#
Nyonya Ratna tampak memilihkan pakaian yang cocok untuk Seline pakai. Dia tampak bangga dengan hasil pilihannya setelah melihat penampilan Seline yang anggun.
"Ingat ya Sel, cobalah untuk bersikap lembu dan sopan di depan Pramudya dan keluarga Wicaksono. Ingat baik-baik. Mereka sudah berjasa besar dalam keluarga kita, membantu Papamu saat mengalami kecelakaan kerja dulu dan juga membantu membiayai kuliah Masmu di luar negeri," ujar Nyonya Ratna.
Seline mengangkat wajahnya dan mengamati ekspresi ibunya dengan seksama.
"Mereka membantu Papa karena itu memang kewajiban mereka. Papa mengalami kecelakaan kerja akibat kelalaian mereka. Lalu Mas Genta, memangnya ada gunanya Mas Genta sekolah di luar negeri? Sampai sekarang juga tidak lulus-lulus. Apa menurut Mama ini adil? Kalau Papa dan Mas Genta yang menerima jasa keluarga Wicaksono, kenapa aku yang harus merelakan beasiswaku dan menikah ke dalam keluarga Wicaksono dengan pria yang bahkan belum pernah aku temui sebelumnya!" Protes Seline keras.
Semua orang terdiam mendengar ucapan Seline. Selama ini Kakak perempuan mereka bukanlah tipe orang yang akan melontarkan protes tajam seperti itu. Ini pertama kalinya mereka melihat Seline melawan.
"Heh, kalau aku yang dijodohkan dengan anak keluarga Wicaksono, tentu saja aku mau! Sayangnya keluarga itu tidak memiliki anak perempuan dan cuma punya anak lelaki. Harusnya kau bersyukur ada yang mau mengangkatmu menjadi menantu karena melihat jasa Papa dan juga aku ..."
"Jasa Mas Genta?" Potong Seline sinis.
"Memangnya apa jasa Mas Genta pada keluarga Wicaksono? Kalau aku jadi mereka, aku akan merasa menyesal membiayai kuliah orang yang tidak bisa lulus sampai detik ini. Oh, aku lupa. Jangan sampai Mas melewatkan kelulusan tahun ini karena itu yang terakhir. Kalau tidak lulus juga, Mas akan di DO dan jangankan perusahaan keluarga Wicaksono tempat ayah bekerja, bahkan perusahaan lain akan berpikir dua kali sebelum mepekerjakan Mas Genta," lanjutnya dingin.
Dia mengatakan sebenarnya karena memang itulah yang terjadi pada Genta sesuai dengan ingatannya. Genta tidak akan pernah bisa lulus dan membuat malu seluruh keluarga. Pada akhirnya dia memutuskan untuk menikah dan mencoba membangun bisnis yang juga berakhir gagal.
Sekarang Seline mengerti kalau kakak laki-lakinya tersebut hanyalah beban keluarga.
Tapi Genta jelas tidak terima dengan ucapan Seline. Dia mendekati Seline dan menatapnya tajam.
"Berani kau dengan Masmu hah?!" ancamnya. Tangannya terangkat, siap untuk menampar Seline.
"Genta!" tegur Tuan Wisnu melihat tindakan putranya.
"Seline menghinaku Pa!" Protes Genta.
"Kalau begitu buktikan kalau ucapan Seline salah! Bukannya mengancam adikmu dengan tindakan seperti itu?! Hah?! Laki-laki macam apa yang memukul perempuan terlebih itu saudara kandungnya sendiri! Apa Papa mengajarimu seperti ini?" Tegur Tuan Wisnu.
Rahang Genta mengetat mendengar ucapan ayahnya. Dia beralih menatap Seline dan ayahnya bergantian dan kemudian berakhir pada ibunya, mencari pembelaan.
"Pa sudah Pa. Genta hanya bermaksud mendidik Seline. Ini hari penting bagi kita. Pertunangan ini tidak boleh gagal," pinta Nyonya Ratna.
Seline menarik napas panjang. Dia tahu sebabnya pertunangan ini tidak boleh batal dan dia tahu pernikahannya ke dalam keluarga Wicaksono adalah jalan terakhir yang paling mungkin bagi keluarganya untuk bisa lolos dari jeratan hutang selama ini.
Meski begitu, setelah mengalami kehidupan sebagai menantu keluarga Wicaksono yang bagaikan di neraka, pada akhirnya dia tidak bisa menentang takdir yang mengharuskannya untuk kembali masuk ke dalam keluarga itu sebagai menantu.
"Dan kau Seline!"
Teguran ibunya yang menyebut namanya membuat Seline tersadar dari lamunannya.
"Masmu itu anak laki-laki tertua di keluarga ini dan sudah kewajibanmu sebagai adik perempuannya, anak perempuan tertua keluarga ini untuk menghormati dan menolongnya. Mama tahu kau mungkin akan merasa tidak adil tapi keluarga Wicaksono bukan keluarga sembarangan. Kau bahkan tidak perlu titel atau apa pun untuk menyandang gelas Nyonya muda keluarga Wicaksono nantinya," ucap Nyonya Ratna pada Seline.
Seline kini menatap ibunya dengan tatapan dingin dan penuh penyesalan.
"Kalau Mama sebegitu sukanya dengan gelar menantu keluarga Wicaksono, kenapa bukan Mama saja..."
"Seline! Di mana sopan santunmu! Apa pantas kau terus menerus berbicara seperti itu pada Masmu, pada Mamamu! Apa sebenarnya yang sudah merasukimu? Kau bersikap aneh sejak kemarin!" Tegur Tuan Wisnu sebelum Seline mengakhiri kalimatnya.
Seline menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Bayangan ketika ayahnya meminta maaf kepadanya dan memeluknya erat sebelum ajal menjemput ayahnya tersebut kembali berputar di kepalanya.
Dia mengerti ayahnya akan menyesali semua ini suatu hari nanti tapi untuk sekarang, ayahnya masih tidak bisa menolak tawaran keluarga Wicaksono serta tekanan istrinya dan keluarga mereka yang mengharuskannya mengorbankan anak perempuan satu-satunya.
"Baiklah. Terserah kalian saja. Toh aku juga tidak mungkin lagi membatalkan pertemuan hari ini. Aku harus menjadi anak yang dengar-dengaran serta contoh untuk adik-adikku. Tapi aku bersumpah, Mama dan Papa akan menyesali semua yang terjadi hari ini. Menyesali karena telah melepaskanku dan memilih memperjuangkan masa depan Mas Genta dibandingkan masa depanku," ucap Seline dengan nada suara yang terdengar gemetar.
"Mama dan Papa dengar sendirikan? Baru juga kuliah sebentar dengan beasiswa, dia sudah seberani ini untuk menyumpahi kita semua," ucap Genta.
Seline meletakkan sendoknya dan membersihkan mulutnya.
"Aku sudah selesai," ucapnya. Lebih baik dia pergi untuk menghindari konflik daripada berdebat percuma dengan Kakak dan ibunya.
Keluarganya saat ini bahkan tidak akan pernah menyangka akan seburuk apa keluarga Wicaksono memperlakukan mereka di masa depan setelah Seline dan juga keluarga Wibisono tidak lagi berguna untuk mereka.
Kairo menahan tangan Seline ketika dia melewati tempat duduk mereka.
"Mbak Sel?" panggil Kairo.
Seline hanya melemparkan senyum pedih ke arah Kairo dan kemudian menepuk punggung Kairo lembut.
"Tidak apa-apa. Tolong panggil saja kalau sudah waktunya berangkat," pinta Seline.
Seline melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya. Dia sudah bertekad kali ini kalau dia tidak akan pernah terjatuh lagi pada jurang yang sama. Kali ini dia mungkin tidak bisa mengubah keadaan tapi dia yakin dengan pasti kalau dia mampu membelokkan takdir.
Seline masuk ke dalam kamarnya dan menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Wajah yang terlihat jauh lebih belia dibandingkan dengan yang terakhir dia ingat.
"Kalau aku tidak bisa lari dari pernikahan ini maka setidaknya aku tidak akan pernah menikahimu Pramudya Wicaksono! Tidak di kehidupan ini!" gumanya sambil menyentuh permukaan cermin yang dingin dengan tangannya.
Saat itu dia baru menyadari sesuatu. Ada luka bakar di pergelangan tangannya yang seharusnya tidak ada saat kehidupannya dulu.
Luka itu adalah luka yang dia peroleh saat mencoba melindungi putrinya Nanda dari kecelakaan yang menimpa putri kecilnya dulu.
"Baiklah. Beranilah Seline. Entah kesempatan ini datang dari langit atau neraka, yang terpenting sekarang adalah balas dendam," ucapnya lagi pada bayangannya sendiri.