02. The Accident

1969 Words
Sejak kejadian di mana Claretta menumpahkan minuman pesanan pelanggan lain ke baju Axelino, gadis itu tak pernah melihat kehadiran pria itu lagi di cafe. Mungkin apa yang dikatakan Sania benar, pria itu muncul di cafe tempatnya bekerja hanya sekali, tepat dua hari lalu. Karena menurut pandangan Sania, ia baru pertama kali melihat pria itu berkunjung ke DaFlorist. "Cla, jadwalmu di club nanti sampai jam berapa?" tanya Sania. Claretta yang sedang mengemaskan barang-barangnya di loker pun menghentikan aktivitasnya, ia berbalik menatap Sania lalu mengingat-ingat kembali jadwalnya bekerja malam ini. "Hanya sebentar, 3 jam. Dari jam delapan sampai jam sebelas, kenapa San?" Claretta menatap Sania dengan heran, tidak biasanya sahabatnya itu menanyakan jadwalnya bekerja. "Malam ini aku menginap di flat mu ya? Kakakku baru datang dari Brooklyn ia sudah menemukanku, dan kamu tahu? Ia pasti akan memarahi diriku yang kembali bekerja di cafe ini," keluh Sania. Claretta hanya bisa geleng-geleng kepala samar, ia juga tak habis pikir dengan jalan pikiran Sania. Sania merupakan anak dari seorang pengusaha kaya, Ayahnya merupakan CEO sekaligus pemilik perusahaan Lova Entertaiment. Perusahaan yang bergerak di industri musik. Hidup temannya ini sangat enak dan nyaman, semua yang ia inginkan pasti bisa dipenuhi. Tapi herannya Sania malah kabur dari orangtuanya dan memilih hidup sendiri di Los Angeles dengan bekerja sebagai pelayan cafe. Hei, anak orang kaya mana yang memiliki jalan pikiran seperti itu selain Sania? "Aku yakin besok kakakmu pasti akan menemukan dirimu, Sania," ucap Claretta dengan yakin. Sania mengerucutkan bibirnya. "Aku akan sembunyi di flat mu, aku yakin dia tidak bisa menemukanku dengan cepat, Cla." Claretta memutar bola matanya malas. "Ya, ya, ya." "Ya sudah ini kunci flat ku, aku akan langsung ke club. Sampai jumpa!" seru Claretta setelah menyerahkan kunci flatnya pada Sania. "Hati-hati, Cla!" *** Claretta kini sudah mengganti pakaiannya menjadi pakaian pelayan di club, ia mematut dirinya sekali lagi di cermin di ruangan ganti. Kepalanya mengangguk-angguk tanpa sadar karena merasa pakaiannya sudah pas dan lebih sopan, kemarin ia sengaja membuat ulang baju kerjanya karena baju yang baru diberikan pemilik club kepada para pekerjanya sangat minim dan sedikit kekurangan bahan. Bajunya sangat tidak nyaman. Club akan di buka setengah jam lagi. Gadis itu berjalan keluar dari ruangan ganti, kakinya terus melangkah menghampiri Aston si bartender yang sedang duduk sambil memainkan handphone di tangannya. "Doorr!" kejut Claretta, ia menepuk pelan bahu Aston dari belakang. "Ah, aku terkejut," sahut Aston malas. Pria itu meletakkan ponselnya di meja dan berbalik menatap Claretta datar. Claretta memberenggut sebal, ia gagal mengejutkan Aston dan itu benar-benar menyebalkan. Terlebih melihat respon Aston yang seperti itu, membuat Claretta bertambah kesal. "Ambilkan aku minum, Ast," titah Claretta lalu tersenyum manis. "Kamu bisa mengambilnya sendiri, Cla," tolak Aston kembali memainkan handphone nya. "Aku ingin minuman buatanmu, Astonku sayang," ujar Claretta dengan nada yang menggoda. "Kamu yakin ingin minum?" Aston bertanya dengan wajah yang serius, alis pria itu terangkat naik menatap Claretta. Sebelumnya ia tidak pernah melihat Claretta meminum alkohol. Claretta menggeleng. "Aku ingin air putih, bukan alkohol." Sahutan santai dari Claretta barusan mengundang rasa kesal pada diri Aston. Pletak! "Ambil sendiri, bodoh! Hanya air putih dan tidak harus aku yang buat!" ketus Aston mulai kesal karena Claretta terus mengganggu dirinya. Claretta meringis merasakan jitakan di kepalanya akibat ulah Aston. "Kamu sangat kasar!" Aston hanya mengedikkan bahunya acuh tak acuh dan kembali memainkan ponselnya. "Ngomong-ngomong sudah hampir jam delapan, apakah club ini tidak dibuka?" tanya Claretta bingung. Aston melirik arloji di pergelangan tangannya. "Aku akan buka pintu masuknya dulu, kamu bersihkan beberapa meja yang sekiranya kotor," titah Aston yang langsung diangguki oleh Claretta. Satu jam berlalu, club sudah mulai ramai. Baik dari golongan anak muda maupun tua sudah ada di club ini. Sejak tadi pun Claretta dan pegawai lainnya juga sibuk melayani beberapa tamu dan mengantarkan beberapa pesanan ke private room. "Sandra, antarkan wine dan tequila ini ke ruangan delapan!" titah Aston, ia meletakkan dua gelas tequila, satu botol wine dan tiga gelas kosong di bar. "Sandra sedang di toilet, biar aku saja. Ke ruangan delapan bukan?" ucap Claretta memastikan. Aston mengangguk. "Hati-hati, Cla!" Claretta menganggukkan kepalanya. Dengan hati-hati gadis itu membawa nampan berisi minuman alkohol yang berbeda jenis menuju ruangan delapan. Cklek! Claretta membuka pintu ruangan bernomor delapan ini dengan pelan dan melangkah masuk dengan hati-hati karena bawaannya tidak sedikit. Gadis itu berjalan mendekati meja di tengah ruangan yg dikelilingi oleh sofa. Sofa tersebut sudah penuh dengan sekitar empat orang pria dan beberapa wanita penghibur. Claretta memejamkan matanya sejenak lalu menaruh gelas-gelas dan botol alkohol di meja dengan hati-hati. Claretta tersenyum puas melihat kerjanya yang rapi dan juga orang-orang di dalam ruangan ini seakan tak peduli dengan kehadiran nya membuat dirinya juga sedikit lega karena tidak diganggu seperti kemarin. Claretta menarik kembali nampannya dan berdiri, ia berjalan keluar dengan langkah yang cepat. *** Kini jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, jam kerja Claretta di tambah empat jam oleh bos nya karena pengunjung club malam ini sangat banyak. Awalnya ia menolak, tapi bosnya berjanji akan memberinya bonus besok. Tentu saja ia tergiur, terlebih bosnya memberi bonus yang banyak. Sangat jarang bosnya memberi bonus pada pekerjanya. "Kamu duluan saja, aku akan membereskan ini dulu. Kunci nya akan ku pegang," ujar Claretta pada Aston. Aston menatap Claretta ragu. Bibirnya terbuka ingin memprotes, tapi ia sedetik kemudian ia menutup kembali mulutnya. Tidak jadi protes. "Baiklah, hati-hati pulangnya nanti, Cla," pesan Aston. Claretta mengacungkan jempolnya. "Siap!" Aston menghela napasnya, entah kenapa perasaannya tidak enak. Tapi dengan segera ia menepis pemikiran negatif yang merasuki kepalanya. "Aku duluan, sampai jumpa esok!" "Hati-hati, Ton!" Aston hanya berseru iya, lalu melanjutkan langkahnya kembali. Setelah kepergian Aston, Claretta berjalan ke bar dan meletakkan kain lap yang baru saja ia gunakan ke keranjang lap kotor. Gadis itu memperhatikan detail setiap inci club ini. Senyumnya terbit melihat semuanya telah rapi dan bersih. Claretta melirik jam tangannya, sudah jam setengah empat pagi kurang beberapa menit. Ia menghela napas, lalu berjalan menuju loker pekerja. Gadis itu mengambil tasnya. Claretta berjalan keluar dan mengunci club dengan sangat telaten. Setelah itu ia berjalan perlahan menyusuri jalan, jam segini sudah tidak ada lagi bus. Terpaksa lah ia harus berjalan menuju flat nya. Huekk... Huekk... Huekkk... Langkah Claretta berhenti kala mendengar suara orang yang muntah, alis gadis itu terangkat saat mendengar suara muntahan itu berasal dari parkiran club yg tak jauh dari posisi berdirinya sekarang. Ia memicingkan matanya, ia melihat ada seorang pria yang sedang merunduk di sudut parkiran. Di sebelah pria itu terdapat mobil sport berwarna hitam dengan pintu depan yang terbuka. Merasa iba dengan pria itu, akhirnya Claretta melangkah mendekati pria yang muntah mungkin di sebabkan oleh kebanyakan meminum alkohol. "Hei, anda baik-baik saja Tuan?" tanya Claretta dengan suara yang pelan, ia menepuk pelan bahu pria itu. Pria itu menoleh, ia tersenyum samar menatap Claretta. Seperkian detik kemudian tubuh pria itu ambruk, Claretta memekik pelan lalu tangannya menompang tubuh pria yang pingsan ini. "Tuan, tuan," panggil Claretta, ia menepuk pipi pria itu dengan sedikit kuat karena pria itu tak kunjung bangun. Claretta menatap sekelilingnya yang sepi, dini hari seperti ini tentu saja sepi. Claretta mendesah pelan tak melihat satu pun orang yang lewat. Claretta menatap pria yang pingsan ini sekali lagi. Ia menggigit bibir bawahnya pelan memikirkan sesuatu, apa yang harus ia lakukan? Dengan sedikit keberanian ia mencari dompet pria ini di saku celana untuk mengetahui alamat pria ini di kartu pengenalnya. Mata Claretta terbelalak kaget melihat isi dompet pria itu yang banyak, uang kertas terisi sangat penuh di dompet tersebut. Walaupun begitu, ia tidak tergoda sedikit pun untuk mengambil sepersen pun uang pria itu. Claretta mengambil kartu tanda pengenal dan membaca nama lalu alamat pria ini. Axelino Maxwell, Apartement near santa Monica, 605. Claretta meletakkan kembali dompet pria itu di saku dan mengantongi kartu tanda pengenal pria ini. Dengan sekuat tenaga, Claretta mengangkat tubuh besar pria ini dan membawanya ke mobil yang terparkir di samping mereka. Claretta meletakkan tubuh pria bernama Axelino ini di jok belakang dengan hati-hati. Setelah itu Claretta mengambil kunci mobil yang ada di jok dan mulai menghidupkan mesin mobil. Claretta mengambil napas panjang dan membuangnya perlahan, ia sangat gugup sekarang. Terakhir kali ia mengemudikan mobil sekitar setahun yang lalu, jadi ia sedikit gugup. Beruntung jalanan sepi, jadi ia lebih percaya diri dan yakin mengendarai mobil mahal pria ini. Claretta pun melajukan mobil pria itu dengan kecepatan normal hingga sampai di apartemen pria itu. Sejenak Claretta berdecak kagum melihat gedung apartemen mewah di depannya. Tidak salah lagi, pria ini pasti orang kaya. ㅡbatin Claretta lalu mendesah pelan. Entahlah, ia tiba-tiba teringat masa-masa ia memiliki segalanya seperti dulu. Claretta berjalan keluar mobil dan menuju lobby. Ia akan meminta bantuan security apartemen untuk mengangkat tubuh pria mabuk itu. "Permisi, bisakah anda menolongku, Tuan?" tanya Claretta pada salah satu security pria yang kebetulan sedang lewat. Security itu mengangguk. "Bisa, apa yang bisa saya bantu, Nona?" "Temanku mabuk, bantu aku memapah tubuhnya." Security pria itu mengangguk. Mereka berdua pun kembali ke parkiran. Claretta menunjuk Axelino yang masih tidak sadarkan diri, dengan sigap security itu mengangkat tubuh Axelino dan membawanya masuk ke apartemen. "Apartemen nomor 605," ujar Claretta saat mereka sudah tiba di dalam lift. Petugas itu mengangguk lalu menekan tombol angka enam. "Terima kasih bantuannya, Tuan," ujar Claretta. Petugas itu mengangguk. "You're welcome, Miss." Claretta mengambil alih tubuh Axelino dan menyandarkannya pada bahunya. Claretta menunggu petugas itu pergi dulu baru ia akan bertanya password apartemen ini pada pria ini. "Hei Tuan, bangunlah. Password apartemen anda apa, Tuan?" Claretta mengguncangkan tubuh Axelino pelan. Kelopak mata biru itu terbuka menatap Claretta sayu dan linglung. "Password apartemen nya Tuan." "589043." Claretta pun menekan beberapa digit angka dan pintu apartement itu terbuka. Claretta kembali memapah tubuh pria itu masuk ke dalam. Pria itu sepertinya kembali tertidur karena Claretta merasakan tubuh pria itu yang melemas. Kalau tidak sanggup minum, lebih baik tidak usah minum! ㅡ gerutu Claretta sebal sendiri. Claretta membawa pria ini masuk ke suatu ruangan yang ia yakini adalah kamar. Claretta langsung menghempaskan tubuh pria itu ke ranjang. Tubuh Claretta luruh jatuh ke lantai, tenaganya terasa terkuras demi menolong pria ini. Claretta menatap pria di depannya ini dalam diam, sejenak entah kenapa ia merasa familiar dengan wajah pria di depannya ini. Claretta tertegun, ia mengingatnya. Dia adalah pria yang kena tumpahan minuman yang ia bawa beberapa hari yang lalu saat di cafe. Ah, sepertinya ia memang ditakdirkan bertemu dengan pria ini lagi dan ia menolong pria ini. Siapa namanya tadi? Claretta lupa. Gadis itu mengambil kartu nama di sakunya, kartu nama milik pria itu. Axelino Maxwell. Nama yang bagus. ㅡbatin Claretta lalu menaruh kartu nama Axelino di nakas samping ranjang. "Ngghh." Claretta terkesiap, melihat pria itu tiba-tiba mengerang dan membuka mata membuatnya kaget. Refleks ia berdiri, bersiap pergi keluar. "Irene, kamu kah itu?" Axelino bertanya dengan kondisi setengah sadar, ia mengucak-ngucek matanya dan menatap Claretta dengan mata yang memicing. "Aku bukan Irene, Tuan. Saya permisi," sahut Claretta, sedikit panik. Ia langsung berjalan keluar kamar dengan langkah lebar. Axelino mengejar Claretta dan memegang lengan Claretta dengan erat. "Tetaplah di sini," ucap Axelino dengan mata sayunya. Ia menahan pergelangan tangan Claretta dengan erat. "L-lepaskan, Tuan!" Claretta mencoba melepaskan pegangan tangan Axelino. Mata Claretta membulat sempurna merasakan benda kenyal yang menghampiri bibirnya. Ya Tuhan, pria itu menciumnya! Claretta menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak ciuman Axelino. "Jangan menolakku, Irene," lirih Axelino di sela-sela ciuman mereka. "Aku bukan Irene, berengsek!" pekik Claretta, ia mendorong tubuh Axelino menjauh dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Nafas Claretta terengah-engah dan menatap Axelino marah. "Apa yang kamu lakukan?!" maki gadis itu. Mata Axelino menggelap, ia menatap Claretta tajam. Tanpa babibu pria itu menggendong tubuh Claretta di bahunya seperti karung beras, lalu ia menghempaskan tubuh Claretta di ranjangnya. "Malam ini kamu milikku, Irene." Claretta menggeleng, ia memberontak kuat. Tapi kekuatan Axelino jauh lebih besar dibandingkan dirinya. Air mata Claretta luruh saat merasakan sesuatu yang asing memasuki dirinya. Hilang sudah harga dirinya, kehormatannya. Dasar laki-laki berengsek! *** To be continued... Find me on **: Kangnield
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD