Empat Belas

1020 Words
Dengan sebuah laptop di pangkuannya beserta lembaran-lembaran kertas berserakan di atas kasurnya, pria bernama Elwin asyik memainkan jari-jarinya di atas keyboard laptop. Sesekali tangannya meraih kertas seolah tengah mencocokkan sesuatu pada laptopnya. Bunyi getaran ponsel di atas nakas tak ia pedulikan. Bunyi yang sama, sejak dua jam lalu. Ia tahu siapa yang menghubunginya. Jadi ia membiarkannya. Sungguh, ia tidak ingin di ganggu. Elwin melepas kacamatanya. Ia menyerah sudah pada ponsel yang terus menerus bergetar. Ia ambil ponselnya, berniat untuk mematikan saja ponselnya tersebut. Namun sebuah nomer asing mengirimkan chat padanya, menarik perhatiannya. 08xxxx Malam, Mas. Saya Jesty temannya Ayud. Mas kenal Ayud 'kan? Ada yang mau saya tanyakan boleh? Elwin membuka chat dari nomor tidak di kenal itu. Ia cek foto profilnya, sayangnya bukan foto si pemilik. Melainkan gambar langit yang cerah dan langit waktu senja. Dua gambar yang berbeda di jadikan satu. Penasaran, Elwin kembali membaca chat itu. "Jesty," gumamnya. Nama yang entah kenapa saat di sebutkan membuat Elwin merasa bergetar. Elwin pun membalas. Me Ya Ada apa? 08xxxx Maaf mas. Enggak maksud ikut campur. Sebenarnya kalian berdua ada masalah apa? Ayud sampai ribut terus gara-gara enggak dihubungin seminggu ini. Kenapa sampai jauhi Ayud? "Jesty." Bukannya membalas chat, Elwin malah terus memanggil nama si pengirim chat. Bahkan tanpa sadar, bibirnya menyunggingkan senyum walau tipis. Dengan berani, Elwin menekan tombol video. Keberaniannya di dukung oleh rasa penasarannya. Ia penasaran, seperti apa rupa perempuan bernama Jesty. Kenapa hanya dengan nama, ada getaran aneh dalam dirinya. Cukup lama menunggu, akhirnya sambungan video call itu di angkat. Sosok wanita bernama Jesty, sukses membuat Elwin terpaku sesaat. Entah, apa yang ia rasa dan pikirkan akan sosok Jesty ini. "Jesty?" "Ya, Mas." Mendengar suara Jesty, Elwin kembali terdiam. Banyak orang yang memanggilnya begitu, tetapi kenapa yang ini rasanya berbeda. "Mas." Panggilan itu menyadarkan Elwin. "Ehem." Elwin berdehem menyembunyikan kecanggihannya. Mendadak ia canggung. "Ayudia menyuruhmu?" "Menyuruh apa?" "Bertanya padaku." Terlihat wanita bernama Jesty, menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak mas. Saya yang minta. Ayud saya suruh hubungin Mas enggak mau. Tapi bilangnya penasaran terus kenapa dia di diemin sama Mas. Daripada saya pusing, karena Ayud dicurhati terus tiada henti. Ya, saya inisiatif saja bantu. Biar masalahnya cepat kelar." "Harusnya bukan urusan kamu," balas Elwin. Jesty mencengkram erat bantal berukuran sedang di pangkuannya. "Saya tahu tapi--" "Tahu kok dilakuin." "Ya sudah. Nanti saya bilang Ayud. Maaf mengganggu waktunya, Mas." Sambungan video call terputus begitu saja. Diputus sepihak oleh Jesty. "Sial!" tanpa sadar, Elwin mengumpat. Ia menyesal, video call terputus begitu saja. Ia telah mencoba berulang kali menghubungi, hasilnya tetap sama. Pesan chat yang ia kirim pun tidak berarti apa-apa. Hanya centang dua, berwarna abu-abu tak kunjung membiru. Elwin menyentuh di mana letak jantungnya. Degup yang berbeda. Entah kenapa, ia merasa bahagia. "Aku harus bertemu dengannya." "Jesty." Rapal Elwin, mungkin berharap si pemilik nama langsung hadir di depannya setelah di sebut tiga kali. Itulah awal ketertarikan Elwin pada Jesty, hingga keduanya bisa satu atap sekarang. Meski Elwin sendiri tahu, hal ini tidak akan bertahan lama. Saat lukanya sembuh, Jesty akan pergi darinya. Dan ia sungguh tidak menginginkan itu. Ketertarikan awal yang ia sangka ketertarikan biasa, nyatanya bukan. Ia menginginkan Jesty, lebih dari apa pun. Ia ingin Jesty tidak hilang dari pandangan matanya. Ia ingin Jesty bersamanya, selalu. Ia juga ingin, Jesty menjadi miliknya saja, milik Elwin. Elwin membuka matanya. Angin sore menerpa dirinya. Ia masih merasakan keberadaan Jesty di sini. Jadi ia tidak khawatir. Jesty tidak mungkin keluar dengan pagar yang ia kunci otomatis. Elwin mendudukkan dirinya, bersandar pada kepala ranjang. Meraih ponsel, ia mengecek lukanya dengan kamera depan. "Aku harap luka ini, tidak segera sembuh." Elwin tersenyum licik, ia menekan lukanya. Tidak peduli seberapa kesaktiannya ia. Yang ia inginkan Jesty tetap di sini, di sisinya. "Astaga Mas! apa yang terjadi?" tiba-tiba terdengar suara perempuan. Ya, itu Jesty. Datang dengan tergopoh-gopoh saat ia tahu, Elwin menyentuh lukanya sendiri. "Lukanya berdarah lagi." Jesty di buat panik bukan main. "Kenapa bisa?" Elwin menggelengkan kepalanya. "Mas enggak tahu, Jesty. Mas bangun sudah berdarah." Tentu saja, itu hanya kebohongan Elwin saja. Ia sendiri yang membuat lukanya yang belum kering, semakin parah. "Mau dipanggilkan Dokter? Aku panggil Dokternya ya, Mas." "Tidak perlu." Elwin menarik tangan Jesty. "Tapi Mas butuh dokter." "Tidak Jesty, Mas cuma butuh Jesty." "Tapi--" "Jesty bisa bersihin luka, Mas 'kan?" Jesty tentu menolak, jika saja mata sayu Elwin tidak mampu membujuknya. Mana berani ia mengobati luka yang sudah di jahit. "Jahitannya, mungkin tidak lepas. Hanya berdarah saja." "Darah itu bukan hanya, Mas. Luka Mas bisa infeksi," balas Jesty, ia tidak suka saat Elwin meremehkan lukanya sendiri. "Baiklah, Jesty akan bersihkan. Mas punya kapas dan alkohol? Kain kasa juga kalau ada." "Ada di kotak P3K, Jesty." "Di mana kotaknya?" tanya Jesty, tidak sabaran. Bagaimana mau sabar, darahnya makin ngalir mau ke pipi. "Ada di nakas dapur, Jesty." "Oke akan Jesty ambilkan." Elwin tersenyum melihat Jesty keluar kamarnya seraya berkata, "Jangan tinggalkan, Mas, Jesty." *** Duduk berhadapan dengan Elwin, bersila di atas ranjang. Jesty kembali melakukan tanggung jawab atas perbuatannya. Merasa luka Elwin semakin parah, Jesty tidak sanggup menahan matanya agar tidak berkaca. Ia sangat merasa bersalah sekarang. "Maafin Jesty ya, Mas." "Jesty menangis," ujar Elwin. "Maafin Jesty, Mas. Gara-gara Jesty, Mas jadi terluka begini." "Mas jadi kesakitan gara-gara, Jesty." "Jesty." "Maafkan Jesty, ya Mas," pecah sudah tangis Jesty. "Jesty jangan menangis." Elwin menghapus air mata Jesty. Ia meraih tangan Jesty yang sudah selesai memasangkan kain kasa di lukanya. Kemudian mengecup punggung tangan wanita itu. "Mas tidak apa-apa, Jesty," lanjut Elwin. Ia memandang lembut sepasang mata Jesty. Keduanya saling bertatapan, menyelami tatapan mata satu sama lain. "Mas." Jesty mencengkeram ujung kaos Elwin dengan tangannya yang tak Elwin genggam, saat pria itu di rasa semakin mendekatkan wajahnya. "Jesty." Bibir Elwin mendarat sempurna pada tujuannya. Ia membawa Jesty merasakan yang tak pernah Jesty rasakan. Elwin ambil ciuman pertama Jesty tanpa izin. Elwin membawa tangan Jesty melingkar ke lehernya, dan ia menjatuhkan Jesty ke ranjangnya, untuk mempermudah akses menjelajah hal manis yang menyenangkan dan mendebarkan ini. "Mas." Elwin menarik nafas dalam, sebelum kembali menjadikan bibir Jesty tawanannya. Ia bahkan hanya memberi Jesty jeda sesaat untuk mengambil nafas karena mata sayu Jesty, telah membakar dirinya jauh lebih dalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD