Cara Luka Menjatuhkan Air Mata

1129 Words
Chapter two Sebulan kemudian. Pagi itu, seperti biasa aku menyiapkan secangkir teh untuk menemani roti sebagai sarapan Mas Axel. Laki-laki yang amat aku cintai itu makin aneh belakangan ini. Dia kerap kali pulang larut dan membiarkan aku menunggunya di ruang tamu. Melempar tas kerjanya dan memintaku menyiapkan air hangat untuknya mandi. Selalu begitu. Aku masih menjadi Zanna yang memiliki keyakinan bahwa suatu hari, hati Mas Axel akan luluh karena kesabaranku. Suamiku biasanya makan dengan cepat, dia benar-benar tak nyaman jika berada di sisiku. Biasanya dia membawa serta roti sarapannya saat pergi bekerja dan lebih memilih menyantapnya dalam perjalanan ke kantor. Ya, aku sudah mulai terbiasa dengan rentetan luka di hatiku, luka-luka kecil yang kemudian akan segera menjadi luka besar menganga. Namun hari itu, dia terlihat tak seperti biasannya. Cukup lama dia diam setelah sarapannya habis. Aku yang selalu setia menemaninya saat makan, tetap duduk di hadapannya. “Zanna,” panggilnya dengan suara pelan yang cukup asing bagiku. Biasanya dia berteriak, menghardik dan bicara dengan nada tinggi. Aku yang kini lebih suka menunduk, menaikan dagu dan menatapnya. Apakah gerangan yang akan dia katakkan, benakku bertanya-tanya. “Aku sudah memikirkan ini dengan baik.” “Tentang apa?” tenggorokanku tercekat, ada rasa tak enak muncul secara tiba-tiba. “Kau tahu? Betapa tersiksanya aku jika beberapa teman kerjaku mulai bercerita dengan antusias tentang malam pertamanya, tentang bagaimana sprei kamar pengantin mereka yang memiliki noda darah disana.” Dia kemudian diam, mengambil nafas. Rasa pedih mulai menjalar lagi, sekuat tenaga kutahan bulir-bulir perih ini. Lagi-lagi dia membahas hal itu, obsesinya yang tak berujung. Dan seperti tak akan ada jalan keluar lain bagi pemikiran sepihaknya itu. “Dan, hari ini mungkin sebaiknya aku memberitahumu, tentang rencana pernikahan aku dan Clarissa.” Ucapnya lancar tanpa menatap mataku. Seketika tubuh ini gemetar, Iris mataku membulat dengan tanda kesedihan menggenang disana. Kutatap lekat-lekat laki-laki itu, si pemilik hati yang tercinta. Wajahnya datar, tak nampak rasa iba disana. Kata-kata itu terasa menebas jalan nafasku, membuat tubuhku hampir limbung. Ketika luka dalam ini tak mampu diutarakan, maka air mata jatuh tanpa di isyaratkan. Tetesan hangat itu kemudian jatuh berderai tak tertahankan. Seperti tersengat jutaan belut listrik di sekujur tubuh. Sekuat tenaga mempertahankan kesadaran ini, pandangan rasanya semakin meredup. Aku berpegangan pada sisi meja makan di hadapan Mas Axel memalingkan tatapannya lagi saat mata basahku terfokus padanya, menyuratkan beragam tanya yang tak sanggup kulontarkan. “Aku sudah membahasnya dengan Ibu dan Bapakku, tinggal aku menyampaikan ini padamu. Tolong mengertilah, dan akupun takkan menceraikanmu walau tipuanmu sungguh merusak hidupku.” Mas Axek lalu pergi tanpa menunggu jawabanku. Ya, dia tak memerlukan jawabanku. “Mas!” panggilku yang ingin membicarakan masalah ini lebih jauh. Susah payah aku mengucapkan kata itu. “Tolong, aku benar-benar sudah tak ingin berdebat denganmu, Zanna!” Dia bicara sambil memperlihatkan punggungnya padaku, sama sekali tak menoleh. Sekeras apapun usahaku untuk tegar, aku tetap menangis. Ternyata luka memang selalu punya cara untuk membuat air mata jatuh. Ketulusan cinta ini takkan mudah untuk merelakan, tak akan mampu melepaskan. Namun, ditengah kepedihan ini berkali-kali sebuah kalimat melekat erat ‘aku baik-baik saja’. *** Keeseokan harinya Mas Axel mengatakan padakku bahwa akhir pekan ini dia akan menikahi Clarissa. Wanita yang dia kagumi karena hijab panjangnya. Aku tak habis pikir, wanita macam apa yang sanggup merenggut suami milik wanita lain. Terlebih kami belum sebulan menikah. “Aku akan tetap bertanggung jawab atas dirimu, sehat atau pun sakit, kau tetap akan aku nafkahi dengan baik.” Mas Axel bicara seraya merapikan dasinya, sementara aku terduduk lemas di tempat tidur. Tempat tidur terdingin sepanjang hidupku. Aku ingin berteriak sekencang mungkin untuk berkata tidak pada rencana Mas Axel yang sangat konyol itu. Tapi, aku hanya bisa tertegun dengan tubuh gemetar dan lidah kelu. Tak satupun bait bentuk protes yang berhasil meluncur dari bibirku yang seolah membeku. Jemari ini saling meremas di pangkuan. Pandangan tetap menunduk dalam, memperhatikan ruas-ruas benda lentik yang saling berpautan. Mas Axel, finansial memang bukan masalah besar baginya, bisnis kuliner warisan orangtuanya berkembang pesat. Dijadikannya restoran waralaba yang cabangnya tersebar ke seluruh pelosok negri ini. Tapi, tetap saja. Seberapa banyak lembaran pun yang dia berikan padakku, takkan bisa menutup lubang terkoyak di hatiku. Rasa sakit ini, tak akan bisa mengering meski ditaburi kepingan-kepingan logam mulia dengan kadar tinggi. Aku hancur dalam diam. Seolah Mas Axel telah merebut semua daya yang aku punya. Kehancuran hakiki seorang wanita adalah saat dia harus membagi laki-lakinya dengan wanita lain. Sungguh, aku hancur. Membayangkan Mas Axel bersanding dengan wanita lain. Membayangkan saja aku tak sanggup. Aku tak sanggup. Aku hancur. “Dengar! Aku bicara padamu hanya untuk memberitahukan ini padamu. Bukan untuk meminta izin atau restu darimu sebagai istri pertamaku!” ujarnya, oh lukaku sepertinya bertambah parah. Dia menaburi garam di atasnya. Kejam sekali kamu, Mas. Aku menangis tanpa suara. Menunduk dan menahan sakit yang amat sangat di dadda. Apakah, apakah jika aku memohon dia akan iba padaku dan melupakan niatnya untuk menikahi Mbak Clarissa? Apakah, jika aku bersujud di kakinya, dia akan mau mendengar penjelasanku tentang darah perawan itu? Daddaku sesak, aku sulit bernafas. “Dan, saat kamu mengadukan aku kepada kedua orang tuamu. Tolong, adukan juga tentang dirimu yang sungguh tidak bermoral! Tidur dengan laki-laki lain dan kemudian tega menipuku dan menerima pinanganku tanpa peduli dengan perasaanku. Katakan itu semua pada Ayah dan Bundamu, kamu mengerti kan Zanna?” “Mas..” Aku tergugu. Tega nian dia bicara sekasar itu padaku, siapa yang sudah tidur bersama laki-laki lain? Kenapa nada bicaranya seolah dia tahu segalanya? Dia hanya salah paham. Semuanya dapat dipatahkan oleh penjelasan medis tapi dia tak mau tahu. Adilkah itu? ataukah ini hanya akal-akalannya saja agar beristri banyak? Berbagai asumsi tumbuh subur di kepalaku. “Aku sudah memberitahu Ibu dan Bapakku soal masalah kita. Dan, mereka bilang aku selalu berhak memutuskan untuk menikah lagi atau tidak!” Mas Axel mengedikkan bahu. “Ya Allah..” ratapku nelangsa. Kenapa mereka semua begitu tega, memperlakukan aku bagai benda tak berharga. Apa yang harus aku lakukan? Bunda, Zanna harus bagaimana?” Mas Axel kemudian meninggalkan aku begitu saja setelah menyemprotkan parfum ke belakang telinganya. Dia bahkan sempat bersiul pelan tatkala menyisir rambut hitamnya. Sekejam itukah Axel yang sebenarnya? Haruskah dia bertindak sejauh itu padaku yang dia pinang dengan ribuan janji manis? Ataukah, obsesinya pada darah perawan membuatnya amnesia? Terdengar suara mesin mobil menderu, kemudian menjauh. Aku merosot ke lantai dan tertunduk. Air mataku kini bebas mengalir. Aku puaskan diriku untuk melepaskan lara ini, menangis memang tak menghadirkan solusi apapun. Akan tetapi, ini jadi sebuah cara agar aku merasa lebih tenang. Paling tidak, sampai sesak di daddaku mereda. "Bunda.." kusebut nama itu berkali-kali. Haruskah aku membagi lukaku padamu, Bunda? Tegakah aku memberimu kabar buruk seperti ini? Wanita anggun itu, satu-satunya yang muncul di hadapanku saat ini. Apa yang akan dia katakan saat tahu putrinya merana seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD