Bab 12 - Bertemu Seorang Teman

1401 Words
Wish berjalan perlahan ke dalam dermaga yang gelap. Ia meninggalkan orang tuanya di luar gerbang dan mencoba tidak menangis, meski ia berpaling sesekali mengarah ke gerbang. Saat masuk ia tercengang karena halaman dermaga itu sangat luas. Butuh beberapa waktu untuk sampai di tangga kapal. Bunyi dorongan roda koper Wish terdengar jelas bergema mengiringi langkah kakinya. Beberapa kali suara dari koper mengaum keras dan terdengar menakutkan. Ia melihat sekelilingnya ke kanan dan kiri mencari seseorang yang bisa ditanya. Ia sedikit ragu apakah ia menuju arah yang tepat dan berbisik dalam hati, 'Mengapa ia tidak melihat murid-murid lain ataupun penumpang lain yang hendak berlayar'. Meski wajahnya tidak menunjukkan ketakutan sama sekali, tetapi tetap saja suatu keharusan untuk mempertanyakan hal itu. Dengan santai ia menyeret kopernya dan terus berjalan lurus berharap semua baik-baik saja. Ia tidak ingin mengacaukan harapannya dengan berpikir sekolah yang menerimanya itu adalah tipuan belaka. "Jauh sekali." Ucapnya sambil membayangkan jarak yang harus ia tempuh. Ia melewati gerbang ke-dua. Sisi kanan dan kirinya adalah ruang monitor kapal. Seraya berjalan ia melihat ke depan mencari arah apakah ada tanda yang harus ia ikuti. Tetapi, tidak ada apapun yang dapat ditemukan. Yang terlihat hanyalah ruangan loket kosong dan meja-meja jualan. Ia berjalan lurus ke arah utara. Kapal yang akan ia naiki mulai tampak. Ia lega karena ternyata tidak tersesat. Cerobong kapal mengeluarkan asap tetapi tidak bersuara. Kapal itu sangat besar dengan mulut cerobong di cat berwarna merah terlihat menjulang ke atas. Suara langkah kaki terdengar mengikutinya. Semakin lama semakin cepat. Ia mencoba berbalik melihat meski ragu-ragu di awal. Ia membalikkan wajahnya melihat ke belakang dengan cepat dan melihat seorang anak remaja dengan tas besar mencoba mengejarnya. Ia memakai jas hitam dan dasi kupu-kupu merah. Ia memeriksa perasaannya dan tidak merasakan bahaya mengancam dari anak yang mengejarnya itu. Meski wajah anak seumurannya itu tidak terlihat jelas, tetapi, ia berhenti seolah-olah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia berkata dalam hati, "Siapa dia? Dari pakaiannya tampak seperti seorang siswa yang juga ingin menaiki kapal. Apakah kami saling kenal?" "Hei." Teriaknya memanggil Wish. Suara gemanya cukup lama terdengar. Tentu Wish mendengar panggilannya itu dengan jelas. "Ya?" Ucap wish pelan. "Kamu cepat sekali berjalannya. Aku mengikutimu tadi tetapi kau terlalu cepat berjalan. Aku yang berada di belakang mobilmu tadi." Terangnya. Ia melanjutkan ," Ardy Mcfeel," sambil menyodorkan tangannya. Wish melihat ke arah Ardy dan tersenyum menyambut. "Maafkan atas kesalahpahaman tadi." Ia tersenyum lebar menatap ramah Wish. Bagi Wish sikap Ardy sangatlah asing karena mereka tidak pernah bertemu sama sekali.  "Seperti yang biasa, Mcfeel nama keluarga kami. Ya, Mcfeel. Bagus bukan?" ucap Ardy lagi. Wish tersenyum kepadanya dan menyebutkan nama panjangnya juga. "Wish Pratja," ucapnya. "Kamu ketakutan?" Tanya Ardy karena kecepatan maksimal yang Wish keluarkan sewaktu berjalan. Wish menggelengkan kepala dan tidak menjawabnya. Wish merasa tidak perlu membuktikan apapun. Dari sorotannya sudah terlihat bahwa ia tidaklah bohong. Wish pun bergerak melanjutkan langkahnya. Ardy pun mengikutinya berusaha berjalan sejajar. "Mengapa tidak ada orang?" Tanya Wish. Ia bingung melihat sekelilingnya. Siapa tahu anak yang baru ia temui itu mengetahui sesuatu. Ardy tersenyum. "Ini belum jam keberangkatan. Kita yang terlalu cepat. Di antara datang cepat atau datang terlambat, yang paling baik adalah datang tepat waktu. You know lah!" Jelas Ardy begitu ramah seolah-olah sudah kenal lama dengan Wish. "Benarkah?" Wish melihat jam di ponselnya. "Kau benar," ucapnya melanjutkan, sesudah tahu pukul berapa. "Orang tuaku sangat senang aku bisa diterima di sekolah ini. Seharusnya aku diterima tahun lalu. Tetapi..." jelas Ardy menceritakan kejadian tahun lalu yang ia alami. "Kenapa?" Tanya Wish dengan saling mengatur langkah kaki agar bisa mendengarkan kelanjutan ceritanya. "Tiba-tiba mereka menutup pendaftaran." Penjelasan singkat Ardy. Lalu ia menaikkan pundak. "Jadi sekarang, kamu umur berapa?" Tanya Wish. Ardy seharusnya tidak bisa mendaftar tahun ini karena ia sudah berumur tujuh belas tahun. Ardy mengerutkan jidat.   Wish bingung dan berkata lagi, "Seharusnya kamu tidak bisa masuk ke sekolah ini. Mereka hanya menerima anak berumur 16 tahun. Itu peraturannya! Kau tahu bukan?" "Tahun ini aku 16 tahun." Jawab Ardy cepat.  "Aku dapatkan undangan itu saat umurku 15 tahun. Aku sempat hampir di wawancara kemarin. Tetapi, mereka membatalkannya." Ardy diam sebentar dan melihat apakah ada orang yang akan mendengar pembicaraan mereka. Setelah merasa aman ia menurunkan volume suaranya, "Sepertinya mereka mengubah sebagian peraturan mereka." Jelasnya dengan berbisik. "Bisa jadi karena aturan umur mulai mereka terapkan. Ya, seperti sekarang. Harus yang berumur 16 tahun." Ucap Ardy lagi melanjutkan penjelasannya. Ia berhenti sejenak, dan tidak ingin menyebarkan dusta, "Itu hanya pemikiranku saja." Ucapnya lanjut. "Setahuku itu sudah peraturan dari dulu. Mungkin ada kesalahan sistem pemberitahuan." Ucap Wish memberi alasan lain sesuai dengan yang ia tahu. "Mungkin.. Entahlah, bisa jadi begitu juga." kata Ardy. Ardy kembali bercerita. "Pengalaman ku kemarin, di dalam wawancara ini, mereka akan menggolongkan kita sesuai bidang study dari bakat dan kecerdasan kita. Setiap keahlian akan dibagi menjadi kelas-kelas pelajaran. Jika kita diterima, kita bisa bersekolah. Yah, kau tahu, mereka hanya menerima murid-murid yang berbakat. Kalau anak yang jenius sudah pasti syarat mutlak ya!" Jelas Ardy mencoba menakuti. "Oh begitu." Ucap Wish santai. Ardy berhenti dan meletakkan ranselnya yang berat di lantai. Ia sudah kelelahan membawa tas punggung miliknya lalu ia membungkuk. "Berhenti sebentar." Ucap Ardy lalu mengambil air putih yang ada di sisi samping ransel. Pin elang terlihat di ranselnya. "Kamu golongan... Rakyat Atas?" Wish tercengang. Ia melihat pin yang ada di ransel itu tanda dari keluarga terhormat. "Ya. Mengapa? Kita sama, tidak perlu terkejut begitu. Mana pin mu?" Ucap Ardy yang sedang mengelap tumpahan air di mulutnya. Wish terdiam. Ia bingung akan mengatakan apa. Apakah ia akan mengungkap identitasnya atau tidak. Tetapi, lebih baik jujur sebelum Ardy mengetahuinya sendiri. 'Apakah ada sangsi jika mengetahui golongan Pembantu ada di sekolah ini?' Pikir Wish. Tetapi ia memberanikan diri karena Tn. Smith sudah menjelaskan bahwa sekolah ini tidak membedakan golongan masyarakat. "Aa..ku bukan golongan Rakyat Atas." Ucap Wish dengan nada gemetar dan tersenyum menyudut bibir. "Apa?" Ardy terkejut mendengar pengakuan Wish. Ia berdiri dan memasukkan kembali botol minumnya ke dalam kantung samping tas dengan cepat. Ia kembali memakaikan tas punggungnya. "Pasti sulit untuk Rakyat Pembantu maupun b***k untuk bersekolah di sini." Ucap Ardy. Itulah salah satu alasan yang membuat Ardy terkejut. Tidak mudah untuk masuk ke sekolah yang bergengsi ini. Ardy terlihat memikirkan sesuatu. Ada banyak yang ingin ia katakan tetapi dicobanya untuk memilah garis besarnya saja. Ia pun berkata, "Hanya Rakyat Atas yang bisa masuk kesini! Tapi..." Ardy berpikir dan mengingat sesuatu, "Tapi sepertinya tidak juga! Sepertinya aku salah. Aku ada bertemu dengan Rakyat Pembantu tahun lalu. Mungkin aku salah. Siapapun yang mendapat undangan bisa mendapat kesempatan untuk masuk." Pikir Ardy. Wish tersenyum polos. Ia pikir itu akan menjadi masalah, tetapi, tidak. Ia tidak khawatir lagi kalau-kalau kejadian sebelumnya terjadi lagi. Ia bisa mengatakan dengan jujur bahwa ia adalah anak dari golongan b***k. "Sekolah ini tidak membeda-bedakan golongan. Untunglah. Yang terpenting kamu bisa membayar uang sekolahnya." Ucap Ardy lagi karena tidak ada tanggapan dari Wish sama sekali. "Ayo jalan." Ucapnya lagi yang sudah terisi tenaga. Wish mengikuti dari belakang. Wish menanggapi dengan anggukan saja. Kapal semakin lama semakin dekat. Ia sekarang melihat dengan jelas bahwa kapal itu sangat besar. Mulut Wish ternganga melihat betapa mewahnya kapal itu. Ini kali pertamanya melihat kapal semewah itu. "Kamu tidak tahu? Kalian Rakyat Pembantu bisa memperbarui status kalian menjadi kalangan Atas? Ayah dan Ibumu tidak mencoba? Aku rasa kalian keluarga mampu sehingga kamu bisa bersekolah disini" Ucap Ardy menganalisis. Ini hanya bumbu-bumbu untuk mengetahui karakter masing-masing. "Hm.. Aku tidak tahu itu. Tetapi, lebih baik tidak berada di kalangan kalian. Terlalu banyak yang harus dibayar." Jelas Wish sambil berjalan mendorong kopernya dan berbicara tanpa melihat Ardy. "Ya, kamu benar. Tetapi, fasilitas yang kalian dapatkan akan lebih baik dibandingkan sekarang." Bantah Ardy. Ia sudah merasakannya sendiri. "Lagian, sekolah ini tidak mempermasalahkan golongan. Hanya kecerdasan dan kesanggupan membayar uang sekolah." Ucap Wish melihat Ardy berjalan semakin jauh. Ia memperlambat langkahnya karena sesuatu. Ia berhenti sebentar sedangkan Ardy terus bergerak maju tidak menyadari Wish tertinggal dibelakang. Tiba-tiba pandangan Wish kabur. Ia melihat ke arah kapal dan sekelilingnya. Ia melihat seperti garis-garis yang bergeser seperti layar televisi yang akan mencari siaran. Penglihatannya ternyata berubah. Ia melihat kapal itu berangkat tetapi topan mengelilingi kapal dan badai terjadi. Kapal kemudian bergoyang dengan kuat dan akan tenggelam. Suara ketakutan terdengar dari dalam kapal dengan kuat bersamaan dengan hujan deras yang diikuti dengan sambaran petir. Suara teriakan orang-orang di kapal dapat terdengar meski suara ombak yang keras. Kepala Wish sakit lalu ia terjatuh ke tanah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD