"An?"
Dean mengubah posisi duduknya, satu kaki dia biarkan nasik ke atas sofa. Kepalanya miring, berusaha menatap Ana yang menunduk.
"Kita beneran pernah kenal? Dimana?"
Pada detik yang entah ke berapa, Ana akhirnya mengangkat wajah. Senyum lebar gadis itu sudah kembali, namun ada yang lain dengan tatapan matanya.
"Kita satu kampus, dan aku pernah beberapa kali ke FK. Aku tahu kok kita pernah beberapa kali papasan, tapi kan sebelumnya kamu belum kenal aku, jadi cuma aku yang tahu kamu tapi kamu engga tahu aku," jawab gadis itu.
Dean terdiam untuk beberapa saat, keningnya berkerut.
"Masa sih?" tanyanya.
Ana mengangguk, "Heem."
Pada akhirnya Dean ikut mengangguk, senyumnya timbul selebar senyum yang Ana punya.
"Sekarang udah kenal, jadi lo udah bisa nyapa gue kalau ketemu di FK ya?"
Tertawa, Ana mengangguk. Gadis itu melirik pada gelas yang ada di atas meja, gelas yang sudah berembun karena didiamkan terlalu lama.
"Aku boleh minum lagi kan?" tanyanya.
Kali ini Dean yang tertawa, "Boleh lah. Gue kan ngambilin minuman buat lo," katanya.
"Hehe."
Lantas ruangan itu menjadi sunyi. Ana hanya terus menatap ke arah ruangan tempat mereka sekarang dengan gelas yang masih menempel di mulutnya. Sedangkan Dean hanya duduk bersandar begitu saja.
"Deanova, aku pulang ya," pamit Ana. Tangannya memakai kembali tas yang tadi dia lepas.
"Sekarang?"
Ana mengangguk, "Udah malam. Takut engga ada ojek," balasnya.
"Gue anterin lo pulang." Ucap Dean.
"Jangan, engga usah. Kamu kan pasti capek juga," tolak Ana langsung.
"Ini udah malem, An, engga baik lo balik sendiri. Ayo gue anter," ujar Dean kekeuh.
Ana menghela napas pelan sebelum kemudian akhirnya mengangguk. Mengiyakan ucapan Dean.
Deanova tersenyum puas, meraih kunci mobilnya di laci dekat meja telepon lalu kembali ke hadapan Ana dan mengajak gadis itu keluar.
Tapi belum sempat mencapai pintu, langkah mereka berdua terhenti saat melihat seseorang berdiri di ambang pintu.
"Dean.."
Deanova terdiam, sedikit terkejut. lain hal nya dengan Ana yang menatap antara Dean dan wanita di hadapannya bergantian.
"Kamu ngelarang aku dateng, karena cewek ini juga mau dateng?" tuduh Adeline.
Pertanyaan yang menyudutkan Dean itu hanya bisa membuat Dean tertawa sinis. Adeline sama sekali tidak punya hak mempertanyakan tentang dirinya, apalagi jika melibatkan Ana.
"Jangan drama, Adeline. Gue ngelarang lo kesini karena emang gue engga mau ketemu sama lo. Dan kayaknya tadi siang gue udah jelas-jelas bilang, jangan libatin orang lain dalam masalah antara gue dan lo. Juga perlu lo ingat, kita engga ada urusan apapun lagi."
Menjadi satu-satunya orang yang tidak mengerti tentang keadaannya, Anyelir merasa bahwa dia perlu memberi ruang pada dua orang di depannya.
"Anu...Deanova, aku pulang sendiri aja engga apa-apa kok. Kamu temenin aja tamu kamunya," sela Ana. Matanya mengedip polos ke arah Adeline yang menatapnya tidak suka.
Deanova langsung menoleh ke arah Ana dengan tatapan tidak setuju.
"Lo pulang sama gue, Ana! Kan tadi kita udah sepakat."
"Iya tapi kan__"
"Sory gue harus nganter Ana pulang. Jadi lebih baik lo juga pulang, ini udah malem," tukas Dean kepada Adeline yang masih berdiri dengan tatapan kecewa ke arah Dean.
Gadis itu menolak menyingkir dari tengah pintu, membuat Dean dan Ana kesulitan untuk keluar.
"Kenapa kamu jahat banget sama aku?" tanya Adeline dengan suara tercekat.
Ucapan Adeline membuat Ana refleks memejamkan mata. Ada sebuah emosi yang muncul dalam dirinya, dia tidak rela mendengar Deanova di labeli dengan sifat itu. Tapi emosinya luruh saat tangannya mendadak terasa hangat, terangkum dengan sangat manis oleh tangan Dean.
"Kalau lo mau tau jahat itu kayak gimana, lo coba ngaca dan inget apa yang lo lakuin ke gue dulu."
Setelah mengatakan itu, Deanova langsung menarik tangan Ana dan bergegas memasuki mobilnya. Dia bahkan membiarkan Adeline yang masih berdiri mematung di depan pintu rumah nya.
"Deanova, cewek itu masih disana," ujar Ana cemas saat mobil mulai melaju keluar dari rumah Deanova. Pintu rumah Dean bahkan masih terbuka, hanya pagarnya saja yang sempat ditutup oleh Dean.
Namun pertanyaan gadis itu hanya terbawa angin yang bahkan tak tampak, diabaikan oleh Dean.
Fokus pria itu hanya pada jalanan sepi di depannya, tatapan matanya tajam, beberapa kali alisnya berkerut dengan ekspresi dingin.
"Deanova, aku tau kamu ada masalah sama cewek itu, tapi kamu engga bisa bersikap seperti tadi. Aku juga wanita, di abaikan itu sakit apalagi oleh orang yang kita anggap penting."
Dean tertawa sinis, "Lo engga tahu apa-apa, An."
"Iya! Aku memang engga tahu masalah kamu sama dia apa. Tapi aku tahu gimana perasaan dia sekarang. Aku pernah merasakannya," tukas Ana sedikit keras. Kemudian gadis itu sadar dengan apa yang dia lakukan, dia menarik napas sebelum kemudian membuang pandangan ke luar jendela.
Laju mobil yang dikendarai oleh Dean sempat tidak stabil. Rupanya pria itu sedikit terganggu dengan apa yang diucapkan oleh Ana.
Jeda yang mengerikan terjadi di dalam kotak besar beroda empat itu, sebelum kemudian Dean menarik napas begitu berat sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kemudi.
"Dia pacar gue dulu," ujarnya. Berniat membuka kembali cerita tentang dia dan Adeline kepada Ana yang notabene nya masih orang asing yang baru beberapa hari dia kenal saja.
"Pertama kali gue kenal dia itu pas gue baru pindah ke Jakarta, kebetulan dia tetangga gue. Dia anak yang baik dan menyenangkan, dia juga selalu bersikap manis di depan gue. Keluarga gue sama keluarga dia udah saling kenal, meskipun keluarga dia beberapa kali ngebahas hubungan gue sama dia tapi anehnya keluarga gue seakan selalu mengalihkan topik--" Deanova menjeda dan melirik ke arah Ana yang sekarang tengah menatapnya juga.
"--puncak nya saat kami sudah sama-sama lulus, tanpa sepengetahuan gue dia ternyata udah diterima di universitas di Singapura. Gue pun dengan terpaksa ngelepas dia karena dia janji akan pulang setiap semester. Tapi janji yang keluar dari mulut engga sesuai kenyataan, baru 3 bulan dia disana dia udah susah dihubungi. Dan ternyata disana dia malah punya cowok lain bahkan tinggal satu apartemen sama cowok itu."
Ana terkejut mendengar perkataan Dean. Rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya karena sudah berkomentar tanpa tahu apa masalah Dean dengan wanita itu.
Tanpa sadar, tangannya bergerak, menyentuh punggung tangan Dean yang ada di atas persneling.
"Maaf karena aku engga tau, aku pasti terkesan sok tahu dan ikut campur," lirihnya.
Dean menoleh, beberapa saat matanya melirik tangan Ana yang tengah menangkup tangannya. Dia tersenyum dan membalik posisi tangannya menjadi dia yang menggenggam tangan Ana, membiarkan posisi itu bertahan hanya beberapa detik saja.
"Engga apa-apa, itu udah lama. Gue juga udah engga ada rasa sama dia, tapi gue cuma benci sama kebohongannya dulu," balas Dean terdengar santai.
Gadis yang duduk di sebelahnya itu tersenyum, sembari mengangguk mengerti.
Ternyata tanpa dia ketahui, Deanova sudah pernah mencintai wanita lain. Ada rasa sesak dalam dirinya, namun dia sadar betul jika tidak ada yang bisa disalahkan dalam kejadian ini. Meski takdir sekalipun.
"Aku harap depannya kamu sama dia bisa benar-benar selesaikan masalah. Mungkin dia benar-benar menyesal, karena tadi dia kelihatan terluka banget pas kamu tinggalin begitu aja," ucap Ana. Dia agak sedikit ragu, takut jika perkataannya salah dan malah membuat Dean tidak nyaman.
Namun yang dia syukuri adalah karena Dean akhirnya mengangguk, menyunggingkan senyum simpul yang membuat suasana diantara mereka tidak setegang sebelumnya.
_____
"Kamu dari mana?" tanya Papanya saat Dean baru sampai di rumah usai mengantar Ana.
Dean lebih dulu menaruh kunci mobilnya di tempat yang sama dengan sebelumnya.
"Habis dari rumah temen, Pa. Tadi dia mampir kesini terus karena udah malem jadi Dean anterin dia pulang," jawab Dean jujur sembari duduk bersandar di sofa, bergabung dengan Papa dan Mamanya.
"Perempuan?" tanya Mamanya kali ini.
Dean mengangguk sambil memijit pelan pelipisnya. Rasa pusing masih menggelayuti kepalanya karena belakangan Adeline selalu muncul di manapun dia berada, seakan-akan gadis itu memiliki semua jadwal kelas Dean sehingga bisa muncul kapan pun saat Dean berada di luar kelas.
Kedua orang tuanya mengernyit bingung, pasalnya semenjak putus dari Adeline Deanova tidak pernah lagi dekat dengan wanita manapun.
"Siapa? Temen satu fakultas?" tanya Mamanya lagi semakin penasaran.
Deanova menggeleng.
"Anak Fakultas Sastra. Mama sama Papa engga akan kenal, Dean juga baru beberapa hari ini kok kenal ya," balas Dean.
Mama dan Papa nya hampir kompak mencibir.
"Ya kan kita cuma mau tahu aja. Siapa tahu nantinya malah jadi lebih dari teman."
Mendengar ucapan Mamanya, Dean memutar bola matanya malas sebelum kemudian dia menyengir lebar saat Papanya menegurnya dengan tatapan mata.
"Engga ada hubungan yang begitu, Ma. Dia orang yang baik makanya Dean mau temenan sama dia, dan Dean engga mau kalau nantinya malah jadi canggung kalau ada perasaan perasaan lain," sangkal Dean.
Kedua orang tuanya tampak mengangguk sebelum kemudian Papanya kembali bicara dengan nada sebal.
"Tapi gimana bisa kamu ninggalin rumah tanpa dikunci? Kalau pintunya cuma ditutup begitu doang, maling bisa masuk, Dean," omelnya.
Dean meringis, bahkan Ayahnya akan lebih marah dari ini kalau saja ayahnya itu tahu bahwa Dean bahkan meninggalkan rumah dalam keadaan pintu yang masih terbuka. Mungkin pada akhirnya Adeline yang menutup kan pintu rumahnya itu.
"Maaf, Pa. Soalnya aku buru-buru. Temenku ini kosannya punya jam malam, jadi aku harus cepet nganterin dia pulang biar dia masih bisa masuk," alibinya tidak sepenuhnya berbohong.
Kemudian karena tidak ingin lebih ditanya-tanyai lagi, Dean memutuskan bangun dari duduknya.
"Di kulkas ada donat, Ma, Pa. Dari temenku tadi, nanti sisain yang almond buat aku ya! Kasih tahu ke Dea juga jangan makan yang Almond," ujarnya sebelum benar-benar meninggalkan ruang tamu.
_______