6. Tempat untuk Bahagia

1705 Words
"Bagaimana hasil wawancaramu?" Harley bertopang satu tangan di meja, tepat di samping tubuh Maira yang sedang mewadahi keping-keping coklat buatannya. Sementara Aisya terlihat sedang menarik kursi makan hendak naik dan duduk di atasnya. "Minggu depan pengumumannya, dan sepertinya aku akan tetap di rumah," jawab Maira tak semangat, tampak jelas dari kedua bahu wanita itu yang terangkat tak peduli. "Kau berubah pikiran? Tidak ingin membagi ilmu dengan anak-anak?" tanya pria itu lagi. "Bukan seperti itu, Mas. Aku yang tidak layak untuk mengajar mereka. Pendaftar yang lain memiliki ilmu yang lebih tinggi," jawab Maira. "Aisya mau makan coklatnya sekarang, Sayang?" Wanita itu langsung mengalihkan tatapan pada Aisya dan memberikan coklat padanya. Terlihat Aisya yang mengangguk antusias dengan senyum lebar. Gadis kecil itu menerima wadah sekaligus coklat dari tantenya. Maira mengusap lembut kepala Aisya. Sementara Harley memiringkan kepala. Dia mengerti tentang Maira yang sangat ingin menjadi pengajar di sekolah itu. Meski memang sebelum ini Harley tidak setuju jika istrinya bekerja, tetapi sekarang dia justru merasa tidak tega mendengar jawaban Maira, yang merendah sebab dirinya memang rendah. Harley tidak sedang menjudge ukuran tubuh istrinya yang memang sangat mungil, melainkan dia tahu persis bahwa Maira hanya tamatan madrasah aliyah. "Enak?" tanya Maira yang sejak tadi memperhatikan Aisya menikmati coklat buatannya. "Hmm, manis banget," jawab Aisya, khas dengan senyum ceria di wajah manisnya. Maira terkekeh lantas mencubit gemas hidung gadis kecil itu. "Manis, dong, persis seperti Aisya." Aisya ikutan terkekeh. "Tante Maira juga manis, kok. Buktinya Om Harley suka." Ucapan Aisya itu berhasil membuat semburat merah di wajah Maira tampak. Ditambah lagi ketika wanita itu mendapati suaminya yang tersenyum penuh makna sambil menatap ke arahnya. "Aisya belum tau? Tantenya Aisya ini wanita paling manis di dunia," ucap Harley pada gadis kecil di depan mereka. "Mas Kean …." Maira menyenggol kecil tubuh pria di sampingnya. Senyum tertahan dan raut tersipu tampak sangat jelas di wajah wanita itu. Harley tertawa. "Bukan begitu?" Aisya mengangguk menerimanya. "Mama Aisya juga wanita paling cantik di dunia, Aisya juga cantik." Dia menempelkan jari telunjuk di pipi, membuat wajahnya terlihat sangat lucu, membuat Harley dan Maira kembali tertawa. "Baiklah Aisya cantik," ucap Harley sambil mengusap kepala gadis kecil itu. "Sekarang di mana Lisa? Aku tidak melihatnya sejak tadi." Harley menyapu pandangan ke sekeliling. Maira menoleh ke arah tangga. "Dia belum turun dari tadi. Tidak apa, aku akan memanggilnya." Sementara Maira melangkah hendak menghampiri Lisa di kamarnya, Harley duduk di kursi makan menemani Aisya. *** Terlihat Lisa yang sedang duduk di sisi ranjang tempat tidur. Layar ponsel di tangannya itu menampilkan sebuah foto. Foto yang sering kali membuat hatinya iri dan terbakar api cemburu. Lisa pikir, cemburu pada seseorang yang masih hidup sangat lah menyakitkan. Namun fakta yang telah dia rasakan atas hal itu adalah salah. Cemburu pada seseorang yang sudah mati rasanya lebih menyakitkan. Seharusnya dia tahu jika hal ini akan terjadi. Seharusnya dia tidak menyanggupi syarat yang diberikan oleh suaminya sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Seharusnya, dia menyadari jika perasaan tidak akan mudah berubah. Ya, dia menyadari kalimat yang terakhir, tentang perasaan yang tidak akan mudah berubah. Sama halnya dengan dia yang sudah terlanjur mencintai pria itu, dan sulit untuk menekan perasaannya. Hal itu juga berlaku untuk William terhadap mendiang Melia, cinta pertama suaminya itu. "Kenapa aku masih menyimpan fotonya setelah tau bahwa dia membuat perasaanku hancur berkeping-keping …!" Lisa meremas kuat ponsel yang bertengger di tangannya. Kekuatannya itu terus bertambah seiring dengan pejaman mata yang semakin mengerat dengan gigi-gigi saling menggigit di dalam mulutnya. Dia tidak bisa berhenti sampai akhirnya terdengar suara ketukan di pintu kamar. Lisa membuka mata ketika mendengar suara retakan di layar ponselnya, diikuti dengan suara Maira yang memanggil, lalu pintu yang perlahan terbuka. "Lisa …?" panggil Maira. "Kau di dalam?" Maira menongolkan kepala dari balik pintu, lalu melangkah dan masuk ke kamar adik iparnya itu. Dilihatnya Lisa yang sedang duduk diam di sisi ranjang. Maira menyadari raut agak bingung di wajah Lisa. Kemudian dia juga melihat ponsel dengan layar hitam di tangan adik iparnya. "Kau sedang apa?" tanya Maira. "Em … aku … " Lisa menggantung ucapannya sampai kepalanya menunduk dan menyadari ponselnya yang sudah retak dan tidak bisa hidup, "aku harus memperbaiki ponselku," sambungnya. Lisa tersenyum tipis sambil menunjukkan layar ponselnya yang sudah retak dan tidak bisa digunakan. Maira menurunkan bahu-bahunya, sedikit lega sebab tidak mendapati masalah serius yang sedang dialami wanita yang belum lama menikah itu. "Kau ingin aku mengantarmu memperbaiki ponsel?" Maira menyentuh bahu Lisa setelah mendarat tepat di samping adik iparnya. "Tidak apa. Aku bisa meminta Mas William mengantarku nanti," jawab Lisa, yang tidak ingin sama sekali Maira mengetahui urusannya dengan William. Jawaban Lisa itu membuat Maira mengembangkan senyum dengan sedikit tawa bahagia. Selanjutnya dia mengusap bahu gadis itu. "Aku tau kalian memang saling mencintai." Maira menarik napas panjang, lalu menghela tenang, menyadari bahwa mereka sudah menemukan tempat masing-masing untuk bahagia. Kehidupan yang sudah lama Maira nanti-nantikan akhirnya datang pada waktu yang tepat. Wanita itu mengusap perutnya yang terasa menghangat. "Ayo, Mas Harley sudah ingin makan siang sekarang," ajak Maira. Lisa mengangguk dengan senyum yang masih bertahan di wajah cantiknya. Sampai Maira bangkit dari duduknya dan melangkah lebih dulu keluar dari kamar, perlahan senyum cantik di wajah Lisa pudar. Dilihatnya kembali ponsel yang sudah rusak dengan layar hitam retak. Bagus, dia tidak akan bisa melihat wajah itu lagi. Makan siang di rumah Harley hari itu berjalan lancar. Lisa mendapat beberapa pertanyaan dari kakaknya tentang kehidupan barunya. Lisa bisa meminimalisir kesulitan dalam menjawabnya. Namun, keberadaan Aisya di sana, membuatnya harus berpikir lebih keras untuk berbohong. "Bagaimana malammu?" tanya Harley. Lisa menoleh untuk memastikan bahwa kakaknya itu sedang bertanya padanya. "Baik," jawabnya, lalu kembali menyantap makan siang. "Hanya baik?" Pria itu terus bertanya seolah sedang memancing Lisa untuk menceritakan semuanya dengan detail. "Mas Kean jangan gitu, Lisa kan jadi malu," ucap Maira setelah menyadari bahwa suaminya itu sedang menggoda adiknya. Namun, bukannya meminimalisir perasaan malu Lisa, ucapan Maira barusan justru terdengar seperti mendukung godaan suaminya. Harley tertawa kecil menyadari maksud istrinya. Pria itu mencubit gemas bibir Maira yang maju sebab mengucapkan kata 'malu'. Lisa tersenyum singkat dengan tatapan turun. Dia sudah ingin menjawab, tetapi kalah cepat dengan putrinya. "Pastinya malam-malam mama menyenangkan karena mama tidur sama Aisya," jawab gadis kecil yang saat ini sudut-sudut bibirnya dipenuhi oleh coklat. Lisa tercekat tak jadi berucap, apalagi setelah dirinya menyadari kakak dan kakak iparnya itu menautkan kedua alis. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh mereka. Maka dari itu secepatnya Lisa memikirkan jawaban. "Ee, ya, aku memang lebih sering tidur dengan Aisya," jawab Lisa. "Tapi Aisya nggak tau kan kalau Mama sering pindah tengah malam ke kamar papa diam-diam biar Aisya nggak bangun. Aisya kan nggak bisa tidur kalau nggak ada Mama," ucap wanita itu sambil mengusap kepala Aisya, membuat Aisya menunjukkan cengir kuda. "Berarti tadi malam Mama diam-diam pindah ke kamar Papa." Lisa tertawa untuk membalas ucapan putrinya. Hal itu cukup untuk menjawab keheranan Maira juga Harley. Mereka tenang, setidaknya mereka tahu bahwa Lisa baik-baik saja. Setelah makan siang, Lisa menghampiri Harley yang terlihat sedang berkutat di depan laptop. Pria itu duduk di sofa ruang TV dengan beberapa coklat dan jus jeruk yang sudah disiapkan oleh Maira. Sementara Maira sedang menemani Aisya bermain di kolam renang halaman belakang. Harley menyadari seseorang yang baru saja mendarat di sebelahnya. Pria itu melirik sebelum akhirnya bertanya. "Kenapa?" Lisa merangkul dan menyandarkan kepala di bahu kakaknya. Kedua matanya terpejam. Sedetik kemudian, terdengar mulutnya mengeluarkan suara. "Kak, bukankah papa masih hidup, kenapa dia tidak pernah menemui kita?" Harley yang sudah merasakan ada yang tidak beres dengan Lisa sejak adiknya itu merangkul dan menyandarkan kepala pun semakin merasa nyata dengan hal itu setelah mendengar pertanyaannya. "Kenapa kau menanyakan pria itu? Dia bahkan sudah tidak mengenali kita," ucap Harley. "Dia pasti sangat menyayangi istri dan anaknya yang sekarang," kata Lisa. Harley menghela napas singkat. Sejak ibunya meninggal, ayahnya ikut pergi meninggalkan mereka. Jujur sebenarnya Harley sudah melupakan hal itu dan tidak ingin mengingatnya. Sikap ayahnya yang seperti itu lah yang dulu sempat membuat Harley jadi sosok yang menyeramkan, bersikap temperamen, dan sangat membenci pengkhianatan. Dia sudah jauh melupakan semua itu, juga melupakan Nessa yang membuat kehidupan kelamnya dahulu semakin lengkap. Harley tidak membutuhkan mereka lagi setelah kehadiran Maira. Berbeda dengan Lisa, yang saat ini sedang merasa tidak dihargai oleh kehidupan. Mengapa dia tidak bisa? Mengapa Lisa tidak bisa menjadi seperti Maira, atau seperti istri dari ayahnya yang sekarang, yang bahagia meski dengan pernikahan kedua suaminya. Lisa sempat berpikir jika dia akan baik-baik saja sebab melihat mereka. Kini dia menyesal sebab telah berpikir seperti itu. "Kau cemburu pada mereka? Apa kau merasa tidak disayangi sekarang?" tanya Harley. "Aku hanya rindu," jawab Lisa. "Pantas saja. Rasa rindumu membuat tubuhmu menjadi lebih berat." Harley sedikit menggoyangkan bahunya, seolah memberi isyarat bahwa dia tidak bisa fokus mengetik sebab Lisa merangkul lengannya. Wanita itu mendecak, lantas segera membebaskan tangan kakaknya. Detik berikutnya, Lisa mengeluarkan ponselnya yang rusak, lalu menunjukkannya pada Harley. "Ponselku rusak." Lagi-lagi Harley harus menghentikan kegiatannya. Pria itu menoleh dan menatap serius ke arah adiknya, yang jelas-jelas sudah memiliki suami. "Kenapa kau meminta padaku. Ke mana suamimu?" tuding pria itu. Lisa memajukan bibirnya. Wanita itu bangkit dari tempat duduk setelah mencibir pada kakaknya, "Pelit." Harley mengerjapkan mata dua kali. "Bukan seperti itu maksudku. Hei, Lisa." Panggilan itu tidak dihiraukan lagi oleh Lisa. Pria itu menghela napas sebelum akhirnya meraih ponsel untuk menghubungi suami adiknya. *** Di perusahaan, William terlihat sedang memandangi layar komputer di mejanya. Dia baru saja selesai makan siang. Kemudian dia menyadari ponselnya berdering. Mr. Harley is calling…. "Apa Mr. Harley sudah pulang?" William bertanya pada sekretaris boss-nya sebelum menjawab panggilan itu. "Sudah, Pak," jawab Deanu, membuat William segera menjawab panggilannya. "Selamat siang, Mr. Harley," sahut William tatkala ponsel itu menempel di telinganya. "Apa gajimu tidak cukup untuk membelikan ponsel buat Lisa?" tanya Harley tanpa basa-basi lagi. "Ponsel? Bukankah dia sudah memiliki ponsel?" Kedua alis William bertaut. "Jadi kau tidak tau kalau ponsel istrimu rusak?" "Rusak? Benarkah?" Terdengar hembusan napas dari seberang sana. "Tunggu, dari mana kau tau ponsel istriku rusak?" tanya William penasaran. "Lisa dan Aisya ada di rumahku sekarang." Sejenak William bergeming. Dia tidak tahu jika Lisa dan putrinya pergi ke rumah Harley. Lisa pun tidak berkata apa-apa padanya. Hal itu membuat William sedikit khawatir, tentang Lisa yang tidak akan menepati janjinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD