BAB 4: BENIH-BENIH JATUH CINTA

1301 Words
SELAMAT MEMBACA * * * Malam harinya, Arjuna dan Rinjani tengah duduk bersama di ruang tamu sambil menonton televisi. Mereka baru saja selesai menghubungi Utari yang sudah rewel sejak siang karena tidak mendengar kabar anak-anaknya. “Abang masih mau berapa lama tinggal disini?” tanya Rinjani tiba-tiba. “Harusnya Abang yang bertanya seperti itu pada Jani. Jani kapan mau pulang?” tanya Arjuna balik. Dia menatap wajah adiknya dengan serius. Rinjani yang mendengar pertanyaan Arjuna yang sarat akan sebuah usiran langsung merasa kesal. Dia baru saja tiba di sana sore tadi dan sekarang sudah di usir pulang. Apa saudaranya itu tidak tau kalau perjalanan dari Jakarta ke kampung itu sangat jauh dan melelahkan. “Jani masih mau di sini. Masih mau jalan-jalan menikmati suasana kampung. Bosan sama polusi di Jakarta. Pokoknya Jani mau satu minggu disini kalau perlu satu bulan,” ucap Rinjani dengan santainya. “Kalau Jani lama-lama disini, nanti Bunda bisa marah. Mendingan cepat pulang kan sudah ketemu Abang. Abang juga baik-baik saja dan sehat, nanti juga pulang.” Arjuna tau jika Bundanya sedikit berlebihan terhadap saudarinya itu. Apa yang akan di lakukan bundanya nanti jika tau putri kesayangannya hilang dari pandangan matanya selama berhari-hari. “Kalau begitu ayo kita pulang sama-sama, ngapain juga Abang di sini. Mending kerja di rumah sakit, gajinya besar. Disini Abang dapat apa, jauh dari keluarga juga. Ayolah pulang…” Arjuna menatap Rinjani dengan lekat, sepertinya saudarinya itu salah faham dengan tujuannya datang. “Abang belum mau pulang. Abang masih suka disini. Kalau Abang tidak ada di rumah sakit, masih banyak dokter yang akan menggantikan Abang disana. Tapi kalau disini, jarang ada dokter yang bertahan untuk tinggal lama disini. Abang tidak mencari uang, untuk apa. Uang Abang sudah banyak, Abang benar-benar ingin merasakan menjadi dokter yang mengabdi. Rasanya begitu senang saat kehadirian kita begitu di butuhkan, ada rasa kepuasan tersendiri yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata.” Rinjani mendengarkan penjelasan Abangnya dengan seksama. Kemudian mengangguk faham. “Kalau begitu Jani ikut, Jani juga mau menjadi dokter disini.” Ucap Rinjani lagi. “Kalau jani tidak bisa, Bunda pasti tidak akan izinkan.” “Terus mau sampai kapan Abang tinggal disini? Selamanya?” “Ya tidak, setidaknya sampai Abang puas ada disini. Atau sampai ada dokter lain yang menggantikan Abang. Kalau Abang kan laki-laki pergi lama tidak papa, kalau Jani perempuan Bunda pasti khawatir kalau Jani pergi lama-lama. Jadi Jani harus segera pulang.” “Ada Ayah yang bisa mengatasi Bunda, Abang Juna santai saja.” Rinjani sama sekali tidak khawatir, dia justru melahap kue kering dan minum teh nya dengan santai. “Yasudah terserah Jani saja,” ucap Arjuna pada akhirnya. Tidak ada gunanya memaksa Rinjani, tidak akan merubah apapun. Jadi mengalah lebih baik. * * * Di tempat yang berbeda, seorang laki-laki tengah tidur di atas ranjang. Namun sejak tadi matanya tidak bisa di pejamkan. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar di atasnya. Tangannya dia lipat di jadikan bantal untuknya berbaring. Setiap kali matanya terpejam, wajah seorang gadis selalu menari-nari dipikirannya. Dia adalah Rama, sejak tadi senyuman tidak pernah luntur dari wajahnya. Pikirannya berkelana entah kemana. “Rinjani…” Guman Rama pelan. Entah apa yang terjadi dengan dirinya, sejak pertemuan pertamanya dengan seorang gadis dari kota yang baru datang kekampungnya sore tadi pikirannya tidak pernah berhenti memikirkan gadis itu. Wajah cantiknya selalu terbayang-bayang. Suara lembutnya selalu terngiang-ngiang terus di telinganya. Apa mungkin dia jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang gadis asing yang bahkan dia hanya tau rupa dan namanya. Apa itu mungkin. Apa bisa secepat itu? “Kok ya ada gadis secantik itu,” Rama kembali berguman. Lagi-lagi wajahnya tersenyum ketika bayangan Rinjani seperti menari-nari di pelupuk matanya. “Siapa yang cantik Le?” Mendengar suara seseorang, Rama langsung bangun dari pembaringannya. Di sana, di pintu masuk ternyata seorang wanita baruh baya tengah berdiri di depan pintu. Dia adalah Lastri, Ibu dari Rama. “Ehhh Ibu, ada apa Bu. Bikin kaget saja Ibu ini.” Ucap Rama saat melihat ibunya masuk kedalam kamarnya. “Bukan Ibu yang bikin kaget. Kamunya saja yang dari tadi Ibu perhatikan kok senyum-senyum sendiri. Lagi mikirin apa to?” Lastri duduk di atas ranjang tepat di sebelah putranya juga duduk. “Ndak mikir apa-apa Bu. Ada apa ini kok Ibu kesini?” “Ibu itu mau tanya sama kamu Le,” Lastri mulai berbicara. “Ada apa to Bu, kok sepertinya sangat penting. Ndak biasanya Ibu ini.” Rama mulai khawatir, tidak biasanya ibunya berbicara seserius ini. “Ini sebenarnya, kamu sama Sulis itu bagaimana?” Tanya Lastri dengan serius. “Lha bagaimana itu, bagaimana to Bu maksudnya?” Rama sedikit bingung mendengar pertanyaan ibunya. Kenapa tiba-tiba bertanya mengenai Sulis. Sulis, adalah salah seorang gadis di desanya. Anak dari pak sekdes yang juga bekerja sebagai staf arsip data di kelurahan. Rama tidak pernah menyukai gadis itu, bukan berarti benci. Tapi memang tidak pernah menyukai dalam arti ingin menjadikan teman hidupnya. Hubungan mereka selama ini juga tidak terlalu dekat hanya sebatas hubungan kerja dan kesopanan semata. Tapi entah kenapa banyak orang yang mengatakan mereka memiliki hubungan spesial. Bahkan ibunya pun sampai bertanya. “Apa iya, kamu itu suka sama Sulis. Kalau suka mbok ya bilang sama Ibu nanti Ibu lamarkan. Kalau betul suka.” "Mboten Buk. Itu siapa yang bilang. Aku kan sudah bilang kalau tidak punya hubungan apa-apa sama Sulis. Kami ini cuma rekan kerja, sama-sama kerja di kelurahan. Tidak ada apa-apa lagi, cuma sekedar kenal teman kerja.” Jelas Rama pada ibunya dengan sabar. Lastri mengelus kepala putranya dengan sayang. Dia selalu berdoa untuk kebahagiaan putra. Putra semata wayangnya, anak yang sangat berbakti pada ibunya. Bahkan rela meninggalkan hidup nyamannya untuk kembali ke desa tinggal dengan dirinya yang tidak mau pindah ke kota setelah suaminya meninggal. Akhirnya anaknya yang sudah memiliki kehidupan mapan di kota harus rela meninggalkan semuanya dan memilih tinggal di desa seperti sekarang ini. Anak perempuannya yang bernama Rani, adik dari Rama sudah menikah dan ikut tinggal bersama suaminya di Semarang. Jadi hanya tersisa Rama dan Lastri yang tinggal di rumah itu. "Tadi ada arisan ibu-ibu PKK, lha Bu Broto i cerita-cerita kalau Sulis anaknya itu calon e pak lurah. Ibuk yo bingung pas di tanya sama ibu-ibu yang lain. Apa ya betul. Makanya ini Ibu tanya sama kamu Le, kalau betul Mbok ya di segerakan." Rama hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan pelan saat mendengar cerita ibunya. Tidak tau harus mengatakan apa. Sebenarnya siapa yang mengarang cerita seindah itu. Bahkan dia sendiri tidak pernah merasa dekat atau menjalin hubungan dengan perempuan bernama Sulis itu. Lalu bagaimana bisa ada berita seindah itu tersebar. “Sudah biarkan Bu, nanti kalau aku ndak menikah sama Sulis semua orang juga tau kalau itu kabar bohong. Sudah jangan Ibu pikirkan berat-benar, nanti naik tensinya.” Ucap Rama pada akhirnya. “Bukan begitu Le, maksud Ibu itu. Ibu i ndak suka kalau kamu jadi bahan gunjingan warga. Kalau ada anak gadis yang kamu suka, bicara sama Ibu nanti Ibu lamarkan. Umur itu semakin lama semakin tua, ndak bisa begini terus. Ini baru Bu Broto yang ingin punya menantu kamu la nanti semisal ada orang lain yang bilang kalau kamu itu calon menantunya juga kan tambah tidak baik. Nanti di kira yang tidak-tidak sama tetangga. Ibu itu cuma khawatir sebenarnya.” Rama faham tentang kekhawatiran ibunya, dia bisa memahaminya. Dia kemudian mengusap lembut tangan ibunya. “Sudah sekarang tidak usah Ibu fikirkan berat-berat. Ingat tensi darah. Nanti kalau sudah waktunya datang jodohnya, aku bilang sama Ibu. Sudah biarkan orang-orang mau bicara apa tidak usah di dengarkan.” Lastri mengangguk pelan, tidak mau menambah beban pikiran anaknya lagi. Dia lalu pamit untuk pergi kekamarnya lagi dan menyuruh putranya untuk segera istirahat. Yang jelas apapun pilihan putranya dia sebagai orang tua hanya bisa mendukung apapun itu. Putranya sudah dewasa, sudah bisa mengambil keputusannya sendiri. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD