Tiga Belas

1100 Words
Hal yang tidak ingin Jesty lakukan lagi di rumah ini yaitu kembali datang ke kamar Elwin. Sewajarnya, keinginan akan terjadi jika ketidakinginan itu kuat. Ya, pada akhirnya ia menginjakkan kaki di kamar ini lagi. "Mas tiduran aja kalau masih pusing. Aku sudah buatkan bubur." Jesty duduk di dekat ranjang tempat Elwin berbaring, dengan semangkuk bubur di tangannya. Tadi setelah Elwin memberinya sepiring spaghetti ala dia, pria itu tiba-tiba tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya sendiri. Akan jatuh ke lantai jika Jesty tidak cepat menangkap tubuh Elwin. "Mas tidak apa-apa, Jesty." "Bukan tidak apa-apa. Itu jelas kenapa-napa. Pusingnya pasti dari luka itu. Mas harus banyak beristirahat, " omel Jesty. "Kalau mas enggak mau istirahat, nanti enggak sembuh-sembuh. Mau apa sakit terus?" Elwin menggelengkan kepalanya. Aku juga enggak mau di sini terus kali. "Makanya, istirahat. Minum obat, buat apa obat kalau enggak di minum. Buat pajangan?" "Mas lupa, Jesty." Lupa. Olahraga enggak lupa. Buat apa tubuh bagus, kalau ujungnya sakit juga. "Ya sudah. Nih makan buburnya." Lagi Elwin menggelengkan kepalanya. "Mas enggak mau makan bubur. Mas mau spaghetti buatan Mas tadi, Jesty." "No-No." Kali ini giliran Jesty yang menggelengkan kepalanya. "Makan bubur, Mas." "Tapi Mas mau itu, Jesty," rengek Elwin, tidak sadar umur. Kayak anak kecil, sungguh. "Mas sedang sakit loh. Ini Jesty sudah susah-susah buat. Enggak di makan. Padahal Jesty makan masakan mas Elwin loh. Jahat banget. Mas kejam tahu enggak." Dramatisir Jesty. Ia jadi mengingat kata-kata dalam film romantis yang tidak pernah ia tonton, tahu dari cuplikannya saja tapi ngena sekali. Elwin menatap Jesty tanpa kedip. Sadar apa yang ia lakukan menyakiti hati Jesty. Ia pun mau makan bubur buatan Jesty. "Mas mau kalau Jesty suap." "Banyak mau!" "Ya sudah, mas enggak mau makan." "Astaga, Oke!" Melihat senyum kemenangan di wajah Elwin, membuat Jesty ingin memukuli pria itu sungguh. Lumayan buat pelampiasan kekesalannya. Lagi-lagi luka itu menghalangi niat buruknya. Pas sekali. Dosa apa aku Tuhan. *** "Tanggung jawab, sudah selesai. Semoga habis minum obat tidurnya lama. Biar bebas," ucap Jesty kesenangan. "Tapi apa yang harus aku lakukan? lama-lama bosan juga." Jesty jadi kebingungan sendiri. Bebas sih bebas. Kebebasan yang membosankan. "Room tour lagi kali ya?" Jesty menatap langit-langit rumah Elwin. Berpikir. "Boleh deh. Penasaran juga." Room tour Jesty di mulai dari lantai bawah, pasalnya ia baru dari dapur. Meletakkan peralatan makan yang sudah Elwin gunakan. "Aku penasaran dengan ruangan itu." pandangan Jesty tertuju pada salah satu ruangan. Ruangan paling dekat dengan dapur. Berdampingan dengan kamar mandi dapur lagi. "Apa ini gudang ya?" tanya Jesty pada dirinya sendiri. "Tidak mungkin gudang. Pintunya sebagus ini. Beda dari yang lain lagi." Jesty meraba-raba pintu bercat putih dengan ukiran dan hiasan yang unik, sebelum kemudian memegang ganggang pintu. "Semoga tidak di kunci." "Hah, syukurlah." keberuntungan berada di pihak Jesty. Ia berhasil membuka pintu tanpa halangan. "Wah, perpustakaan ternyata." baru di ambang pintu, mata Jesty langsung di suguhkan rak-rak berisi banyak buku. Sangking banyaknya, mungkin tidak bisa di hitung. Bisa sih, bagi yang mau hitung saja. Ia mana mau hitung. Buang-buang energi. Menutup pintu, mata Jesty mulai menjelajah setiap rak-rak di sana. Semua rak menempel di dinding. Menyisakan space kosong di tengah. Membiarkan meja kecil dan sofa tunggal di sana menguasai. Sofa yang di letakkan di posisi yang pas, menghadap jendela. Jadi enak buat baca. "Aku bisa betah di sini berjam-jam kalau bacaannya menarik. Mari kita cari buku dan baca." Jesty menuju rak di samping kanan. Terlihat buku-buku di sana lebih menarik karena banyak warna cerah. Tidak berwarna gelap di sebelah kiri. Ia kira, itu pasti novel-novel. Iya itu. Yah, yang Jesty lupa, mana mungkin pria seperti Elwin membaca novel. Jesty memang sangat pintar. Baru akan mengambil buku, tiba-tiba rak di depannya tertarik mundur lalu perlahan terbuka membuat jantung Jesty berdegup kencang. Tentu saja. Siapa yang tidak kaget coba, di kejutkan dengan hal seperti ini. Pasti kagetlah. "Gelap sekali," gumam Jesty sembari bersendekap. Jujur ia takut gelap, ia bersendekap bukan berarti menantang. Pura-pura tidak takut saja alias untuk menyembunyikan tangannya yang gemetar. "Kalau enggak masuk, mana bisa aku tidur. Rasa penasaran akan menghantui." Jesty mencoba mempertimbangkan keinginan dan ketidakinginannya. "Masuk saja, deh. Penasaran." Mengambil ponsel di saku, Jesty menyalakan senternya. Ia perlahan memasuki ruangan gelap tersebut. Dalam ruangan itu, tidak banyak yang bisa Jesty lihat. Menurut Jesty ini gudang. Di sini banyak sekali barang-barang yang tertutup kain dan sebuah kotak besar. Ada juga seperti benda yang ia kenal. Meski tertutup, Jesty tahu benda itu. Bentuknya tidak bisa bohong. "Kenapa ada piano di sini?" melihat tidak ada hal -hal menyeramkan. Jesty semakin masuk ke dalam. "Oh Tuhan!" Begitu hampir sampai ke tengah ruangan, tepatnya di mana letak piano itu ada, lampu menyala seketika. Memperjelas semua yang ada di ruangan tersebut. Tidak hanya memperjelas, cukup mengejutkan Jesty juga. "Aku masih muda. Di rumah ini selalu di buat terkejut. Bisa sakit aku." Jesty memegang dadanya dan menyandarkan diri di piano. Setidaknya sampai keterkejutannya menghilang. "Sungguh luar biasa." Menarik nafas dalam, kemudian menghembuskan nya perlahan. Jesty merasa dirinya sudah mulai tenang. "Ruangan ini tidak buruk juga." Mata Jesty menelusuri semua yang ada di ruangan. "Ah ada ini. Ini 'kan buat melukis," tebak Jesty pada benda di samping piano. Benda yang masih tertutup kain juga, tetapi dari penyangganya Jesty bisa mengetahui benda apa itu. "Kalau ini untuk melukis, berarti yang tertutup kain di dinding-dinding ini lukisan dong ya? dari bentuknya sih iya." Mata Jesty tertuju pada benda berbentuk persegi panjang. Memanjang ke bawah yang juga tertutup oleh kain, sama seperti yang lainnya. "Apa aku boleh melihat benda itu?" rasa penasaran Jesty keluar lagi. "Tidak apa-apa kali ya, intip sedikit aja kok." Bersamaan dengan akhir ucapannya, langkah kaki Jesty membawa Jesty di depan benda tersebut. "Siapa pun yang punya benda ini, jika itu mas Elwin, semoga dia bisa memaafkan ku. Maaf kalau aku lancang." memegang ujung kain, Jesty perlahan mulai menarik kain tersebut. Jauh berbeda dari niatannya tadi, yang katanya hanya ingin mengintip , nyatanya tidak. "Wah ..." Sepasang mata Jesty di buat takjub. Dugaannya benar, ini sebuah lukisan. Mahakarya hebat, yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Di sana, terdapat gambar sepasang pria dan wanita. Terlihat seorang pria memeluk wanitanya dari belakang. Romantis sekali. Latar belakangnya tak kalah indahnya. Jesty memperhatikan kedua wajah itu. Sangat sulit teralihkan meski ia ingin. "Gambarnya seperti hidup." Setelah berkata begitu, Jesty merasa tubuhnya merinding hebat. Kakinya lemas. Firasatnya mengatakan, agar ia pergi dari sini. Menutup mata sejenak. Dengan nafas yang mulai memberat, Jesty menghitung dalam hati selama ia bersiap untuk ... "Lari!" Setelah Jesty keluar, rak kembali seperti semula. Tak membuang banyak waktu, Jesty memilih pergi dari perpustakaan. Jujur ia masih merinding, lihat bulu di tangannya sampai berdiri. "Aku merasa di lihat balik sama lukisan itu, gila!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD