Bab 8 - Kembali ke tahun 2004

1606 Words
Angin yang bertiup dari jendela menyebarkan hawa panas di dalam kamar. Kipas angin berputar kencang meski usaha itu sia-sia. Udara panas dari ruangan itu tidak juga keluar. Suhu hari ini sangat panas karena kelembapan udara yang rendah. Awan-awan yang biasanya melindungi Bumi juga tak terlihat di langit yang membuat sinar Matahari langsung menyentuh Bumi. Peralihan ke musim kemarau seperti ini memang membuat suhu lebih cenderung panas. Wish menyeka keringatnya yang sedang serius menatap sesuatu. Di hari pertamanya ia terlepas dari rutinitas belajarnya, Wish ingin mengisinya dengan mempelajari Buku Bulan yang ia dapat dari peninggalan ayahnya. Ia belum mandi dari pagi hingga siang ini karena ingin bermalas-malasan meski hanya satu hari. Ia sangat berharap menemukan sesuatu yang bisa mendekatinya menemukan cara untuk bisa berbicara dengan ayahnya yang sudah mati. "Sudah lama sekali aku tidak buka buku ini." Ucapnya lalu berdiri mencari dimana buku itu diletakkan. Yah, benar sekali. Sudah lama ia tidak membuka buku yang selalu dibaca sebelum tidur. Buku itu berisi banyak rahasia alam. Petunjuk yang terdapat di dalamnya bisa menjawab pertanyaan tentang alam semesta. Ia kembali duduk di meja belajarnya lalu meletakkan buku dan mengatakan, "Moon Call. Apakah aku bisa menemukan hal lain hari ini?" Debu-debu yang menempel di bersihkan. Sudah tiga tahun ia tidak menyentuhnya sama sekali. Tentu debu-lah yang menemaninya selama ini. Buku Bulan berisi rumus-rumus yang tidak dapat dimengerti. Ada banyak harapan yang dituangkan Wish jika ia bisa mengerti isinya. Ia ingin membuat aplikasi obrolan untuk mengirimkan pesan kepada orang yang ia sayangi yang sudah meninggal. Meskipun ini terlihat seperti harus melibatkan sihir, tapi ia yakin bahwa ada penjelasan yang masuk akal untuk melakukannya karena buku itu memberikan rumus-rumus yang membuatnya menjadi masuk akal. Harapan ini ia bangun ketika berumur empat tahun. Sewaktu berumur empat tahun, Wish menemukan tujuan hidupnya, yaitu ingin mengatakan kepada ayahnya, bahwa ia baik-baik saja dan rindu ayahnya. Ini bermula saat ia berada di panti. Ia sangat ingat kejadian itu. *** Tahun 2004 - Wish berumur empat tahun. Di sebuah desa, yang bernama Desa Sunyi, seorang kakek sedang menuju ke arah panti. Dinamakan begitu karena jarak antar rumah yang berjauh-jauhan dari satu rumah ke rumah lain. Sang Kakek membawa kantong belanjaan berisi sayur yang menjadi makanan untuk di panti selama seminggu. Ia terlihat lelah membawa keranjang yang berat dan berhenti sebentar meletakkan keranjang di tepi jalan. Ia menyeka keringatnya berkali-kali dan menyadari bahwa kini usianya tidak sekuat dulu lagi.  Tiba-tiba ia mendengar suara tangisan yang berasa dari sebuah rumah di pinggir hutandekat dari tempat ia beristirahat. Rumah itu sudah tidak dihuni selama 20 tahunan semenjak suatu kejadian yang sangat menggemparkan terjadi. Ia memeriksa ke dalam rumah yang dipenuhi dengan sarang laba-laba dan melihat seorang anak menangis di bawah tangga. Ia dudukkan tubuhnya dengan melipat tangan dan kakinya dengan aura ketakutan mengelilinginya. Lalu ia melihat ke arah kakek yang mencoba menolongnya. Ia tampak kelelahan dan ada bercak darah di bajunya. "Apa yang terjadi?" Ucap kakek lalu melihat wajah anak itu. "Kamu kenapa?" Tanya kakek lagi tetapi ia tidak menjawab. Semakin mendekat semakin tahu bahwa tubuhnya sedang gemetaran. Ia seperti baru saja melihat sesuatu yang menyeramkan. "Kamu kenapa? Apa yang terjadi?" Lanjutnya dengan banyak pertanyaan. Wajah anak itu penuh dengan air mata. Tak ada satu katapun yang ia ucapkan. Ketika menggendong anak itu, ia melihat buku tebal bertuliskan Moon Call. Kakek merasa bahwa itu adalah milik anak yang ia temukan. Ia ambil dan masukkan ke dalam kantong belanjaannya. Kakek pun menelepon polisi dan memberitahukan apa yang terjadi. Mereka dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Sebelum ke kantor polisi kakek mengantar belanjaannya ke panti terlebih dahulu lalu menyusul ke kantor polisi. Seorang polisi mencoba menanyai anak itu dengan mesin tik di dekatnya. Anak itu bernama Wish. Mereka mencoba mencari asal anak itu tetapi, ia tidak menjawab apapun kecuali namanya. Ketika mereka menanyakan apa yang terjadi, kepala anak itu sakit dan berteriak histeris. Ia seperti mencoba mengingat tetapi tidak bisa. Inilah yang membuat Wish kesakitan saat mencoba menjawab. Sore pun datang. Cukup lama proses yang harus dilalui kakek karena insiden ini. Ia menunggu cukup lama untuk membiarkan polisi menyelidiki kejadian yang terjadi. Seorang polisi berbicara kepada kakek. "Kami belum bisa memastikan apa yang terjadi. Sepertinya anak ini yatim piatu. Kami tidak bisa menemukan orang tuanya. Apa kakek bisa bawa dia ke panti saja?" Ucap seorang bripda kepada sang kakek. Ia berbicara sambil menyiapkan berkas laporan mengenai kejadian itu. Ia tahu bahwa kakek itu adalah pengelola panti di tengah hutan. Di desa kecil seperti itu, tentu tidak sulit mengenal satu sama lain. "Baik Pak. Saya akan bawa dia malam ini ke panti. Terima kasih atas bantuannya." Ucap kakek menundukkan kepalanya beberapa kali. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi. Kakek sangat tidak bisa melihat anak-anak yang terlantar seperti itu. Hatinya teriris-iris melihat anak yang tidak memiliki orang tua. Ia membawa Wish dan memperlakukannya dengan lembut. "Sebentar," sentak sersan itu. "Kami menemukan ini di kantong celananya." Kakek mengambilnya. Ditemukan uang 100 rupiah di kantong celana Wish. 'Uang tahun 1984? Uangnya masih tampak bagus.' Pikir kakek dalam hati. "Terima kasih." Ucap kakek kebingungan karena pemberian itu. Kakek berpikir dalam hati, 'Mengapa uang 100 rupiah keluaran tahun 1984 ada di kantung Wish, padahal sekarang sudah tahun 2004.' Ia ingin menanyai Wish tentang hal itu, tetapi, ia tahu bahwa anak itu hilang ingatan tentang apa yang terjadi. Mungkin ia akan menanyakan ketika kondisinya lebih baik. Kakek membawa Wish ke panti hari itu juga. Wish beberapa kali menangis tanpa suara, matanya bengkak, dan ia tertidur karena begitu lelahnya. Di pagi harinya kakek melihatnya duduk di tangga depan panti. Ia melihat ke arah gerbang seperti menunggu. Ia sepertinya menunggu ayahnya untuk menjemputnya dari panti. Kakek berpikir bagaimana mungkin ia bisa melupakan kejadian yang menimpanya. Kakek berdiri di depan pintu, jarak yang cukup untuk mengawasi Wish. Sarapan pagi Wish tidak ia makan. Ia tidak ingin makan dan selalu menangis jika dipaksa. Di siang harinya, kakek merasa khawatir karena anak itu tidak juga makan. Ia mendekati Wish dan memberikannya sepiring nasi. “Ayo makan dulu.” ucap Kakek meletakkan nasi itu di pangkuan Wish lalu pergi karena Wish merasa terganggu jika ada yang duduk di sebelahnya. Wish hanya menatap nasi yang ada di pangkuannya dan tidak menyentuhnya sedikitpun. Wajah kakek yang masih memerhatikan dari jauh tampak memelas. Kakek tak ingin memaksa Wish untuk makan. Ia juga tidak menyuruh suster untuk mengurusnya. Ia takut bisa-bisa suster menjadi emosi dan memaksanya kasar agar mau makan. “Sudahlah kek, nanti dimakan juganya itu kalau lapar.” ucap seorang suster yang nyamperin kakek. Kakek menghirup napas dalam-dalam untuk menenangkan diri sambil mencoba mencari ide agar Wish mau makan. Ia teringat sesuatu. “Buku yang di kantong belanjaan dimana, Sus?” Tanya kakek memikirkan ide yang bisa membuat Wish ingin makan. “Saya taruh di rak buku di ruangan kakek.” Jawabnya melihat wajah kakek Kakek berjalan ke kantor dan mengambil buku dan meninggalkan suster dengan cepat. Ia berjalan ke kantornya lalu mengambil buku yang ia temukan di rumah kosong semalam. Kakek secara perlahan mendekati Wish dan berbicara lembut padanya. “Wish gak makan?” tanyanya dengan senyuman. Ia yakin bahwa rencananya ini akan berhasil. Wish menganggukkan kepalanya. “Kakek mau tanyalah.” Melihat wajah Wish dengan tatapan tulus. Wish melihat balik kakek. Kakek langsung berkata, “Wish mau bicara sama ayah?” “Mau,” ucapnya cepat dengan nada sedih. Suaranya sangat serak hampir tidak bersuara akibat menangis kemarin. “Wish bisa bicara sama ayah lho.” ucap kakek memberikan harapan palsu. “Oh ya? Bagaimana kek?” tanya Wish. Kakek tersadar berapa indahnya senyuman di wajah Wish. Kakek tersenyum balik dan mengusap rambut Wish. Jantungnya berdebar kencang berharap idenya itu tidaklah salah karena ia tahu bahwa rencana ini berlandaskan kebohongan. Kakek menyakinkan hatinya bahwa ini akan membuat anak itu punya keinginan untuk melanjutkan hidupnya. Ia merasa bahwa kebohongan ini memberikan dampak yang positif. “Kamu tau gak, kalau Ayah sudah jadi Bulan?” Lanjut kakek. “Oh ya?” Wish tampak bingung. Bagaimana bisa ayahnya menjadi Bulan. Namanya anak kecil, mereka lebih mudah percaya, meski tidak tahu kebenarannya. “Ya.. kamu butuh waktu untuk mempelajarinya.” Kakek berhenti berbicara, dan tampak berpikir kata-kata selanjutnya. “Wish bisa berbicara dengan ayah! Semua itu bisa Wish lakukan dengan mempelajari buku ini. Ini buku yang kakek dapat di rumah kemarin milik Ayah Wish. Lihatlah!” Jelas kakek lalu memberikannya kepada Wish. Cerminan wajah kakek memperlihatkan keyakinan yang pasti. Wish melihat buku yang diberikan kakek dan mengintip ekspresi wajah kakek yang tersenyum. Mendengar itu mata Wish berkaca-kaca. Ia merasa ada harapan untuk bertemu dengan ayahnya meski hanya dalam rangkaian kata-kata. “Benarkah kek? Jadi Wish bisa berbicara nantinya dengan ayah ya?” Tanya Wish lagi ingin menyakinkan apa yang ia dengar, dan membuka buku itu perlahan. “Benar.” Kakek mengangguk lalu melanjutkan, “Tapi, kamu harus giat belajar jika ingin mewujudkannya. Kamu bisa menemukan caranya di dalam buku ini. Buku Bulan.” Terang Kakek lagi. Ia mendapat ide itu dari judul buku yang ia temukan. Kakek tersenyum geli karena bisa membohongi anak kecil itu. Ia merasa bahwa idenya berjalan dengan baik dan misi berhasil. “Kalau begitu, kamu harus makan dulu. Biar bisa mempelajari buku yang tebal ini.” Jelas kakek. “Baiklah,” Wish langsung makan nasi yang ada di pangkuannya itu dengan lahap. Kakek bisa lihat bahwa anak itu benar-benar kelaparan. Wish memeluk buku yang diberikan kepadanya sambil menyuapkan nasi suap demi suap. 'Anak umur empat tahun bisa makan dengan rapi seperti orang dewasa?' Kakek terkejut dengan apa yang ia lihat. Kakek pergi meninggalkan Wish dan ia berpikir, semoga kata-katanya tak berdampak buruk bagi anak itu. Apalagi kalau ia tahu sewaktu besar bahwa itu hanyalah cerita bohong, tentu ia akan membenci sang kakek. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD