Bunyi alarm berdering nyaring membuat Krisna terpaksa bangun. Pria itu bangkit dan mematikan beker itu. Sembari menguap dia bangkit dan menuju kamar mandi. Secepat kilat dia mandi lalu berganti pakaian. Sistem kerja di perusahaannya sekarang sangat ketat. Terlambat beberapa menit saja bisa jadi masalah besar. Maklumlah, perusahaan milik asing memang sangat mementingkan etos kerja.
Krisna membayangkan bahwa di masa depan dia ingin mendirikan perusahaannya sendiri. Di mana dia bisa bekerja sesuka hati. Pasti asyik sekali. Sepertinya itu mungkin jika dia bekerja sebagai seorang konsultan Amdal. Namun tabungannya saat ini masih sangat minim. Dia harus bekerja keras mengumpulkan modal dulu untuk mewujudkan cita-citanya itu.
Setelah mengenakan seragam, Krisna menuju cermin untuk merapikan dasinya. Hari ini hari Senin. Akan ada semacam apel pagi. Jadi dia terpaksa mengenakan seragam. Padahal dia terbiasa dengan baju perang. Untuk hari ini saja dia harus tampil rapi.
Mata Krisna tertuju pada satu pigura di depan cermin. Pigura berisi foto yang diambil sepuluh tahun lalu ketika dia masih bocah kelas satu SMA. Bersama teman-temannya mereka berwisata bersama ke pantai. Krisna berdecih. Entah mengapa dia tak bisa menyingkirkannya meskipun sangat membenci potret itu. Maka Krisna menggulingkan pigura itu sehingga dia tak harus melihat wajah-wajah menyebalkan itu lagi.
Krisna melihat bungkusan keresek hitam di atas meja makan. Dia memandangi isinya yang berupa mainan robot-robotan kesukaan anak SD. Krisna menghela napas lalu meraih benda itu bersamanya. Hari ini dia harus mencoba lagi. Walaupun sudah sembilan tahun ditolak, Krisna belum mau menyerah. Katanya sebuah batu bisa hancur bila ditetesi air terus menerus. Itulah yang dipercayai oleh Krisna. Dia berharap dalam hatinya bahwa suatu saat usahanya ini akan berhasil.
Setelah dasinya cukup rapi, Krisna mengeluarkan vespa buntutnya dari garasi. Dia bersyukur benda itu bisa menyala sekali gas saja. Sebenarnya dia sangat ingin membeli motor baru, tapi tabungannya belum cukup. Tak lupa cowok itu membawa serta mainan robot yang dia beli kemarin. Hari ini dia harus menyerahkannya pada Biru, walaupun mungkin ibu anak itu akan membuangnya ke tempat sampah. Krisna tetap harus menunjukkan kesungguhannya. Siapa tahu suatu saat wanita itu akan luluh.
Krisna memandangi sejenak rumah sebelum pergi. Ternyata tinggal sendiri itu rasanya begitu sepi. Dulu setidaknya dia punya kesenangan membuat ibu tirinya yang sok itu sakit hati dan menangis. Sekarang dia sudah tak bisa melakukannya lagi.
Krisna mengegas motornya. Dia menyusuri kampung menuju perusahaan. Sepuluh tahun telah berlalu dan tempat ini sudah sangat berbeda. Jalan-jalan makadam sudah diaspal. Kendaraan menjadi lebih ramai. Di depannya, Krisna melihat seorang wanita yang mengenakan seragam kantornya. Krisna memelankan motor mau menyapa, tapi wajah wanita itu membuatnya ragu. Wanita itu tampak tak asing. Dia mirip dengan seseorang. Salah satu anggota gengnya dulu.
Ah, mustahil. Anak itu sudah pergi sepuluh tahun lalu dan tak pernah kembali. Mungkin dia hanya berhalusinasi saja. Krisna mengurungkan niat menyapa dan mempercepat laju motornya. Begitu sampai di kantor dia mengikuti apel tanpa minat seperti biasa. Berpura-pura meneriakkan yel-yel perusahaan dengan semangat seperti teman-temannya, lalu berganti seragam tempur. Baju orange lengan panjang, celana panjang coverall, helm, celemek, satung tangan, kacamata google, masker dan terakhir sepatu boots. Dia lalu keluar ruang ganti bersama teman-temanya menuju ruang IPAL*.
"Pegawai baru yang dimutasi itu katanya cantik," kata bosnya, Pak Indra.
"PDKT sana, Kris."
Krisna hanya tersenyum garing. Dia sangat sering dibully senior gara-gara status jomblonya. Namun Krisna sama sekali tak peduli. Krisna sama sekali tak tertarik berpacaran. Hanya ada satu orang yang sangat ingin dia nikahi sejak sembilan tahun yang lalu. Sayangnya wanita itu sangat amat membencinya. Tak ada yang sanggup diperbuat oleh Krisna. Dirinya memang pantas dibenci. Kini hanya berharap bahwa suatu saat nanti wanita itu akan memaafkannya.
Saat Krisna bersama anak IPAL yang lain tengah brieffing sebelum bekerja, Pak Mahmud dari HRD masuk ruangan mereka membawa serta seorang cewek cantik. Krisna hampir menahan napas. Itu cewek yang tadi pagi, yang wajahnya mirip banget sama anak itu.
"Ini Mbak Jingga, staf QC* yang baru pindah dari Jakarta," pria tambun itu.
"Selamat datang, Mbak Jingga, semoga betah bekerja di sini," ucap Pak Indra ramah.
"Terima kasih, mohon bimbingan dan bantuannya, Pak," angguk cewek itu.
Krisna tertegun. Kebetulan yang luar biasa. Bukan hanya mirip, bahkan namanya sama. Apakah mungkin? Matanya dan wanita itu bertemu sehingga rasanya jadi agak canggung. Untungnya Pak Mahmud segera membawa cewek itu pergi.
"Nggak mungkin itu dia, kan?" gumam Krisna. Dalam hati, dia ingin membuktikan apa cewek itu tadi emang Jingga, teman sekolahnya dulu.
***
Krisna melihat gadis itu lagi di ruang makan. Dia berdiri di depan hidangan prasmanan yang disediakan oleh perusahaan. Cowok itu memberanikan diri mendekat. Dia berpura-pura hendak mengambil nampan yang sama sehingga tangan mereka bersentuhan.
"Silakan duluan," ucap gadis itu canggung.
Krisna malah melamun. Dia memandangi wanita itu dari atas sampai bawah. Wajahnya begitu mirip dengan Jingga, tapi wanita ini begitu feminim dan cantik. Beda dengan cewek itu yang tomboy dan dekil.
"Apa kamu pernah bersekolah di SMA X?" tanya Krisna.
Cewek itu tertegun. Dia memandangi Krisna dengan serius. "Krisna?" tegurnya ragu-ragu.
Krisna mengembangkan senyum. "Ternyata memang kamu. Sebenarnya aku sudah curiga dari tadi, tapi aku nggak yakin gara-gara penampilanmu berubah dratis. Apa kabar, Jingga?"
"Krisna!" seru cewek itu riang. "Ya ampun, bagaimana kamu bisa jadi gagah begini!" Cewek itu mengacak-acak pomadenya seenaknya sehingga Krisna meronta.
"Ya ampun, lihat rambutmu yang dulu kurang gizi ini. Sekarang jadi keren begini!"
Krisna mencekal tangan Jingga sambil mendengus. "Aku menata rambut ini empat puluh menit tahu!" protes Krisna kesal. Pomadenya kini jadi hancur.
Jingga hanya tergelak saja. Sama sekali tak ada rasa bersalah. Dasar cewek semprul. Krisna mendesis meskipun dalam hati dia tersenyum. Dia sungguh tak menyangka dia akan bisa bertemu dengan Jingga lagi. Meskipun dia enggan untuk bertemu dengan teman-temannya semasa SMA dulu, Jingga selalu menjadi pengecualian.
***