Deanova memarkirkan mobilnya di parkiran khusus fakultas kedokteran. Setelah mengantar Ana pulang, dia kembali ke kampus karena masih ada kelas hingga sore nanti.
Parah bukan? Dirinya bahkan mau bersusah payah bolak-balik demi memastikan gadis itu pulang dengan selamat. Padahal hari juga tidak mendung, tidak ada tanda-tanda akan hujan. Harusnya juga Dean cukup menyarankan untuk gadis itu agar memakai ojek atau sejenisnya untuk pulang, kenapa juga dia harus menawarkan diri mengantarkan Ana? Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Atau ada apa dengan Ana sehingga dia mau bersusah-payah seperti ini?
Kepalanya lantas menggeleng, mengusir aneh dan ragu yang menjamahnya tadi.
Dean berjalan sembari memainkan kunci mobil di tangannya, sesekali dia tersenyum menanggapi sapaan dari teman-temannya yang melintas di sekitar koridor. Dia jadi teringat saat Ana dengan ramah dan senyum lebar tidak henti menyapa setiap orang yang dia lewati. Gadis itu benar-benar polos dan bersikap apa adanya. Dean suka.
"Dean.."
Dean menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Dia menghela nafas pelan saat mengetahui orang itu adalah Adeline. lagi. Berapa kali dirinya bertemu dengan gadis itu hari ini? Padahal saat mereka masih pacaran mereka bahkan harus berhubungan jarak jauh. Mengesalkan.
"Kamu mau ke kelas kan? Bareng ya." ujar Adeline dengan tersenyum lebar. Gadis itu sedikit berlari, bersikap biasa saja seakan tidak pernah ada pertengkaran sebelumnya.
Dean hanya bergumam sebagai jawaban dan melanjutkan langkahnya.
"Sepulang kuliah ada acara engga? Gimana kalau kita ke cafe yang dulu sering kita datengin?" tanya Adeline tetap mempertahankan senyum lebarnya.
"Gue engga ada waktu," tolak Dean.
Senyum di wajah Adeline sempat hilang tapi itu hanya sebentar karena setelah nya ia kembali tersenyum, meneguhkan hati untuk berhadapan dengan Dean yang sekarang lebih sering mengacungkannya.
"Kalau gitu gimana kalau nanti malem aja? Nanti aku yang ke rumah kamu sekalian mau ketemu Om, Tante sama Dealova juga," ujar Adeline tak putus asa.
Dean menghentikan langkahnya dan menatap ke arah Adeline datar.
"Berhenti bersikap seakan-akan kita punya hubungan baik. Sejak lo ngehianatin kepercayaan gue, nama lo bahkan sangat enggan gue sebut. Dan lagi sebelumnya kita abis ribut, gimana bisa lo bersikap seakan engga ada apa-apa?"
Adeline terdiam. Kali ini dia sudah tidak bisa berpura-pura tersenyum lagi.
"Harus berapa kali aku minta maaf, Dean?" tanya Adeline lirih. Matanya menyiratkan keputusasaan juga luka yang dalam.
"Engga usah minta maaf, karena gue engga akan bisa kasih maaf setulus hati," tandas Dean lalu kembali berjalan.
"Apa semua ini karena cewek yang kamu antar-jemput itu?" Teriak Adeline dengan gusar.
Deanova berhenti, tapi tidak membalikan badan nya.
"Apa karena dia kamu jadi engga mau maafin aku dan ngasih aku kesempatan? Benar karena dia?" tanya Adeline lagi. Dengan suara yang dia turunkan.
Dean tetap membelakangi Adeline, "Jangan libatkan siapapun dalam masalah ini. Ini semua sepenuhnya salah kamu," tukas Dean lalu kembali berjalan tanpa perduli Adeline yang terus berusaha menghentikannya.
*
Suara dering ponsel membuat Deanova yang sedang berbaring di kasur nya terpaksa mendudukkan dirinya. Dia meraih ponsel, mengernyit saat nama Ana terpampang disana.
Dean menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinganya.
"Ya Ana?"
"Hai Deanova, kamu ada di rumah kan?"
Suara Ana terdengar ceria seperti biasa nya.
"Iya, kenapa?" Kening Dean mulai berkerut mendengar pertanyaan Ana.
"Oh sukurlah, aku ada di depan rumah kamu. Kamu bisa keluar sebentar?"
Deanova terkejut lalu berjalan ke arah jendela untuk memastikan bahwa Ana benar-benar ada di luar rumahnya.
Dean menyibak gorden dan matanya langsung menangkap Ana yang sedang berdiri di depan pagar menenteng plastik besar putih dan memegang ponsel yang di dekatkan di telinganya.
"Tungu, gue keluar sekarang," pinta Dean terburu-buru.
Dean lalu memutuskan sambungan telepon dan berjalan keluar kamarnya. Dia sedikit tergesa karena tidak ingin Ana menunggu terlalu lama. Entah apa yang di lakukan gadis itu malam-malam di depan rumahnya.
Mencapai pintu rumahnya, Dena segera membuka kunci dan berjalan menghampiri Ana yang sedang memegangi pagar rumahnya. Wajah polos gadis itu yang tersenyum sungguh lucu, membuat Dean ingin menertawakannya.
"Hai.." Sapa Ana sambil melambaikan tangannya.
Dean membalas senyum Ana lalu berdiri tepat di hadapan gadis yang saat ini mengenakan kemeja gantung berwarna pink dan jeans navy serta tas selempang yang ia sampirkan di bahunya.
"Lo kok bisa tau rumah gue? Dan kenapa malam-malam kesini?" tanya Dean tidak menyembunyikan rasa bingungnya. Meski begitu tangannya tetap bekerja membuka gerbang rumahnya hingga kini dia benar-benar berhadapan dengan Ana.
Ana tersenyum lalu menyerahkan bungkusan di tangannya kepada Dean.
"Ini buat Deanova," ujarnya semangat.
Dean menerimanya dengan tatapan bingung.
"Tadi aku lagi di luar cari referensi tugas, terus aku beli donat buat makan di rumah. Tiba-tiba aja aku keinget Deanova dan beliin juga. Soalnya kan Deanova udah repot-repot antar jemput aku," jelas Ana tanpa diminta.
Deanova tersenyum lalu melongok ke dalam bungkusan yang tadi diberikan oleh Ana.
"Makasih ya. Tapi darimana lo tau rumah gue?"
Masih dengan senyum lebarnya, Ana menjawab. "Oh kalau itu, aku punya temen anak kedokteran yang kebetulan kenal Deanova juga jadi aku minta alamat Deanova dari dia."
Deanova mengangguk sekali. "Kenapa engga langsung tanya gue?"
Ana menyengir lebar, "Surprise!" katanya dengan nada riang.
Membuat senyum geli Deanova terbit. Tidak habis pikir dengan tingkah Ana yang begitu polos.
"Masuk dulu yuk, di luar dingin," ajak Dean pada akhirnya.
Padahal rumahnya sedang tidak ada siapapun, tapi dia tidak mungkin membiarkan Ana tetap diluar ataupun menyuruhnya langsung pulang.
Ana mengangguk semangat tanpa pikir panjang, tidak terlihat di wajahnya raut waspada saat bertandang ke rumah seorang pria.
Dean membuka gerbangnya lebih lebar dan berjalan mendahului Ana yang mengekor di belakangnya. Ketika mereka masuk, Dean sengaja membiarkan pintu utama rumahnya terbuka. Menghindari tingkah setan yang suka iseng jika melihat dua manusia berlainan jenis meskipun sebenarnya Dean juga tidak ada niat berlaku macam-macam.
"Kok rumah kamu sepi banget?" tanya Ana saat kakinya memijak ke dalam rumah bernuansa cream dan coklat itu. Kalem, dan terasa nyaman sekali dengan warna yang tidak menyolok mata.
"Iya, nyokap bokap lagi keluar. Adek gue juga lagi ngerjain tugas di rumah temennya. Duduk dulu An, gue ambilin minum."
Ana mengangguk lalu duduk di atas sofa yang berwarna coklat muda. Matanya terus mengedar memperhatian seisi rumah. Dia tersenyum saat melihat foto keluarga yang terpampang jelas di dinding. Hatinya menghangat menahan rindu pada orang-orang yang wajahnya ada dalam foto itu. Bahkan sekarang Dea sudah tumbuh besar dan cantik, mirip dengan ibunya Dean.
"Itu nyokap bokap sama Adek gue, Dealova," beritahu Dean yang sudah duduk di samping Ana setelah meletakan dua gelas orange juice di atas meja.
Tatapan mata Dean sama memandangi foto keluarganya yang sengaja dicetak besar di ruang tamu. Foto itu diambil saat Dean lulus SMA.
Ana menoleh merubah duduknya menjadi menyamping menghadap Dean.
"Adik kamu cantik banget," puji Ana tulus.
Dean tersenyum, sedikit tertawa"Tapi rese," sanggahnya.
Ana terkekh kecil lalu mengambil satu gelas di hadapannya.
"Aku minum ya," izinnya.
Dean mengangguk dan menatap Ana yang sedang meneguk air dalam gelas hingga tinggal setengah. Kemudian dia tertawa kecil.
"Haus?" tanya Dean dengan nada jenaka.
Tanpa malu, Ana mengangguk. "Iya. Dari luar komplek ke rumah Deanova cukup jauh," akunya jujur.
Deanova menaikan alisnya.
"Lo emang naik apa kesini?"
Ana mendongak menatap Dean lalu tersenyum.
"Dari toko donat kesini naik ojek online tapi aku berhenti di depan gerbang komplek dan jalan kaki kesini."
Deanova sedikit terkejut, pasalnya rumahnya ini terletak hampir di ujung komplek yang sudah jelas lumayan jauh dari gerbang komplek depan.
"Kenapa engga nelpon gue pas di depan? Gue kan bisa jemput."
Ana terkekeh lalu menepuk bahu Deanova pelan.
"Aku kuat kok, jalan segitu mah engga masalah."
Deanova terdiam, matanya melirik tangan Ana yang masih berada di bahunya. Gadis itu melakukannya tanpa beban, seakan itu sudah biasa ia lakukan. Anehnya, Dean tidak berasa keberatan sama sekali.
Ia terdiam, memandangi wajah Ana yang sedang asik memandangi foto keluarganya lagi. Tangan gadis itu kini sudah turun dari pundaknya, berganti mengukir pola abstrak di atas pahanya.
Dari awal mereka bertemu beberapa hari yang lalu, Dean sudah merasa aneh. Karena biasanya dia tidak pernah terlalu peduli dengan orang lain yang tidak dekat dengannya, tapi melihat Ana yang kesulitan, yang ketakutan, ada perasaan ingin memastikan bahwa gadis ini baik-baik saja. Perasaan ingin melindungi yang terasa tidak masuk akal karena nyatanya mereka baru kenal beberapa hari saja.
"Ana.." panggil Dean pelan.
Ana yang tadi sedang sibuk memandangi seisi rumah langsung menoleh ke arah Dean.
"Ya?"
Padahal Ana sudah menoleh padanya, namun Dean malah tidak tahu apa yang ingin dia katakan. Kehadiran Ana yang tiba-tiba entah mengapa tidak membuatnya terganggu, bahkan hingga mengijinkan wanita ini memasuki kediamannya yang tidak banyak orang tahu kecuali teman satu fakultas yang pernah bekerja kelompok atau terlibat kegiatan bersama dengannya.
"Kita pernah ketemu engga sih sebelumnya?" tanya Dean pada akhirnya.
Dia sangka, Ana akan tertawa seperti biasanya. Namun yang terjadi, gadis itu justru sedikit terhenyak sebelum kemudian terpekur cukup lama.
Dean merasakan ada yang tidak beres dari respon gadis itu. Padahal jika saja Ana tertawa seperti sewajarnya dan menganggap pertanyaan Dean sebagai lelucon, pastilah dirinya akan percaya karena toh dia juga tidak ingat pernah bertemu dengan Ana sebelumnya. Tapi sekarang...
"Beneran kita pernah ketemu sebelumnya?" ulang Deanova.
Dan dia semakin dibuat bingung saat Ana justru tersenyum kecil sambil menundukkan kepala, terlihat berusaha menghindari bertatapan mata dengannya.
***