My Prince - 20

1640 Words
Matahari sudah menyingsing hingga ke puncak kepala, siang hari yang begitu panas menyinari tiap lekuk Kerajaan Vanterlock, istana yang berlokasi di atas sebuah gunung membuat panasnya matahari tidak terasa karena tertutupi oleh kesejukan pegunungan. Dari luar, Istana Vanterlock terlihat seperti istana-istana lainnya yang damai dan tentram, tapi jika kau masuk ke dalamnya, semua yang kau duga akan terbalik dari kenyataannya. Istana itu selalu mendapatkan masalah setiap harinya. Dari peramal yang mengatakan akan ada kiamat, munculnya seorang lelaki bertanduk, ganasnya para putri, terlukanya seorang Ratu, pengusiran seorang putri, sampai pertengkaran antara dua sahabat di lorong istana. Dua pemuda yang berdiri saling berhadapan itu menampilkan raut muka yang berbeda, satunya menyeringai, dan yang satunya lagi memberengut kesal. Mereka adalah Arga dan Willy, sahabat yang sudah sangat dekat dari bangku sekolah hingga dua jam yang lalu, dan sekarang, sepertinya hubungan mereka sedang memburuk. Arga tidak mengira kalau tujuan Willy untuk datang ke istana ini adalah membunuh para putri. Memang, Arga sudah hafal sifat brutal sahabatnya itu, tapi dia kira Willy sudah berubah seiring bertambahnya usia, tapi nyatanya, lelaki pendek itu masih seperti dulu. Jangan pernah tertipu dengan sifat Willy yang lucu dan berisik, dibalik sifat manisnya, dia menyimpan jiwa bengisnya dari orang lain dan hanya Arga yang sudah mengetahuinya. "Jika kau berbicara lagi ... satu putri akan terbunuh dalam tiga detik." ucap Willy dengan menyeringai, dia sudah berhasil mengendalikan Arga, buktinya, lelaki bertanduk itu langsung menuruti perintahnya dengan patuh. Lorong istana terasa sangat menyeramkan saat Willy menampilkan seringaian jahatnya pada Arga, sinar matahari samar-samar masuk ke dalam celah-celah jendela. Debu-debu yang beterbangan di sekeliling mereka bagaikan bara api yang berkobar, suara angin yang menggoyangkan pepohonan terdengar dari dalam. Gorden jendela menari-nari terhempas angin, membuat suasana yang sepi semakin mengerikan. Menghela napasnya, Arga mencoba untuk mendongakkan kepalanya, menatap bola mata hijau milik Willy dengan serius. "Ada apa? Kau mau mengatakan sesuatu? Sayang sekali, tapi jika kau bersuara, lima dari mereka akan terbunuh satu dalam tiga detik, dan aku sedang tidak bermain-main, Sobat." Aku benci ini. batin Arga jengkel, dia tahu pasti akan jadi seperti ini jika Willy sudah menampilkan sebuah seringaian, dan ancaman yang dia katakan memang bukan bualan semata. Dulu, Willy memang selalu mengancam targetnya untuk tidak berbicara jika orang yang mereka sayang tak terbunuh dalam tiga detik, tapi banyak yang tak mematuhi perintahnya dan alhasil, keluarga dari targetnya terbunuh satu per satu. Jika kalian penasaran dengan cara apa Willy bisa membunuh beberapa manusia dalam tiga detik padahal dia sedang berada di lokasi yang berbeda, jawabannya adalah, matanya. Mata Willy telah terhubung ke berbagai benda di seluruh tempat hingga dia bisa melihat siapa pun dan di mana pun menggunakan matanya, dan bola matanya pun bukan hanya berfungsi untuk melihat saja, di dalam matanya, dia memiliki sebuah senjata mungil seperti jarum yang dapat dilesatkan ke target yang diincarnya dengan kecepatan super cepat. Willy tidak menggunakan sihir apa pun, karena dia sebenarnya bukanlah seorang manusia, melainkan sebuah robot buatan manusia, dan siapa yang membuatnya? Itu masih menjadi misteri sampai sekarang. Namun, tetap saja Willy tidak bisa menggunakan kemampuan istimewanya setiap saat karena efeknya akan membuat tubuhnya merasakan sakit di sekitar perut. Dia selalu menggunakan kemampuannya hanya dalam tiga detik setiap hari. "Willy," Karena sudah tak tahan lagi, akhirnya Arga mengeluarkan suaranya walaupun dia tahu resikonya. "Hentikan ini, aku tahu kau bukanlah orang jahat. Jadi tolong, hentikan ancamanmu." "Hm?" Willy menaikan alisnya serentak. "Hey, Sobat. Aku sudah menembak Putri Pirang di dalam kamarnya, tapi mengapa tembakanku meleset, ya?" Tersentak, Arga tak percaya kalau Willy telah gagal menembak seorang putri, tapi mendengar sahabatnya berkata putri rambut pirang, itu artinya lelaki pendek itu sedang mengintai Victoria. Bisa gawat jika Willy mengulang tembakannya lagi, karena itulah, Arga cepat-cepat bersuara. "Ada sesuatu di keningmu, Willy." Ketika Willy langsung mengarahkan bola matanya ke keningnya, Arga langsung memukul leher bocah itu hingga pingsan, kemudian ia gendong tubuhnya untuk dibawa ke kamar. "Sekarang, aku harus segera memperbaiki pengaturannya." Rupanya Arga berniat ingin mengubah pengaturan di tubuh Willy. Karena sahabatnya merupakan sebuah robot, Arga bisa mengatur tubuh Willy menjadi seperti yang dia inginkan dengan membuka sistem pengaturannya yang ada di perut bocah itu. *** Sekarang, di kebun pribadinya, Charlotte sedang duduk sendirian di tenda yang sebelumnya merupakan pestanya. Dia termenung mengingat kekacauan yang terjadi tadi siang, itu benar-benar menyebalkan. Lelaki pendek yang Arga bawa telah membuat pestanya berantakan sampai akhirnya semua tamu undangannya pergi meninggalkan hidangan yang telah ia sediakan. Charlotte sedih. Dia meremas gaun merahnya dengan merana. Suara berbagai binatang dari dalam kandang menggema menyertai tempat ini yang begitu sepi, sudah tak ada lagi seseorang di sini selain dirinya, semua kakaknya telah pergi, dan Arga pun sudah menyingkirkan serangga itu dari kebunnya. Kebahagiaan yang Charlotte kira akan menyelimuti kebunnya malah menjadi petaka yang menyakitkan. Semua gara-gara lelaki yang bernama Willy itu, tidak, mungkin Arga juga termasuk karena dialah yang telah membawa sumber masalah ke pestanya. "Lihat saja. Aku akan membuat kalian mendapatkan balasan yang lebih dari yang kualami ini, Arga, Willy." Charlotte meremas gaunnya sampai kusut. *** "Ah, akhirnya kau sudah sadar, Kak Agnes!" Laila menjerit senang melihat kakaknya membuka matanya. Kini, mereka berada di laboratorium milik Laila, di sana hanya ada mereka berdua, sementara tiga putri lainnya kelihatannya tidak ada yang mau membesuk Agnes. Entah karena ada keperluan lain atau memang malas, membuat Laila kecewa pada mereka. "Apa lengan kananku baik-baik saja, Laila?" tanya Agnes dengan suara yang begitu lirih, kelihatannya gadis keriting itu sudah tahu kalau dirinya akan dibawa ke sini. Agnes juga merasa kesal mengingat lengannya terluka oleh lelaki pendek yang dibawa oleh Arga, jika lengan kanannya patah, apa yang akan dia lakukan untuk memberikan ramuan spesial pada lelaki bertanduk itu? Tidak mungkin dia memberikannya dengan tangan kiri, kan? Itu sangat tidak sopan. Sepertinya niat Agnes yang ingin memberikan ramuan yang dia racik semalaman pada Arga harus dilupakan dulu karena kondisi lengan kanannya yang tak memungkinkan. Menunjukkan raut kesedihan di wajahnya, Laila mengusap-usap rambut keriting Agnes dengan lembut. "Tidak apa-apa, lengan Kakak baik-baik saja, kok. Aku sudah menyembuhkannya, mungkin butuh seminggu penuh untuk bisa pulih sepenuhnya, dan selama Kakak menginap di sini, aku yang akan menemanimu." "Apa sampai harus menginap segala, ya? Padahal aku lebih nyaman jika berbaring di ranjang kamarku." "Tidak boleh, Kakak. Karena masih ada beberapa bagian yang harus aku urus pada lengan Kakak, dan itu memerlukan alat-alat yang ada di sini, jika Kakak lebih nyaman dirawat di dalam kamarmu, aku bisa kesusahan untuk membawa alat-alat tersebut ke sana. Jadi, tidak apa-apa, 'kan?" Karena Laila membujuknya begitu lembut, Agnes terpaksa mengiyakan pertanyaan itu, walaupun gadis keriting itu sangat benci pada aroma obat-obatan yang menyelimuti laboratorium ini. *** "Guru! Apakah pestanya sudah selesai? Mengapa cepat sekali?" Ketika Emilia kembali ke ruangan balet, dia langsung diserbu oleh murid-muridnya dengan berbagai pertanyaan mengenai pesta tersebut, dia menjongkokkan badannya untuk setara dengan mereka lalu berkata, "Pestanya seru sekali, lho. Hanya saja, aku merindukan kalian, jadi aku di sana hanya sebentar, karena aku tidak mau membuat kalian menunggu. Ayo, kita latihan lagi!" Mendengar ucapan Emilia membuat murid-muridnya tersenyum bahagia dan segera berhamburan ke tengah ruangan untuk berdiri di posisi masing-masing, lalu mereka mulai melatih tubuhnya dalam menari balet. Emilia senang para muridnya sudah berkembang sejauh ini, mereka adalah anak-anak dari para rakyatnya, di sana mereka berpadu dalam harmoni, tidak mempermasalahkan keturunan bangsawan maupun rakyat biasa, karena Emilia selalu mengajarkan pada mereka untuk menghargai satu sama lain. Padahal Emilia sendiri selalu jijik jika berhadapan dengan rakyat jelata, tapi seperti biasa, topengnya selalu dipakai untuk menjadi putri yang baik. Itulah Emilia. *** "Eh? Kenapa perasaanku mengatakan kalau saat ini ada seseorang yang mengintaiku? Tapi ini kan kamarku? Seingatku aku selalu memenuhi kamarku dengan pengamanan yang ketat, tapi mengapa tiba-tiba perasaanku berkata demikian?" Victoria duduk di atas ranjangnya, rambut pirangnya digerai, lengannya menyisir helai demi helai bulu boneka panda yang ia pangku. Wajah Victoria terlihat begitu resah, dia jadi sedikit ketakutan sendirian di dalam kamarnya. Menyedihkan sekali, tapi jika dia keluar kamar, apa yang akan dilakukannya? Main ke dalam kamar saudaranya? Itu tidak mungkin, walaupun hubungannya dengan mereka sudah membaik, tapi perasaan canggung selalu muncul jika Victoria berpapasan dengan mereka. "Lebih baik aku ke balkon saja agar rasa takutku hilang setelah menikmati pemandangan indah." Dengan berlari kecil, Victoria membawa boneka pandanya untuk berdiri di balkon kamarnya, matanya menyoroti ke hutan lebat yang ada di luar istananya, dia ingat pernah keluar bersama Arga dan bermain di rumah pohon. Entah mengapa Victoria tersenyum jika mengingat kejadian itu, dia jadi rindu pada sosok Arga. Tapi mendadak mukanya langsung cemberut ketika mengingat wajah Willy. "Lelaki Sialan!" geram Victoria dengan mencekik boneka pandanya sampai mengempis. "Aku akan memenggal kepalamu!" *** "Selesai sudah," Arga mengelap keringatnya ketika dia berhasil mengubah pengaturan sifat Willy. Dia menutup perut Willy yang membuka dan menekan tombol mungil di d**a lelaki itu untuk menghidupkan kembali sahabatnya. Tiga detik kemudian, suara berisik dari mulut Willy keluar. "E-eh? Ada di mana aku? Kau Arga, kan? Hey-hey-hey-hey! Tunggu! Kurasa aku tadi sedang ada di depan rumahku, memarahi orang-orang yang menganggapmu mati, dan aku punya niat untuk datang ke istana besok pagi, tapi mengapa aku tiba-tiba ada di sebuah kamar denganmu? Jangan-jangan kau menculik dan memperkosaku, ya?" Yup, Arga telah melenyapkan ingatan Willy yang berada di sini dan membuat ingatannya hanya sampai di saat dia belum datang ke istana ini. Agar niat jahatnya pun telah dilupakannya. Sekarang, Arga sudah lega. "Hahaha! Maaf-maaf, tapi sebenarnya sekarang kau sudah ada di istana Vanterlock. Aku yang mengajakmu kemari, kau tak ingat, ya? Tak masalah. Kau ketiduran di perjalanan dan aku baru membangunkanmu. Badanmu berat sekali ketika aku menggendongmu dari kendaraan ke kamar ini, kau benar-benar menyebalkan seperti biasanya, Willy. Dan memperkosamu? Itu mustahil, bodoh!" Dan Arga pun terpaksa mengarang cerita agar Willy merasa dirinya memang berada di peristiwa yang ia bohongi. Ini semua demi kebaikan Willy. TO BE CONTINUED ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD