Sebelas

1007 Words
Selesai menikmati sarapan pagi, Jesty pergi menuju kamarnya. Ia mengurung diri dalam kamar, untuk mencari ketenangan. Selain itu ia juga harus mengerjakan pekerjaan hariannya. Tadi pun ia sudah memperingati Elwin untuk tidak mengganggunya. Duduk di balkon, menikmati pemandangan belakang rumah serta pemandangan tak jauh dari belakang rumah Elwin. Hijau yang menenangkan mata, dan biru yang menyejukkan hati. "Kapan lagi, berpikir dengan pemandangan indah seperti ini." Jesty menatap takjub keindahan di depannya. Biasanya ia melakukan pekerjaan, hanya pemandangan dinding putih yang catnya sudah mengelupas, hanya itu yang di tangkap oleh penglihatannya. "Yah, dengan begini semoga bisa mendapat banyak ide." Similir angin menerpa Jesty, rambutnya terbang mengikuti arah angin membawanya. Hampir dua jam bertahan dalam posisi yang sama, dengan ponsel di tangan dan jari aktif mengetik. "Kelar juga," gumam Jesty. Ia meletakkan ponsel di atas meja kemudian meregangkan otot-otot tubuhnya sebelum berdiri di dekat pagar balkon. "Kolam renang terlihat menggiurkan. Sayangnya, aku tidak bisa berenang," melas Jesty. Ia lalu memilih masuk ke dalam. Mendudukkan diri di ranjang. Dari sini, ia sadar. Semua yang ia lalui, terlalu cepat berubah. Satu yang ia pikirkan, apa berada di sini adalah hal yang benar? Saat tengah bersantai, tiba-tiba terdengar sesuatu yang tidak asing oleh telinga Jesty. Jesty pun tertawa begitu tahu, suara apa itu. Apalagi kalau bukan suara perutnya. Minta diisi karena lapar. "Yah, perutku tidak tahu malu sekali. Di rumah orang bawaannya lapar mulu. Cari makan ah." Bangkit dari duduknya, Jesty berniat keluar kamar, setidaknya ia perlu menjelajah dapur untuk mengisi perutnya ini. Jika di tahan lama akan sakit, jadinya cari makan. Mumpung berada di rumah mewah, kenapa tidak di manfaatkan saja. Siapa tahu banyak makanan atau camilan yang belum pernah ia coba 'kan? Sesampainya di lantai bawah, Jesty tidak menemui siapapun. Hawa keberadaan pemilik rumah ini pun tak ia rasakan. "Bagus, rumah ini sepi. Mudah sekali kalau aku mau maling." Jesty membuka kulkas, tak ia temukan satu pun makanan jadi. Adanya bahan baku mentah untuk di olah. Syukur- syukur sih ada buah, tapi 'kan ia tak biasa menjadikan buah sebagai camilan, terlalu mahal untuk itu. "Membuat jus kali yah. Aku haus sekali." Tak berapa lama berkutat di dapur, akhirnya Jesty mendapat segelas jus Apel di campur wortel, mantap sekali. Tak ketinggalan sebungkus snack, satu-satunya snack di lemari dapur. Semoga aja, enggak kadaluarsa dan layak dimakan. "Si Elwin beneran pergi, nih? Sepi amat, jadi takut." Jesty kembali berbicara sendiri setelah menikmati dua tegukan jus buatannya. Melihat sekeliling, Jesty berpikiran untuk room tour rumah mewah ini. "Mari kita lihat, ada apa aja di rumah orang kaya." "Belakang rumah aja dulu, sekalian menikmati es jus ini." Kaki Jesty membawanya ke belakang rumah. Tadi pagi ia sempat singgah di sini untuk melepaskan kekesalannya. "Oh ya, aku 'kan melihat ruang olahraga tadi. Mau coba ah, dari dulu ingin sekali fitness." Jesty berjalan menuju samping daerah belakang rumah. Di sana ada ruangan berdinding kaca, ia dapat melihat peralatan olahraga walau dari jarak jauh. Mata Jesty melotot, ketika ia sampai lebih dekat dengan ruangan yang ingin ia kunjungi. Di sana, pria itu ada di sana tanpa atasan apa pun. Tengah push up membelakanginya. Rezeki ya, Jesty. Cuci mata pasti si cantik Jesty ini. Tidak bergerak sedikit pun loh. Mengalihkan pandangan saja tidak. Apa tubuh Elwin sebagus itu Jesty? "Gila," gumaman satu kata itulah jawaban dari Jesty sebagai deskripsi sosok Elwin yang tengah bertelanjang d**a. Jangan penasaran ya, cukup Jesty dan Tuhan saja yang tahu, apa arti kata gila yang keluar dari mulut cantik Jesty. "Aku harus pergi dari sini." Tidak ingin ketahuan Elwin, Jesty berniat segera pergi dari tempatnya berdiri. Namun naas ... Terlalu tergesa ia sampai menabrak kursi di sana hingga menjatuhkan gelas berisi jus di tangannya. "Jesty?" "Mampus," bisik Jesty pada dirinya sendiri. Apalagi setelah mendengar langkah kaki mendekat. Secepat kilat Jesty berjongkok, berniat memunguti pecahan gelas agar tidak terlalu gugup atau canggung nanti, tapi sebuah tangan menghalanginya. "Jesty jangan!" Ia tidak mendapat pecahan gelas. Melainkan sebuah pelukan. Gawat! ia merasakannya. d**a bidang yang ia pandangi tadi, dan berkhayal meletakkan kepalanya di atas d**a bidang tersebut hanya dalam hitungan menit terwujud. Tidak hanya itu, ia juga dapat bonus pelukan dan memegang langsung. Betapa keras dan kuatnya otot-otot ini. Oh Tuhan, aku bisa gila bahkan aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Tidak, tidak hanya aku. Dia juga! *** "Jesty kenapa diam saja?" jelas terlihat kekhawatiran pria yang tengah berjongkok di depannya. Jangan tanya siapa pria itu, tentu saja Elwin. Setelah memeluknya, pria itu menuntunnya untuk duduk. Ia yang masih terkejut sampai tak bisa berkata apa-apa. "Jesty?" sentuhan di pipi, dapat Jesty rasakan, menyadarkannya dari keterkejutannya tadi. Ia menjauhkan wajahnya dari tangan Elwin, otomatis tangan itu tidak berada di pipinya lagi. Ia lalu mengusap wajahnya beberapa kali dengan telapak tangan guna menenangkan dirinya sendiri. "Jesty kenapa?" "Aku tidak apa-apa." "Sungguh?!" Tidak. Kenapa kau masih tidak memakai baju Elwin bodoh. Kau mengganggu kegilaan dalam diriku, Elwin sialan! "Jesty sung--" "Aku tidak apa-apa. Mas Elwin pergi mandi sana! habis olahraga, berkeringat bau, aku enggak suka!" Berkeringat, enggak bau, aku suka. "Jesty enggak suka?" "Enggak!" Jawab Jesty, sedikit keras. Apa yang ia katakan sungguh kebalikannya. Kalian tahu itu 'kan? Kalau kalian jadi Jesty, apa yang kalian lakukan? jujur atau gengsi? langsung peluk atau lari? hmm? "Oke. Mas mandi dulu." Elwin berlari menjauhi Jesty, hal itu membuat kelegaan tersendiri untuk Jesty. "Please, otak. Jangan berpikiran apapun. Kau harus bersih," ujar Jesty sembari menepuk-nepuk kedua pipinya. "Mataku ternodai. Maafkan aku Tuhan. Sungguh, ini bukan salahku. Salah dia yang tidak tahu malu. Jika mau hukum, hukum saja dia. sekalian tulis dosaku di catatannya saja, biar dia yang tanggung. Tahu rasa deh." "Tapi tubuhnya bagus juga." "Eh enggak, astaga otak. Please, normal dong!!" "Oh Tuhan!" "Aku melihatnya langsung, tidak lagi mengkhayal dari bacaan novel!" "Astaga, bisa gila beneran aku." "Ingat Jesty, dia ada yang punya. Punya temenmu itu, aduh!" "Ah, nikmat mana yang harus aku dustakan Tuhan!" Mari kita tinggalkan Jesty dengan pemikirannya. Jangan ganggu, apalagi ikut berkhayal yang enggak-enggak. Jangan. Berkhayal dan tidak kesampaian itu menyakitkan. Seperti cinta bertepuk sebelah tangan atau saling cinta tapi saling tidak tahu, akhirnya tidak bersatu. Hancur lebur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD