Krisna duduk atas karpet beludru warna Biru. Dia memandangi barang-barang di dalam kamar ini yang serba biru. Mulai dari seprei, lemari, bahkan cat dinding. Semua sesuai dengan nama pemilik kamar ini, Samudra Biru. Hari minggu yang sial ini, dia terdampar di sini bersama kelompok Bahasa Indonesia. Mereka harus mempersiapkan artikel dan hiasan untuk tugas mading yang dikumpulkan besok.
"Kenapa, Kris?" tanya Biru yang sadar dengan ketidaknyamanan temannya itu.
"Matamu nggak siwer apa lihat warna biru semua gini?" tegur Krisna.
"Nggak juga, warna biru, sangat sesuai dengan namaku," ucap cowok itu bangga.
"Kamarmu pasti serba hitam," kata Biru.
"Kok tahu?" tanya Krisna heran.
"Asal tebak aja, karena namamu Krisna."
Krisna tak menjawab. Namanya dalam bahasa sanskerta berarti hitam. Tak ada hubungannya dengan namanya sih, tapi dia memang suka lihat warna itu. Warna hitam kan nggak kelihatan kotor meskipun bertahun-tahun nggak dicuci. Itulah alasannya menyukai warna tersebut.
"Emangnya, kamarmu serba Jingga?" tanya Krisna pada Jingga.
Cewek itu menggeleng. "Sebenarnya aku suka warna putih," akunya.
"Aku! Aku! Kamarku serba hijau!" Erwin tiba-tiba ikut berceloteh. Sebenarnya baru kemarin cowok itu tahu bahwa nama belakangnya, Fairuz, itu berarti hijau.
"Bahkan kolorku sekarang warnanya juga hijau," ucapnya bangga.
"Aku nggak kepengen tahu warna kolormu!" ucap Krisna sambil mengernyit.
Teman-temannya yang lain langsung tertawa lepas.
"Kalau warna celana dalamnya Rosa penasaran nggak?" goda Jingga.
Krisna dan Rosa terdiam dan berpandangan. Si cewek make up tebal itu menyeringai licik. "Mau aku kasih lihat?" tawarnya.
"Nggak minat!" elak Krisna, tapi pipinya bersemu juga.
"Cie, cie!" Seru Biru, Erwin dan Jingga kompak.
"Teman-teman, sudah, ayo dong kerjakan tugas. Jangan ngomongin hal v****r terus," lirih Vio.
"Erwin tuh, duluan ngomongin kolor!" tuduh Jingga.
Erwin garuk-garuk kepala, lalu bertanya pada Biru. "v****r apaan sih?"
"v****r itu hal yang romantis dan disukai cewek," dusta Biru.
"Oh, gitu." Erwin manggut-manggut sehingga semua menertawakannya. Ini anak emang lugunya kebangetan.
Hanya Vio yang nggak tertawa. "Biru!" Cewek itu memprotes karena Biru sengaja membodohi Erwin, tapi cowok itu malah terkekeh.
"Haus nih, Ros, ambilin minum di dapur dong," titah Biru.
"Kok aku! Ini kan rumahmu!" dengus Rosa.
"Soalnya kamu paling deket sama pintu, lagian kamu sudah tahu tempatnya, kan?" ucap cowok itu sambil meringis.
Rosa mendengus tapi dia bangkit juga. Tepat setelah membuka pintu dia melihat seorang pria berdiri sana. Itu Kak Juna. Wajahnya mirip dengan Biru tapi lebih dewasa sehingga terlihat lebih berkharisma. Mahasiswa itu memang keren.
"Ada apaan, Kak?" tanya Biru heran. Biasanya kakaknya itu tak pernah keluar kamar kalau hari minggu begini. Dia mati, setelah seminggu penuh belajar materi kuliah kedokteran dan sorenya masih harus pacaran.
Kak Juna berdeham-deham lalu tersenyum manis. Ada cewek dengan body aduhai di depannya gini, dia harus jaga image. Padahal sebenarnya tadi mau mengamuk karena teman-teman adiknya itu terlalu berisik dan mengganggu hibernasinya.
"Ehem, aku mau nawarin kalian minuman," ucap Juna berubah haluan.
Biru mengerutkan kening. Kakaknya kerasukan apa kok jadi perhatian begitu?
"Aku s**u coklat, ya Kak," ucap Erwin tak tahu diri.
"Aku jus jeruk." Jingga malah ikutan.
"Aku es teh," kata Biru
"Air putih saja," lirih Vio.
Juna tersenyum makin lebar meski hatinya mendongkol. Teman-teman Biru ini, dikasih hati minta rempela. Pesan seenaknya kayak di warung! Kurang ajar!
"Oke, bisa bantu aku, kan, siapa namamu?" tanya Juna pada Rosa.
"Rosa, Kak," jawab gadis itu sembari menyibak rambutnya ke belakang telinga.
Manis banget. Sayangnya belum cukup umur. Lihat ajalah beberapa tahun ke depan. Kayaknya bisa dijadiin koleksi, yang penting sekarang jaim dulu. Begitu pikir Juna.
Biru mencebik melihat interaksi tidak biasa antara kakaknya dan Rosa. Hm, rasanya dia tahu kenapa kakaknya itu tiba-tiba jadi sok baik. Dasar penjahat kelamin, nggak bisa lihat cewek bening sedikit.
Setelah Rosa dan Juna berlalu. Biru membaringkan badan di kasur dengan malas.
"Bosan," ujarnya.
"Ini ada tugas buat dikerjain, Ru." Vio mengingatkan.
"Males ah!" tolak Biru. Cowok itu bangkit lalu menunjuk Krisna dan Erwin. "Ayo kalian berdua duel aja. Adu panco gimana? Pasti seru tuh. Aku penasaran siapa yang lebih kuat diantara kalian."
"Boleh juga." Erwin langsung setuju.
"Oke!" Krisna menyeringai. Inilah saatnya dia membuktikan dominasinya.
Maka dua cowok itu menggulung lengan baju. Jingga melongo melihat massa otot bisep Krisna yang ternyata kokoh. Padahal cowok itu kelihatannya kurus. Erwin dan Krisna lalu menautkan tangan mereka.
"Kenapa nggak kamu aja yang lawan Krisna, Ru?" tanya Vio.
"Langsung remuk tulangnya nanti," olok Jingga pasalnya Biru memang terlalu kurus, jauh kelasnya jika dibandingkan dengan Krisna yang seperti atlet binaraga.
Tidak memedulikan olokan dari teman-teman wanitanya itu, Biru langsung nyerocos seolah dirinya MC pertandingan tinju.
"Selamat siang hadirin, siang ini kita akan menyaksikan duel maut, spektakuler! Di sudut hijau ada Erwin, di sudut hitam ada Krisna, siapakah yang akan menang?"
"Mari bersiap, mulai dari hitungan ketiga! Satu ... Dua ... Tiga!"
Erwin dan Krisna mengerahkan seluruh kekuatannya untuk saling menjatuhkan. Awalnya Erwin lebih unggul. Namun tiba-tiba Krisna membalik keadaan dan menang. Biru melongo tak percaya. Padahal dia sangat yakin, bahwa Erwin yang bongsor akan menang. Krisna tergelak penuh kebanggaan.
"Siapa berani lawan aku lagi?" kata Krisna. Maksudnya menantang Biru yang kurus kering, tapi yang maju malah Jingga.
"Aku! Aku! Aku mau!" seru cewek tomboy itu.
Krisna berdecak. "Aku nggak ngelawan cewek!" tolaknya.
"Kamu takut kalah sama aku?" cemooh Jingga.
"Kata kalah sudah lama kuhapus dari kamusku. Ayo sini!" tegas Krisna. Dia terpancing juga.
Cowok itu terkejut saat memegang tangan Jingga. Tangannya kecil, halus dan lembut. Jadi gini ya rasanya megang tangan cewek itu? Krisna malah salah fokus. Pipinya jadi bersemu merah dan jantungnya berdebar. Dia tak mendengarkan aba-aba dari Biru tahu-tahu saja tangannya sudah dijatuhkan oleh Jingga.
***