Lalu lalang para mahasiswa dan mahasiswi yang hendak pulang atau mengunjungi beberapa tempat seperti kantin, perpustakaan atau yang lainnya membuat suasana fakultas Sastra Indonesia terlihat riuh ricuh.
Suara bising bahkan terdengar di mana-mana. Mereka berteriak, bagai anak TK yang kesenangan jam pulangnya datang.
Deanova memilih untuk berdiam diri didalam mobil sambil menunggu Ana selesai kelas. Tadi sebelum kelasnya usai, Deanova mendapatkan pesan dari Ana jika gadis itu masih ada kelas dan meminta agar Dean pulang duluan saja jika dia selesai lebih cepat. Tentu saja Dean menolak, bahkan dirinya sekarang sudah berada di depan gerbang fakultas Ana setelah mengalami sedikit drama dengan Adeline.
Anehnya, saat ini Adeline tampak sangat lain dengan Adeline yang dia kenal dulu. Adeline yang Dean tahu adalah sosok yang menjunjung tinggi harga dirinya, yang tidak akan mau melakukan apapun yang dapat mempermalukannya apalagi di depan umum. Tapi kelakuannya tadi benar-benar tidak masuk akal. Gadis itu bahkan mengaku mengikuti dirinya kemarin sampai memergoki Dean yang memeluk Ana.
Jika dipikir lagi, kenapa juga Dean harus memeluk Ana di saat dia mungkin bisa menenangkan gadis itu dengan cara lain?
Dean menoleh beberapa kali keluar jendela untuk mengetahui Ana sudah keluar atau belum, sudah lebih dari setengah jam dia hanya berdiam diri di dalam mobil dengan lagu yang terputar di stereo. Kemudian entah di tengokkan ke berapa sampai matanya menangkap seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan menyusuri koridor. Gadis itu adalah Ana yang berjalan tanpa kehilangan senyumnya sambil melambai ke setiap orang yang menyapanya. Sudah seperti miss Universe saja, pikir Dean.
Deanova tertawa kecil sebelum akhirnya memutuskan keluar dari mobilnya.
Dia memandangi Ana yang masih sibuk berbasa-basi menyapa teman-temannya. Sesekali gadis itu tertawa sambil menanggapi ucapan yang entah apa itu. Hingga kemudian netra coklatnya bertemu tatap dengan netra hitam legam milik Ana. Gadis itu tersenyum, mengangkat tangan begitu tinggi untuk menyapanya. Dean kembali menertawakan tingkah gadis itu.
"Hai.."
Sapaan itu ditujukkan untuk Dean, namun bukan berasal dari Ana yang masih berada jauh di depan sana melainkan dari seorang wanita yang mengenakan kaos ketat dan jeans navy yang berdiri di samping Dean. Deanova menoleh, mengerutkan keningnya memandangi gadis itu.
"Deanova kan, anak kedokteran?" tanya gadis itu dengan senyum mengembang. Tangannya bergerak, menyelipkan anak rambut ikalnya ke belakang telinga.
"Iya," jawab Dean singkat lalu mengalihkan kembali pandangannya ke arah Ana yang berjalan semakin dekat ke padanya.
"Kok bisa ada disini? Nunggu siapa?" tanya gadis itu lagi seakan tidak menyadari jika Dean menolak untuk berbicara lebih banyak dengannya.
Namun begitu Dean tetap menoleh sebentar dan menunjuk Ana dengan dagunya sebagai jawaban.
"Lo nungguin Ana?" Gadis itu kini tampak terkejut. Matanya menatap ke arah Ana dan Dean bergantian.
"Hm."
Lalu Deanova tersenyum kecil melihat Ana yang tersenyum lebar ke arahnya. Ia terang-terangan mengabaikan adanya seorang gadis yang sedari tadi enggan mangkir dari posisinya, menganggap gadis yang kini tampak tidak percaya mendengar Dean yang sedang menunggu Ana seperti tidak ada.
"Deanova, nunggu lama lagi ya?" tanya Ana saat sudah berhadapan dengan Dean, walau senyum masih ada di wajahnya namun matanya memandang penuh rasa bersalah. Sedetik kemudian perhatian Ana teralihkan pada gadis yang berada tepat menempel di samping Dean.
"Loh Audrey? Audrey mau ikut pulang bareng juga sama aku dan Deanova?" tanya Ana polos pada gadis yang di panggilnya Audrey itu.
Audrey tidak menjawab tapi justru menatap Ana dengan pandangan meremehkan. Seakan-akan ajakan dari Ana adalah ajakan untuk membersihkan toilet yang membuatnya jijik.
"Yuk pulang!" Ajak Dean.
Ana berdiri dengan bingung, bergantian menatap ke arah Dean dan Audrey.
"Sama Audrey?" tanyanya.
Deanova menoleh kepada gadis yang tengah tersenyum malu-malu sambil menatapnya.
"Gue cuma jemput lo, lagian gue engga biasa semobil sama orang yang engga gue kenal," cetus Dean acuh lalu berjalan memutari mobilnya.
Ana tersenyum sungkan ke arah Audrey yang sedang menatap penuh kesal ke arahnya.
"Aku pulang duluan ya. Audrey naik ojek aja."
Kemudian dia berjalan ke sisi pintu penumpang, meninggalkan Audrey yang menatapnya dengan geram.
Ana membuka pintu mobil dan masuk kedalam. Dia menatap Dean yang tengah bersiap menjalankan mobilnya.
"Deanova," panggil Ana.
Dean menoleh dan tersenyum kecil ke arah Ana yang membalasnya dengan senyum lebar.
"Kenapa?" tanya Dean sembari memutar kemudinya.
"Kamu kenal sama Audrey?"
Dean mengangkat sebelah alisnya bingung, "Cewek yang tadi?"
Ana mengangguk, "Iya yang tadi. Hebat Dean bisa kenal sama Audrey, dia itu primadona kampus tau. Banyak yang nyatain cinta ke dia. Kemarin aja Guntur yang Ketua Mapala bawa bunga yang geedeee banget buat nembak Audrey. Tapi kasian Guntur ditolak, Kata Audrey dia engga mau punya pacar yang sering ninggalin dia buat naik gunung" Ana bercerita dengan panjang lebar tanpa di minta.
Deanova terkekeh mendengar betapa lucunya wajah Ana saat bercerita. "Gue engga kenal dia," jawab Dean kemudian.
"Masa?"
"Hm"
"Baguslah" gumam Ana pelan. Ada senyum yang muncul di wajahnya.
"Hah?"
"Apa?"
"Itu yang tadi lo ngomong apa?"
Ana memandang datar ke arah Dean sambil membetulkan rambutnya yang berantakan.
"Aku bilang apa tadi ya, perasaan engga ada yang penting."
Dean menghembuskan nafas pelan. "Iya gimana lo aja."
Ana terkekeh melihat raut kesal Deanova. Selanjutnya mereka lebih memilih diam di sisa perjalanan. Hanya lantunan lagu dari Payung teduh yang terdengar dari stereo mobil Dean.
Dengan suara pelan, Dean dapat mendengar suara Ana yang mengikuti lirik lagu. Suaranya memang tidak bagus namun sangat lembut dan enak didengar.
Menempuh waktu kurang lebih empat puluh lima menit sampai akhirnya Deanova menepikan mobilnya di sebuah kosan yanga hanya terdapat dua kamar bersisian itu. Rumah yang disekat menjadi dua untuk kemudian dijadikan kosan khusus wanita.
"Itu siapa?" tanya Dean saat matanya melihat seorang gadis dan seorang pria yang sedang berdiri di depan pintu kosan Ana.
Ketika dia menoleh, Ana tampak memicingkan mata lewat kaca jendela mobil.
"Oh itu sepupuku dari Bandung. Dua hari yang lalu dia datang buat ngelamar kerja di jakarta katanya," jawabnya.
Deanova mengangkat sebelah alisnya tapi enggan bertanya lebih lanjut.
"Deanova mau ikut turun?" tanya Ana sembari menyampirkan tas di bahunya. Tangannya sudah siap melepas sabuk pengaman yang membelit tubuhnya.
"Lain kali aja, gue masih ada keperluan."
Ana mengangguk mengerti.
"Kalau begitu aku turun ya. Terimakasih kamu udah mau nganter aku," ucap Ana tulus. Senyum lebar seperti biasa ia berikan pada Dean yang sudah mau menghabiskan waktu dan bensinnya demi mengantar Ana.
Deanova tersenyum tipis lalu mengangguk. Ia masih sempat melambai saat Ana sudah berada di samping mobilnya.
*
Ana turun dari mobil, berdiri di depan pagar sampai mobil Dean kembali berjalan. Setelahnya dia berjalan masuk dan menyapa sepupu ya yang memang sedang menunggunya itu.
"Hai Aleska, lama nunggu ya?" tanya nya dengan senyum lebar. Ia merogoh ke dalam tas yang dia pakai untuk dapat membuka pintu kosannya.
"Hai Kak Ana! engga kok aku juga baru sampai," balas sepupunya. Ia kemudian menoleh pada seseorang yang berdiri di sampingnya. "Oh ya kenalkan ini pacar aku, namanya Orlan," lanjut Aleska memperkenalkan.
Ana tersenyum ramah lalu mengulurkan tangannya.
"Hai... Kenalin, Aku Ana. Sepupunya Aleska."
Pria dengan tubuh tinggi dan kulit putih itu, tersenyum sambil membalas jabat tangannya.
"Salam kenal, Ana. Gue Orlan, pacarnya Aleska."
Mengangguk, Ana berjalan ke depan mereka dan memutar kunci hingga pintu di depannya terbuka.
"Masuk dulu," ajak Ana.
Ia berjalan lebih dulu, melepas flatshoes yang dia kenakan kemudian menaruhnya di rak yang ia letakan di samping pintu.
Sedangkan Orlan dan Aleska justru berdiri canggung menunggu hingga dirinya selesai.
Ana tertawa, menggerakkan telapak tangannya, memberi kode agar Aleska dan Orlan duduk di sofa yang ada di ruangan kecil yang Ana gunakan sebagai ruang tamu sekaligus ruang televisi.
"Mau minum apa?" tawar Ana.
Tapi sepupunya justru menggeleng.
"Engga usah, Kak. Nanti aku bikin sendiri aja kalau haus. Kakak ganti baju sama istirahat aja, kayaknya kakak capek banget. Engga apa-apa kan aku disini ngobrol sama Orlan? Kita engga akan macem-macem kok."
Ana terkekeh mendengar ucapan dari Aleska. Dia menggeleng pelan sebelum berujar,
"Ya engga apa-apa lah. Yaudah aku ke kamar dulu ya. Kamar kamu ada tepat di sebelah kamar aku, udah aku beresin jadi nanti kamu tinggal istirahat aja," ujar Ana yang diangguki oleh Aleska dan Orlan.
Ana melangkah menuju kamarnya meninggalkan Aleska dan Orlan yang mulai tampak membicarakan sesuatu. Dia percaya bahwa sepupunya itu wanita baik-baik yang tidak akan melakukan hal buruk, setidaknya itu yang dia lihat selama mengenal Aleska, adik sepupunya yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri itu.
Ana menjatuhkan tasnya di ranjang, membiarkan tangannya terentang dan kalinya menggantung di bawah kasur. Senyum merekah di wajahnya, lebih tulis dan lebih lebar dari biasanya. Hatinya masih berdebar, menyadari jika kini dirinya bisa sedekat itu dengan Dean.
Sesaat setelahnya, Ana meraba-raba tempat tidurnya, mencari tas untuk mengambil ponsel yang ada di dalamnya. Ketika akhirnya berhasil, ia membuka ponselnya yang tanpa sadar dijadikan mode silent. Ada beberapa pesan dari Bagas yang menanyakan dia sudah sampai rumah atau belum, pertanyaan rutin yang selalu dia terima setiap harinya setiap pulang kuliah. Sahabatnya itu cukup protective karena tahu Ana hanya hidup seorang diri di Ibu kota.
Kemudian mata Ana membulat saat di dapatinya satu pesan dari Deanova, pesan yang membuat Ana terkekeh geli.
Deanova : Bilangin nanti ke Audrey yang habis di tembak Guntur pake bunga yang super gede, gue engga suka sama cewek yang bajunya kekecilan kaya dia.
Ana tertawa, membenamkan wajahnya di bantal kemudian.
"Deanova lucu banget!"
_______