Prolog
Udara di sekitar Seline kini terasa bergetar hebat, mendidih.
Panasnya tidak lagi terasa seperti udara biasa; panasnya menampar kulit Seline seperti cambuk yang terbuat dari bara yang diayunkan berulang kali, tanpa ampun.
Rasa sakit menyengat di sekujur tubuhnya seakan melampaui batas fisik yang mampu dia tanggung, mencapai kejernihan yang mengerikan dalam pikiran Seline.
"Nandaaa!" Teriakan Seline terdengar pedih dan serak, sementara nyawanya mengering di dalam panasnya api.
Seline tersungkur, terbaring tak berdaya di lantai marmer—dinding marmer yang dingin adalah satu-satunya hal yang belum tersentuh api, namun tidak bisa memberikan kelegaan apa pun terhadap jiwanya yang telah lama terbakar oleh kepedihan.
Seline mulai terengah, setiap tarikan napas terasa seperti menghirup serpihan kaca panas dan jelaga yang mematikan. Asap hitam pekat menggantung rendah, menyerbu paru-parunya. Dia terbatuk, rasa sakit menusuk tenggorokannya tanpa ambun, tetapi dia terlihat mulai tenang.
Rasa sakit fisik itu terasa hampa dan tidak berarti dibandingkan beban emosional yang telah Seline tanggung selama enam tahun terakhir.
Enam tahun mencintai sebuah bayangan, menjalani pengorbanan yang sia-sia, dan memberikan kesetiaan penuh kepada Pramudya Wicaksono, suami yang mengkhianati dan memanipulasi dirinya tanpa ampun.
Selinelah yang telah memilih akhir ini. Kematian di tengah lautan api yang dia nyalakan sendiri adalah satu-satunya pelarian yang dia izinkan untuk dirinya sendiri.
"Mama akan datang padamu Sayang," gumam Seline pelan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
Dia mengambil haknya kembali. Haknya untuk menentukan akhir dari kisah yang telah dilaluinya dengan darah dan air mata. Dia berhak untuk mengakhiri seluruh kesabaran dan penderitaannya dengan tangannya sendiri.
"Nanda."
Seline menyebut nama putrinya yang menggema di benaknya, diselingi oleh suara gemericik api yang melahap semua yang ada di sekeliling Seline, termasuk tubuhnya sendiri.
Nanda putri kecil Seline yang cantik, adalah pelipur lara satu-satunya dalam neraka ini, namun itupun direnggut darinya tujuh hari yang lalu.
Takdir? Tidak. Itu karena kelalaian suaminya dan kebusukan wanita simpanan suaminya.
Kematian Nanda telah membuka mata Seline. Saat semua bukti menunjukkan bahwa putrinya meninggal terkunci di mobil secara sengaja tapi Pramudya yang bersikeras kalau itu hanya sebuah kecelakaan membuat semua perasaan Seline pada Pramudya lenyap. Dia sadar, bagi suaminya, dirinya dan anak mereka Nanda sama sekali tidak berharga.
Memori dan kenangan masa lalu kini terasa menusuk saat Seline mengingat perdebatan mereka di pemakaman Nanda.
Pramudya tetap menatapnya angkuh dan dingin seakan sampai akhir dia ingin tetap menyalahkan Seline tanpa ampun
"Ini semua salahmu, Seline! Kenapa kau memaksa Nanda ikut denganku hari itu?! Aku bilang jangan! Kau tahu aku sibuk! Kau yang memaksanya pergi jalan-jalan, dan kau yang menyebabkan dia meninggal! Kau harus bertanggung jawab!"
Rasa tercekik kembali menyerang Seline, matanya perih meski air matanya mengering.
Bahkan ketika dia menyerahkan bukti kejahatan itu—foto dan rekaman CCTV yang menunjukkan Nanda terkunci di mobil selingkuhan suaminya. Pramudya, tetap membela wanita itu dengan gigih.
"Itu kecelakaan! Dia tidak sengaja! Jangan menuduh yang tidak-tidak, Seline! Dia sedang tertekan! Lagipula, kau yang memaksanya ikut! Kau harusnya menjaga Nanda di rumah! Kau hanya seorang ibu yang gagal! Kau tidak pantas menuduh siapa pun! Terima saja takdirmu!"
Pramudya tidak hanya berkhianat, ia menyalahkan Seline atas kematian yang disengaja oleh selingkuhannya dan bertekad melindungi pembunuh itu dari hukum dan konsekuensi.
Seline tidak bisa mengampuni Pramudya, terutama karena suaminya adalah ayah dari putrinya dan itu adalah bahan bakar bagi api kebencian yang kini membakar setiap inci keberadaan Seline.
Kebenciannya terasa panas.
Seline menatap langit-langit, yang kini mulai melengkung, retak, dan siap ambruk ke bawah menimpanya. Kebenciannya menjadi murni, membebaskannya dari air mata.
Andai Tuhan mengasihaninya, dia hanya dipenuhi dengan satu keinginan terakhir: melihat kehancuran suaminya.
Tiba-tiba, suara pintu didobrak dengan keras bersamaa dengan asap tebal dan debu menyembur.
"SELIIINE! ASTAGA, APA YANG KAU LAKUKAN?!"
Itu Pramudya.
Suaminya, Pramudya berdiri di ambang pintu, terhenti di batas api yang ganas. Matanya melebar karena kengerian yang murni, tetapi Seline melihat keraguan yang tersembunyi di balik matanya.
Pramudya tidak mengambil satu langkah pun untuk menembus lautan api itu. Tubuhnya terlihat gemetar karena syok dan ketakutan.
"Seline, keluar dari sana! Aku bilang keluar! Jangan buat masalah lagi! Jangan bodoh!" teriak Pramudya.
Suaranya pramudya pecah, dipenuhi panik yang tidak tertahankan. Dia berteriak sekuat tenaga dari tempatnya berdiri, wajahnya basah oleh keringat karena panas,
"Seline! Demi Tuhan. Apa yang sudah kau lakukan pada dirimu sendiri! Kumohon!" Suara Pramudya tercekat.
Seline membuka mata yang berair. Ia menatap Pramudya. Merasa aneh saat mendapati sorot mata Pramudya yang tampak kehilangan dan sedih. Sandiwara yang selama ini membuatnya terpenjara di dalam keluarga Wicaksono. Dia tidak akan pernah tertipu lagi kali ini.
"Tidak! Kau tidak boleh mati! Aku akan perbaiki! Aku akan singkirkan dia! Aku janji! Aku akan mencintaimu!"
Seline tahu itu kebohongan. Dia tahu Pramudya akan berjanji apa saja untuk menghindari skandal dan keruntuhan finansial.
Seline tahu Pramudya hanya ingin dia hidup agar citranya, hartanya, dan hidupnya yang terkontrol tetap utuh.
Seline tersenyum. Senyum kemenangan yang dingin dan pahit, membakar wajahnya yang sudah kini mulai melepuh.
"Terlambat..." bisiknya, dengan suara serak. "Aku sudah bebas, Pramudya. Bebas dari nerakamu. Dan kau... kau yang akan menanggung rasa bersalahnya. Selamanya."
"Seline!"
Pramudya berteriak. Kali ini, teriakannya penuh kehancuran dan frustrasi yang tidak tersembunyi lagi.
Dia terus berteriak, memanggil nama Seline berulang kali, suaranya memantul sia-sia di dinding yang terbakar.
Dia tidak mampu bergerak. Dia hanya mampu berdiri dan menatap ngeri, menyaksikan istrinya seakan hangus dan meleleh dimakan api seperti seorang pengecut yang tak berdaya.
Seline menikmati suara itu. Ia menikmati kengerian, rasa takut, dan rasa kehilangan kendali yang terukir di wajah suaminya.
Inilah balasan terakhirnya, kemenangan terbesarnya.
Sebuah balok kayu besar jatuh dari langit-langit, memicu gelombang api yang menyelimuti seluruh ruangan.
Seline memejamkan mata. Hal terakhir yang ia lihat adalah wajah Pramudya yang menangis, terdistorsi oleh asap dan kengerian, terus berteriak memanggil namanya dari kejauhan.
Perlahan kesadarannya memudar dan dia merasa semakin hampa ditelan panasnya api.
Aku menang. Hatinya berbicara.
Kengerian adalah hadiah perpisahan terakhir yang sempurna dari Seline untuk Pramudya.
Seline sama sekali tidak tahu bahwa itu bukanlah akhir. Dia tidak tahu bahwa kemenangan terakhirnya yang penuh dendam akan memberinya hadiah teraneh.
Karena dia berhak untuk melihat kehancuran orang-orang yang selama ini sudah memberinya duka tak tertahankan.
Dan hidupnya kembali di titik awal ketika kegelapan menelannya tanpa sisa.