My Prince - 22

1200 Words
Malam itu, setelah Arga mengungkapkan identitasnya pada William, dia merenung sendirian di bawah atap kamarnya, menyesal atas pengakuannya pada sang raja mengenai siapa dirinya yang sebenarnya. Padahal Arga ingin merahasiakannya lebih lama lagi, tapi kenapa mulutnya ini tak bisa direm saat itu. Benar-benar mengesalkan. Arga menggigit bibirnya hingga berdarah karena jengkel, dia memandangi langit malam yang menghitam dengan perasaan gundah. Angin malam yang dingin menghempaskan rambut pirangnya seiringan dengan pepohonan yang bergoyang, matanya begitu sayu bagai kucing yang lemas karena kelaparan, dan tanduknya terlihat bergetar seperti gedung yang terkena gempa bumi. Sudah terlambat, semuanya sudah terbongkar. Tidak ada lagi alasan untuk merahasiakan apa pun pada orang lain, dia sadar, mengungkapkan identitasnya pada seorang raja sama saja dengan berbicara pada orang banyak, karena sejatinya, William pasti akan membocorkan rahasianya pada para putrinya, lalu, para putrinya pun memberitahukan informasi itu pada pembantu-pembantunya, dan air akan terus mengalir hingga informasi itu tersebar sampai ke seluruh negeri. Arga semakin kencang mencengkram seprai kasurnya, suara-suara serangga yang memecahkan keheningan malam tidak membuat suasana hatinya menghangat, sebaliknya, hatinya semakin membeku memikirkan semua itu. Walaupun Arga tidak memberikan secara detail bahwa dia itu adalah iblis dari neraka pada William, tapi tetap saja, dia tidak ingin masa lalunya tersebar begitu saja walau hanya samar-samar sekali pun. Mengenai Willy, bocah itu kini sedang tenggelam dalam mimpinya di samping Arga yang duduk melamun sendirian, seperti biasa, sahabat karibnya selalu tidur paling awal di kamar itu, membuat suasana yang biasanya berisik oleh ocehannya menjadi sepi seperti di dalam gua. Tapi, kesepian yang menjamur ini cocok untuk Arga yang pikirannya sedang gelisah itu. "Segelas s**u mungkin akan mencairkan kegelisahanku. Baiklah, aku akan membuatnya tanpa mengandalkan Willy lagi." Sejenak, Arga berpikir kalau segelas s**u mungkin akan membuat hatinya membaik, walau dia tahu kalau dirinya itu tidak terlalu suka dengan aroma s**u. Menggeserkan selimut yang sedari tadi memeluk pahanya, lelaki itu mendaratkan kedua kakinya ke lantai yang dingin, melangkah keluar kamar menuju dapur yang jaraknya enam puluh meter dari kamarnya. Ini mungkin akan menjadi jalan-jalan malam untuk dirinya yang sedang galau. Arga berjalan sendirian di lorong gelap nan sepi, suara langkahnya terdengar begitu jelas dan menyeramkan, angin malam yang berhembus seakan mengusap kulitnya, jendela yang tiba-tiba terbuka di sampingnya membuat lelaki itu terkejut, menoleh dan mengerutkan keningnya, mungkin karena angin--pikirnya, lalu ia melanjutkan langkahnya dengan santai. Setelah sampai di dapur, ia mendorong kakinya menuju mesin otomatis penghasil s**u. Tidak perlu repot-repot menaburkan bubuk s**u ke dalam gelas, Arga hanya mengambil sebuah gelas, kemudian ia letakkan gelas itu di bawah mesin otomatis tersebut dan setelah jarinya menekan tombol biru di mesin itu, mendadak keluarlah cairan kental berwarna putih yang meluncur ke dalam gelas. Selesai memenuhi gelasnya dengan cairan s**u, Arga mendudukkan pantatnya di kursi makan, meletakkan gelas tersebut di meja, kemudian dia memandangi suasana dapur yang hening ini, matanya menyoroti ke segala arah, begitu bosan, perhatiannya langsung kembali ke gelas yang ada hadapannya. Mengangkat gelas tersebut, Arga langsung meneguk cairan yang masuk ke dalam tenggorokannya dengan nikmat. Aroma s**u yang dibencinya kini sedang menyerang pernapasannya, buruk untuk dicium, Arga cepat-cepat menjauhkan gelas yang telah kosong itu ke permukaan meja yang mengkilap. Dia tersenyum tipis menatap pantulan dirinya sendiri di meja. "Aku baru ingat kalau besok adalah hari ulang tahunku." *** Keesokan harinya, ketika matanya dibuka, Arga kaget karena tiba-tiba saja dirinya sedang berada di kamar Putri Emilia, dan dia juga tengah tidur seranjang dengan gadis berambut hitam itu, keadaan tubuhnya juga sangat mengejutkan, setelah dicek, ternyata dia telanjang bulat. Arga tak tahu Emilia telanjang atau tidak di sampingnya, tapi setelah tahu dirinya telanjang, itu sudah membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Kepalanya langsung diterjang oleh banyak pertanyaan dari hatinya. Mengapa dia bisa di kamar Emilia? Siapa yang membawanya ke sini? Mengapa tubuhnya telanjang bulat? "Selamat pagi, Arga." Tiba-tiba, pikirannya langsung pecah saat mendengar suara Emilia yang menyapanya dari samping, kepalanya diputar sedikit dan dia melihat kalau gadis itu sedang tersenyum padanya dengan senyuman nakal. "Bagaimana semalam? Apakah tubuhku nikmat?" "Se-Semalam? Ap-Apa yang terjadi sewaktu malam? Me-Mengapa aku bisa ada di kamarmu? Dan, mengapa aku telanjang bulat!?" Melihat Arga kebingungan, membuat Emilia langsung memeluk tubuh kekar lelaki itu dengan nakal. "Sudah-sudah, simpan dulu pertanyaan itu untuk nanti, bagaimana kalau sekarang kita mandi bersama, sayang?" Mata Arga langsung melotot, keterkejutannya semakin menjadi saat mendengar kalau Emilia menyebut dirinya dengan sebutan 'sayang'. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Ini benar-benar aneh sekali. Apakah Arga harus berteriak pada Emilia untuk menjelaskan apa yang terjadi di sini? Ini membingungkan. Dia tidak ingin hal-hal yang buruk menimpanya, sudah cukup dengan masalah kemarin, dia tidak mau menghadapi masalah yang lebih berat lagi. "Menjauh dariku, Emilia!" Mendorong tubuh Emilia, Arga menggeser bokongnya untuk berjauhan dengan gadis itu, dia tidak bisa keluar dari selimut ini karena dia sedang telanjang bulat, tidak mungkin dia memperlihatkan seluruh tubuhnya pada seorang putri di sini. "Eh? Mengapa kau terlihat marah, Arga? Apakah kau membenciku?" Meneguk ludahnya, Arga menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku minta kau menjelaskan semua ini padaku. Seingatku, aku tidak menghabiskan malam di kamarmu. Seharusnya aku berada di kamarku! Atau paling tidak, aku ketiduran di meja makan, tapi mengapa tiba-tiba--" "b******n!" Emilia tiba-tiba berteriak, membuat ucapan Arga terpotong. "Setelah kau menikmati tubuhku dan berjanji untuk menikahiku, sekarang, kau malah membuat dirimu pura-pura lupa dengan kejadian semalam? Aku tidak akan mengampunimu jika kau tidak menepati janjimu, Arga!" "Ja-Janji!? Apa itu? Aku benar-benar tidak paham dengan omonganmu, Emilia? Lagi pula, aku juga tidak pernah ingat kalau tubuhmu telah kunikmati! Apa yang harus kukatakan pada Raja William jika beliau tahu akan hal ini, bodoh!" PLAK! Sebuah tamparan pada pipi Arga langsung membuat lelaki itu terdiam untuk sesaat. Air mata Emilia menetes-netes. "Aku tidak menyangka kalau kau sebrengsek ini, Arga." Suara Emilia berdengung-dengung di telinganya hingga kepalanya serasa diputar-putar seperti kincir angin. Ini membuatnya pusing. Setelah itu, Arga merasa tubuhnya digoyang-goyangkan oleh seseorang dan secara perlahan, ia membuka matanya dengan napas menderu bagai orang yang baru dikejar-kejar seekor anjing. "Mengapa kau bisa tidur di sini, Arga?" Setelah menyadari kalau orang yang menggoyangkan badannya adalah Willy, Arga tersenyum bahagia. Syukurlah, ternyata yang barusan dia alami bersama Emilia hanyalah mimpi belaka, sungguh, jantung Arga serasa copot jika kejadian di alam mimpi menjadi kenyataan. "Hahaha, sepertinya aku ketiduran setelah menghabiskan segelas s**u di sini. Ngomong-ngomong, selamat pagi, Willy." Arga malah tidur lagi sesudah mengucapkan hal itu, membuat Willy jengkel pada kelakuannya. "Hey-hey-hey-hey-hey! Mengapa kau tidur lagi! Bangun-bangun-bangun-banguuuuun!!" *** "Laila, apakah hari ini aku boleh keluar?" tanya Agnes setelah dirinya duduk di kasur dengan menggerakkan lengannya yang kemarin patah oleh Willy. "Sepertinya lenganku sudah baikan." Laila yang sedang beres-beres di laboratorium segera menoleh pada Agnes dan menjawab pertanyaan itu dengan tersenyum manis. "Tentu saja, Kak Agnes sudah boleh keluar, kok. Lagipula lengan Kak Agnes sudah pulih seperti semula setelah kuperiksa semalam." "Terima kasih, Laila. Semoga masa depanmu cerah." Dan Agnes pun segera meninggalkan laboratorium itu dengan perasaan yang bahagia. Lengannya sudah sehat, dia jadi tidak sabar ingin melanjutkan misinya yang tertunda kemarin. Hatiku sepenuhnya sudah siap untuk memberikan ramuan spesialku pada Arga. Kuharap tak ada lagi manusia-manusia terkutuk yang menghalangiku. TO BE CONTINUED ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD