova itu menjadi tanda bahwa pertemuan yang saat ini berlangsung sudah berakhir.
Beberapa orang yang ada disana berhambur keluar ruangan setelah membereskan barang-barang mereka.
Itupula yang dilakukan Dean. Dia berjalan keluar dan beregas untuk kembali ke kelasnya.
Baru beberapa langkah, tapi kakinya otomatis berhenti saat pandangan matanya bertemu dengan manik hitam milik seorang gadis yang tengah tersenyum kepadanya.
"Deanova.. " panggil gadis itu, nada suaranya terdengar penuh rindu.
Dean terdiam, tapi sedetik kemudian dia membalas senyum gadis itu.
"Hai.." sapanya datar. Dia jelas tidak bisa mengabaikan apa yang telah terjadi antara dirinya dengan gadis di hadapannya ini di masa lalu, maka bertingkah seakan tidak ada apa-apa di antara mereka tidak akan mungkin Dean lakukan.
Berbeda dengan Dean, Gadis itu justru terlihat sumringah dan dengan langkah seringan kapas berjalan mendekat dengan senyum yang masih mengembang.
"Apa kabar? Akhirnya kita ketemu lagi," tanyanya riang. Tangannya nyaris menyentuh lengan Dean, namun gagal saat Dean bergerak menghindar.
Dean tersenyum tipis lalu mengangguk.
"Gue baik. Lo gimana?"
Jelas terlihat bahwa gadis didepannya ini tampak terkerjut dengan cara bicara Dean yang jauh berbeda dengan saat mereka masih dekat dulu. Tidak hangat dan tidak akrab.
Gadis itu tersenyum miris lalu menggeleng.
"Aku enggak baik. Tepatnya setelah kejadian itu, aku sudah berulang kali mencoba kembali ke Indonesia dan baru berhasil sekarang," jawabnya dengan nada lemah.
Dean tidak bereaksi. Dia hanya terus menapa datar gadis di hadapannya.
Adeline, gadis cantik yang dulu sempat menjadi satu-satunya gadis yang berada di dekat Deanova. Dan harus Deanova dorong menjauh karena kelakuan gadis itu yang mengecewakannya. Saat ini, bagi Deanova dia sedang melihat gadis itu sekali lagi sedang berlakon. Memerakan peran seorang pacar yang tersakiti dan gagal move on lalu kembali berharap bisa membuat Deanova menyambutnya dengan senang hati. Mimpi, Sungut Dean dalam hatinya.
"Harusnya lo enggak usah balik lagi. Kehidupan lo disana kan bahagia? Malah gue pikir dalam waktu dekat bakal dapet undangan pernikahan lo," sarkas Dean, senyum sinis menghiasa bibir tipisnya.
Adeline mematung. Pria yang di depannya ini sangat bukan Deanova yang dia kenal dulu. Setahunya, Deanova adalah pria yang hangat dan sangat manis. Bukan pria yang berkata sinis kepadanya seperti saat ini.
"Gue duluan," Pamit Dean.
Tanpa menunggu jawaban Adeline, dia sudah berlalu tanpa menoleh ke belakang. Meninggalkan Adeline yang hampir menangis karena menyesal sudah menyakiti Dean di masalalu.
***