5. Seorang Istri yang Malang

1446 Words
Setelah sarapan, Maira duduk di kursi makan dengan laptop menyala di atas meja. Dia terlihat sedang mengisi berkas data yang harus dilengkapi untuk pendaftaran tenaga didik baru di yayasan insan pelita, merupakan sebuah yayasan pendidikan sepaket dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. "Kau ingin melamar ke sekolah itu sekarang?" tanya Harley yang saat ini sudah berdiri di belakang kursi Maira. Pria itu sudah rapi mengenakan seragam kantor, hanya saja kerah bajunya masih terbuka, dan dasi yang seharusnya terlilit rapi di leher masih berada di genggamannya. Sejenak Maira menghentikan kegiatannya untuk menoleh dan mengambil perhatian atas suaminya. Wanita itu merapikan kerah kemeja Harley, sedangkan suaminya itu mendekatkan wajah untuk melihat data diri yang sedang diisi Maira. "Kau tidak memasukkan data suami?" tanya pria itu, membuat Maira sontak tertawa geli. "Aku sedang melamar pekerjaan, Mas. Bukan mendaftarkan anak ke sekolah," jawab Maira. Tatapan Harley berpindah dari laptop ke mata istrinya. "Setidaknya mereka harus tau kalau kau sudah menikah. Mereka pasti akan mengira kau masih lajang jika melihat wajahmu." Sekali lagi, Maira tertawa. "Mas, statusku di CV sudah menikah, begitu juga di KTP, jadi Mas Kean tenang aja," kata wanita itu, gemas, bahkan kini kedua tangannya meremas kedua pipi Harley. "Baiklah, tidak terlalu buruk. Jadi kau ingin berangkat sekarang? Aku akan mengantarmu." Harley berkata setelah mencium kening istrinya. Namun Maira menolak dengan alasan belum menyelesaikan pengisian data diri. "Mas Kean duluan aja, aku juga belum print out data diriku. Nanti Mas Kean kesiangan." Harley melihat jam yang melingkar di tangannya, pukul delapan lewat lima belas menit. Pria itu hendak berkata lagi bahwa dia tidak akan kesiangan. Namun Maira seolah melarangnya untuk berkata. "Mas Kean nggak boleh kesiangan, nanti kliennya marah-marah, loh," kata Maira sambil meraih dasi di tangan pria itu, lalu memasangkannya di kerah baju Harley. "Siapa yang berani memarahiku?" Pria itu menaikkan satu alisnya. "Mungkin hanya istriku," tambahnya, membuat Maira lagi-lagi tertawa, tersipu malu sebab status istri yang disematkan pria itu untuknya. "Aku tidak akan marah jika Mas Kean datang ke kantor tepat waktu hari ini," ucap Maira, yang akhirnya tetap saja tidak mengizinkan Harley terlambat sebab menunggunya. "Baiklah kalau itu maumu. Seam akan mengantarmu hari ini." Maira tersenyum, melihat dasi yang dia lilit sudah terpasang rapi di kerah kemeja suaminya. Harley menunduk untuk melihat hasil karya istrinya. Detik berikutnya pria itu memberinya hadiah, sebuah kecupan manis di kepala wanitanya. "Thank you, Honey." Harley melangkah meninggalkan meja makan setelah mengizinkan Maira mencium punggung tangannya. Pria itu memakai jas biru gelap sebelum membawa tas berisi laptop dan file penting lainnya. Sebab Seam harus mengantar istrinya, Harley berangkat ke kantor dengan Pak Johan hari ini. *** Maira sudah berada di gedung HRD sekarang, hendak menyerahkan semua berkas-berkas data dirinya, juga melakukan wawancara singkat terkait keahliannya dalam bidang tertentu. Awalnya wanita itu sempat minder, apalagi setelah melihat rata-rata orang lain yang mendaftar adalah lulusan sarjana, sedangkan dia hanya lulusan madrasah aliah. Namun hatinya menguatkan diri sendiri. Maira melangkah menyusuri lorong setelah menyelesaikan wawancaranya. Seam yang sudah menunggunya di halaman parkir bersiap untuk membukakan pintu. Pria itu melihat sedikit raut murung di wajah nyonyanya, membuatnya segera mengambil simpati. "Apa kau baik-baik saja, Nyonya?" Maira mendongak untuk mengangguk dan mengulas senyum tipis. "Ya, terima kasih Seam," jawabnya. Wanita itu segera masuk sebelum raut murungnya kembali menyelimuti wajah dan membuat Seam bertanya lagi. Mobil melaju meninggalkan halaman parkir sekolah. Maira menjatuhkan pandangannya ke luar jendela. Benaknya masih memutar ulang bagaimana sikap HRD yang tadi mewawancarai para pelamar terhadap dirinya. "Kau lulusan MA di Ponpes Aliyah?" "Iya, Bu," jawab Maira dengan senyum mengembang di bibirnya. "Oke." Setelah mengatakan hal itu, wanita yang duduk di kursi HRD tidak lagi melirik Maira. Padahal sebelumnya pertanyaan yang wanita itu lontarkan untuk pelamar di samping kiri Maira sangat banyak, dan kini berbagai macam pertanyaan pun dia lontarkan pada pelamar di samping kanan Maira. Sikap sang HRD itu membuat rasa minder Maira kembali menyerang. Dia tidak dilirik lagi karena cuma lulusan MA. Ya, Maira sadar akan hal itu. Helaan napas panjang lolos dari hidung dan mulut wanita itu. Seam yang menyadarinya pun melirik dari kaca depan di tengah mobil. Pria itu bisa menarik kesimpulan bahwa saat ini nyonyanya sedang galau. Ketika sampai di rumah, Maira meletakkan sisa-sisa berkas data dirinya di sembarang tempat. Mood-nya menjadi semakin buruk sekarang. Pendidikannya tidak dilirik, kelulusannya dianggap remeh, bahkan dia tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk menjelaskan tentang keahliannya. Perasaan terdiskriminasi Maira rasakan saat ini. *** Di kantor, Harley terlihat masih menjalani meeting dengan beberapa pimpinan cabang perusahaannya. Kemudian dia mendapati ponselnya bergetar, sebuah panggilan masuk dari Seam. Pria itu segera bangkit dari kursi dan melangkah keluar untuk menjawab panggilan itu, meninggalkan para pemimpin cabang yang masih berdiskusi tentang kinerja dan sumber daya di tempat masing-masing. "Ada apa?" tanya Harley pada pria di seberang sana. "Maaf karena mengganggu waktunya, Tuan. Aku hanya ingin memberitahu bahwa wawancara nyonya tidak berjalan lancar hari ini." "Apa dia menangis?" tanya Harley lagi. "Tidak, Tuan. Hanya saja saat ini aku mendengar suara sound TV yang sangat besar." "Baiklah, terima kasih, Seam." Harley memutuskan sambungan telepon sebelum Seam sempat menjawab lagi. Dia kembali untuk menyelesaikan meeting para pimpinan secepat yang dia bisa. *** Seam menarik ponsel dari telinganya setelah Harley memutus sambungan itu. Dia sudah ingin melangkah dan masuk ke pos satpam, tetapi langkahnya terjeda sebab melihat Maira keluar dari rumah. Segera pria itu menghampirinya. "Kau ingin pergi ke mana, Nyonya?" Belum sempat Maira menjawab, seseorang sudah membuka pintu gerbang di depan rumahnya. "Tante Maira!" "Hei, Aisya, Sayang." Maira langsung berlari kecil untuk menangkap gadis yang berlari kencang ke arahnya. Sementara Seam segera menuju ke gerbang untuk membantu Lisa menutup kembali gerbang tinggi nan besar itu. "Terima kasih, Seam," ucap Lisa sambil melempar senyum pada pegawai baru di rumah kakaknya itu. Seam membungkuk sopan serta membalas senyum Lisa. "Aisya baru pulang sekolah?" Maira bertanya ramah pada gadis kecil yang selalu ceria itu. Aisya mengangguk antusias. "Mama bilang Tante Maira mau buat coklat, jadi Aisya main ke sini," kata bocah itu, membuat Maira menautkan kedua alis sebab dia tidak berkata seperti itu pada Lisa. Ketika Maira menoleh pada adik iparnya itu, tampak Lisa yang hanya mengulas senyum kecil. Dia memang berbohong pada Aisya. Namun dia beruntung sebab Maira wanita yang sangat baik dan tentu saja akan menuruti kemauan gadis kecilnya. "Aisya mau coklat ya? Kalau gitu ayuk kita buat bareng-bareng." Maira menuntun gadis kecil itu. Namun sebelum itu dia sempat bersalaman dengan Lisa juga bercium pipi dengannya. "Gimana kabarnya?" tanya Maira pada Lisa. Bukannya menjawab, Lisa malah cuma melempar senyum yang sulit Maira artikan. Gadis itu melangkah lebih dulu untuk masuk ke dalam rumah. Maira dapat melihat mood adik iparnya yang sedang tidak baik. Beruntung mood-nya sendiri sudah cukup membaik sebab kedatangan Lisa dan Aisya. "Ayo, Sayang," ajak Maira sambil menuntun tangan Aisya. Sepanjang Maira dan Aisya membuat coklat, Lisa tidak keluar dari kamarnya. Hal itu cukup untuk membuat Maira bertanya-tanya, ada apa dengan adik iparnya itu? Sejak menginjakkan kaki ke rumah ini, Lisa tampak tidak semangat, seperti sedang menyembunyikan sesuatu di balik senyum tipis dan raut santainya. "Aisya, apa Mama sakit?" tanya Maira pada Aisya yang sedang menaburkan butiran warna-warni di atas coklat buatan mereka. "Nggak, Mama baik-baik aja, kok," jawab Aisya apa adanya. Maira menoleh ke arah tangga, tidak ada tanda-tanda Lisa akan turun dari kamarnya. Helaan napas khawatir lolos dari mulut Maira. Dia berharap tidak ada masalah serius yang sedang dialami adik iparnya itu. Ketika coklat buatan Maira hampir sempurna, Aisya melihat Harley yang sedang berjalan mengendap-endap ke arah mereka. Gadis kecil itu mendapat isyarat dari oomnya untuk tidak memberitahu Maira tentang keberadaannya. Aisya menutup mulut sambil menahan tawa, membuat Maira yang melihatnya menautkan kedua alis heran. "Aisya kenapa? Ada yang lucu?" tanya Maira. Dia tidak tahu kalau Harley sudah berdiri tepat di belakangnya. Sampai akhirnya Maira menyadari tatapan dan senyum tawa Aisya. Wanita itu menoleh ke belakang, lalu dia terkejut bukan main sebab keberadaan suaminya, dengan bunga mawar putih bergerombol merekah di depan mata. "Mas Kean ... kaget," protes Maira dengan nada turun dan suara melemah, membuat Aisya dan Harley menertawakannya. "Aisya kerjasama sama Om Harley buat kagetin Tante ya, hiih," ucap Maira gemas sambil menggelitik pinggang Aisya. Gadis kecil itu tertawa, diikuti oleh Harley yang menepuk-nepuk kepala istrinya. Awalnya Harley mengira jika mood istrinya masih buruk sebab wawancaranya tidak berjalan lancar, itu sebabnya dia membawakan hadiah setidaknya agar wanita kesayangannya itu tidak merasa gagal. Namun sekarang Harley lega sebab mendapati Maira tidak semurung itu. Lisa menghentikan sejenak langkahnya pada anak tangga. Dia melihat keluarga yang tampak sangat bahagia di sana, membuat sanubarinya terkoyak, mengingat bahwa dia tidak bisa mendapatkan kebahagiaan seperti itu dari suaminya. Kedua kaki Lisa memutuskan untuk putar balik, naik kembali ke atas, untuk mendekam sedikit lebih lama di dalam kamarnya, sendirian. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD