Bab 1. Titik Nol

1086 Words
Seline membuka matanya dengan panik. Jantung yang berdegup kencang, tubuh gemetar tanpa kendali. Bau asap dan aroma hangus masih melekat di hidungnya tapi anehnya dia mendapati dirinya baik-baik saja. "Apa yang terjadi?" Seline bergumam tidak jelas. Dia merasa familiar dengan semua yang ada di sekelilingnya tapi juga terasa aneh. Dunia di sekitarnya terasa aneh—mobil yang bergerak, suara kota yang memudar, namun semuanya terasa jauh dan tidak nyata. Seline mencoba menarik napas panjang, tapi dadanya terasa sesak dan dia berakhir terbatuk panjang. "Kau kenapa Seline?" tanya Nyonya Ratna, Ibunya Seline. Dia melirik dari kaca spion. “Mama, tolong hentikan mobilnya. Aku harus turun.” Suara Seline nyaris tercekik. Tubuhnya gemetar hebat, perutnya mual, dan ia membekap mulutnya sendiri, menahan rasa ingin muntah yang tiba-tiba muncul. Nyonya Ratna akhirnya menoleh dari kursi depan, menatap dengan ekspresi sedikit kesal, tapi matanya menatap Seline dengan campuran cemas dan waspada. “Seline, kamu jangan lebay. Kita sebentar lagi sampai rumah. Kau bukan anak-anak lagi yang mudah mabuk kendaraan. Ini bukan perjalanan yang jauh dan kau harus membiasakan diri mulai dari sekarang karena terutama kamu akan sering bepergian seperti ini,” jelas Nyonya Ratna. Seline mengerjap pelan. Dia ingat kejadian ini. Ibunya pernah mengatakan hal yang mirip. Tapi bagaimana bisa? Rasa mual itu datang. Kepalanya seperti berputar-putar. Seline menggeleng, tapi tubuhnya tak bisa diam. Dia memutar-mutar kepala, matanya menatap langit-langit mobil seolah mencari pegangan. “Tidak bisakah kalian berhenti sebentar saja?! Aku benar-benar merasa pusing,” pintanya pelan. Genta yang duduk di kursi belakang, menoleh malas. “Ya ampun, Sel. Drama lagi kamu nih. Kamu ini capek-capek kenapa sih? Santai saja bisa tidak? Semua orang tidak akan mati kalau kamu pingsan di mobil. Tidur atau pingsan saja sekarang dan jangan ribut.” Nada suaranya sinis, tanpa kepedulian. Seline menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. Dia ingin berteriak, tapi suara seperti tersedak di tenggorokannya. Tubuhnya gemetar hebat, dan mual semakin menjadi. "Mas Genta pikir aku juga mau begini? Ah aku hampir lupa kalau Mas Genta ternyata memang adalah orang yang seperti ini," ucap Seline sinis. Genta merasa kesal mendengar ucapan adiknya. "Eh, berani kamu melawan Masmu?" Kesal Genta. Nyonya Ratna beralih menatap Genta, seolah memberi kode. “Genta, coba adikmu dulu. Seline, sabar ya. Kita sebentar lagi sampai.” Genta mengangkat bahu, nada bicaranya tetap dingin. “Ya sudah, kalau mau menangis atau muntah, ya terserah. Aku tidak mau repot.” Tolak Genta. Seline menutup mata, kepala terasa berputar. Rasanya seperti ia baru saja ditarik keluar dari dunia yang aman, dan dijatuhkan ke sesuatu yang asing, aneh, dan menakutkan. Kepanikan memenuhi setiap serat tubuhnya tapi di saat yang sama pikirannya mulai menemukan logikanya. Kairo, duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dengan lembut. “Mbak Sel… tarik napas pelan. Ini, hirup dulu minyak anginnya.” Dia menepuk punggung Seline dengan perlahan, mencoba menenangkan. Kairo adalah adik lelaki Seline dan dia terlahir kembar dengan Keiro. Keiro, yang duduk di kursi belakang dekat Genta, menoleh dengan cemas. “Papa, kalau Mba ingin muntah, mungki sebaiknya memang menepi dulu sebentar?” usul Keiro. Tuan Wisnu kembali melirik ke arah Seline. "Sebentar ya Sel, Papa akan mencari tempat untuk berhenti," ujar Tuan Wisnu. Seline tidak menjawab. Dia mencoba menarik napas panjang berkali-kali membuarkan oksigen meresap ke dalam paru-parunya sambil terus mencoba memahami dan mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi pada dirinya. Setidaknya yang dia ingat terakhir kali adalah kematiannya dan semuanya terlalu nyata untuk dikira sebagai mimpi buruk dan bungan tidur. Tapi dunia masih terasa berputar. Tubuhnya panas dingin, pikirannya masih belum sepenuhnya jernih. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Seline kembali berbicara. Seluruh keluarganya menoleh ke arahnya. Kebingungan. Tuan Wisnu yang masih menyetir, menoleh dari kaca spion. Dia mengerutkan dahi khawatir dengan kondisi putri satu-satunya tersebut. Mobil akhirnya berhenti di sisi jalan yang agak sepi dan Seline langsung bergegas keluar dan memuntahkan semua isi perutnya keluar. "Hoek..." Seline mencengkram erat ujung bajunya sendiri, tangannya terkepal dengan gemetar. Nyonya Ratna bergegas mendekatinya. “Kamu kenapa Nduk? Coba tenangkan dirimu dan jangan memaksakan diri,” ujar Nyonya Ratna. Dia tidak menyangka kalau Seline memang sungguh sakit saat meminta agar mobil berhenti tadi. "Lebay." Genta menyindir, bahkan ketika dia melihat adik perempuannya itu tampak limbung. Seline menunduk, merasakan air mata menetes, kepalanya akhirnya mulai terasa ringan. Tuan Wisnu menoleh ke arah ketika putranya, tatapannya tajam. “Kalian semua, cukup. Sekarang bantu saudara kalian, jangan cuma duduk.” Genta menghela napas panjang, menatap Seline dengan kesal tapi tidak bergerak. Sementara itu, Kairo terus menepuk punggung Seline, berbisik pelan, “Sudahlah, abaikan saja Mas Genta,” ujarnya pelan. Seline hanya diam. Dia menutup mata, perlahan mualnya sedikit reda. Tubuhnya masih gemetar, tapi sentuhan Kairo membuatnya merasa sedikit aman. Ia membiarkan dirinya bersandar ke kursi, menutup mata, dan mencoba menenangkan napasnya. Nyonya Ratna menghela napas, menatap Seline sebentar, kemudian kembali menoleh ke jalan. Ada kekhawatiran yang jelas di wajahnya setelah melihat wajah Seline yang semakin pucat. "Nduk, kau masih pusing? Coba bersandar dulu, jangan paksa berdiri," ucapnya. Dia bisa merasakan tubuh Seline yang goyah. "Pa!" Panggil Nyonya Ratna panik. Seline merasa tubuhnya semakin lelah, tapi akal sehatnya perlahan kembali. Dia mendongak menatap langit di atas kepalanya, yang mulai gelap oleh senja. Rasanya seperti ia baru saja melalui perjalanan panjang yang melelahkan dan mendadak sudah berada di dalam mobil bersama keluarganya. Seline lalu menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, membiarkan tangan Kairo tetap menggenggamnya. Perlahan, kepanikan berkurang, dan tubuhnya mulai terasa berat. Dalam kelelahan yang luar biasa, Seline membiarkan matanya menutup. "Nanda." Seline bergumam. "Nanda siapa Mbak?" tanya Keiro. Seline tidak menjawab. Dia hanya berusaha melangkah dengan limbung dengan ditopang oleh kedua orang tuanya dan kembali ke kursi tempat duduknya di mobil lalu kembali memejamkan mata. Napasnya mulai teratur meski hati dan pikirannya masih kacau. Dia mengingat hari ini dengan jelas dan dia tahu besok akan menjadi hari penting yang mengubah seluruh hidupnya. Meski begitu, untuk sekarang, dia hanya ingin membiarkan tubuh dan pikirannya beristirahat. "Biarkan aku tidur sekarang," ucapnya kemudian. Keluarga yang tersisa menatapnya dengan cemas, masing-masing dengan cara mereka sendiri. Genta masih duduk dan menatap Seline kesal, sebaliknya Keiro dan Kairo malah penuh perhatian, Nyonya Ratna tampak ragu antara khawatir dan bingung, sementara Tuan Wisnu menenangkan situasi dengan tegas. "Ayo semuanya masuk. Seline mungkin cuma masuk angin. Kita akan pulang sekarang," perintah Tuan Wisnu. Perlahan mobil kembali berjalan dan Seline bisa merasakan wajahnya diterpa angin yang menyapu wajahnya. Dia masih bingung tapi setidaknya sekarang dia menyadari satu hal. Dirinya sudah kembali, hidup dan tidak terluka seperti yang ada di ingatannya. Dia belum menikah dengan Pramudya. Dirinya kembali ke titik nol
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD