Jesty tengah berada di dapur. Perut kosongnya minta di isi. Daripada bertatap muka dengan dua orang aneh yang secara bersamaan bisa meningkatkan tensinya, lebih baik ia berkreasi di dapur. Dapur peralatan lengkap seperti mimpinya yang tak bisa ia miliki karena memang hanya mimpi. Susah jadi kenyataan.
"Masak apa ya?" tanya Jesty pada dirinya sendiri. Ia membuka kulkas, senyumnya mengembang sempurna melihat isi kulkas tersebut. "Wah, lengkap sekali!"
"Pingin nasi goreng," gumam Jesty kemudian. "Lihat nasi dulu, ah."
Untuk memastikan jika Elwin memiliki nasi, setidaknya nasi sisa kemarin yang lebih enak jika di buat nasi goreng dibanding nasi baru, tentunya.
Nyatanya keberuntungan masih berpihak padanya, ada nasi di sana. Dingin dan agak kering sebagian, tidak apa. Cukup untuk makan dan mengobati rasa pengennya. Asal tidak basi aja.
Bagus, hanya butuh waktu sekitar kurang dari tiga puluh menit, nasi goreng udang di jamin enak dan pedas akan siap di sajikan. Nasi goreng memang tidak pernah salah, selain mie indo seleraku, nasi goreng termasuk salah satu makanan akhir bulan, makanan tercepat dibuat bahkan saat waktu mendesak sekalipun, yang cukup bahkan sangat cukup mengenyangkan perut.
"Wah, sepertinya enak."
Jesty menoleh ke belakang, ia memutar bola matanya saat tahu siapa yang datang. Si Dokter resek.
"Aku rasa dokter tidak mempunyai banyak waktu untuk menghampiri orang agresif di dapur," sarkas Jesty. Dirinya asik menuangkan nasi goreng buatannya ke atas piring. Fokus saja pada masakan, daripada nanti tumpah, enggak jadi makan dong.
Tawa terdengar dari dokter tersebut. "Anda benar, Nyonya Agresif. Sayangnya Dokter ini masih punya sedikit waktu untuk mengobrol dengan anda. Wanita spesial di sini."
"Sayangnya wanita Agresif ini, tidak punya waktu untuk mendengarkan. Maaf-maaf saja," tolak Jesty, jelas sekali ketidaksukaan terhadap dokter di sebelahnya ini.
"Tidak apa. Dokter ini akan berbicara meski tidak di dengarkan. Dokter ini yakin telinga anda masih berfungsi."
Jesty kembali memutar bola matanya. Tidak sopan memang, tapi biarlah. Orang seperti dia tidak perlu disopani. Tak peduli, Jesty melewati dokter pribadi Elwin, ia meletakkan piring di meja bar kemudian mempergunakan wajan yang tadi ia gunakan untuk membuat nasi goreng, digunakan lagi menggoreng telur mata sapi.
"Nona Agresif."
"Nyonya atau Nona?" Sinis Jesty.
"Nona saja, aku pikir kau masih ... Ga--"
"Emang aku gadis! Kau pikir?!"
Dokter itu mengangkat tangannya, menyerah. "Oke, Nona Agresif." Dokter bernama Dio, menyerah. Ia tidak ingin memancing amarah wanita yang ia ketahui dari Elwin-temannya- bernama Jesty ini. "Kita bicara baik-baik. Oke?" Dio meminta persetujuan yang di tanggapi gumaman oleh Jesty.
"Hmm."
"Elwin tidak pernah begini pada seorang perempuan. Baginya, area pribadi tetaplah area pribadi. Tapi kau bisa menjangkaunya. Aku saja yang temannya, baru pertama kali menginjakkan kaki di sini. Percayalah, kau spesial. Jadi, jangan pikirkan apapun yang mengganggu pikiranmu, oke."
"Hmm," gumam Jesty seadanya tanpa di cerna, tanpa di pikirkan. Menurutnya ucapan dokter resek itu tidak penting. Tidak jelas juga.
"Oke, sepertinya kau memang tidak bisa diganggu. Aku pergi dulu kalau begitu."
"Memang, pergi sana!"
Usiran Jesty meluncurkan tawa Dokter yang ia labeli resek itu, yang kini mulai menjauh pergi.
"Hah spesial, martabak kali spesial. Ekstra keju, ekstra telur, best."
***
"Jesty."
Jesty menghembuskan nafas berat. Hilang satu tumbuh satu lagi. Semoga tidak tumbuh seribu deh, bisa gila dirinya nanti.
"Meja makan!" Teriak Jesty, begitu telinga super tajamnya mendengar langkah kaki menuruni tangga.
"Jesty."
"Di sini!" Jesty melirik sekilas sosok Elwin, pria itu berjalan ke arahnya. Kalem sekali. "Aku pikir enggak bisa jalan."
"Yang sakit kepala Jesty, bukan kaki."
"Ya-ya, aku tahu."
"Jesty memang tahu, 'kan yang bikin lukanya Jesty."
"Dih, enggak perlu di perjelas kali, Mas. Jesty sadar diri kok. Nih aku buatin nasi goreng makanya."
Elwin mendudukkan dirinya di salah satu kursi di sana. "Mas senang Jesty bisa masak."
Jesty mengerutkan dahinya. "Emang Ayud enggak?" Ia teringat Ayudia jadinya, hati rasa tidak enak 'kan kalau begini. Parah sudah.
"Mas enggak tahu."
Jesty berdecak seraya menggelengkan kepalanya. "Tahune opo toh wong lanang iki."
"Jesty ngomong apa?"
"Enggak ada. Cuma laper, makanya mulut nyerocos sendiri."
"Duduk di samping Mas, Jesty. Kita makan sama-sama."
"Enggak mau. Aku di sini aja." Mata Jesty melotot saat Elwin beranjak dari duduknya. "Mau apa?"
"Biar Mas yang pindah, Jesty."
"Astaga."
***
Jesty menyandarkan tubuhnya usai makan. Kekenyangan menguasai perut, ini lah rezeki dari Tuhan yang tidak boleh ia dustakan.
"Terima kasih makanannya, Jesty."
Jesty tidak menjawab, ia malah terdiam menatap Elwin. "Mas bisa enggak sih jadi normal saja?"
"Mas normal Jesty, tadi pagi 'kan--"
"Bukan itu!" potong Jesty yang tahu ke mana arah pembicaraan Elwin. "Maksudku, ya normal aja. Seperti kemarin di rumah Ayud. Enggak banyak omong, diem, bisa 'kan?"
Elwin menggelengkan kepalanya. "Enggak bisa, sama Jesty mau ngomong terus."
"Kenapa?"
"Enggak tahu." Sekali lagi, Elwin menggelengkan kepalanya.
"Aneh, masak enggak tahu. Pasti mas bohong ya? mas Elwin tukang bohong nih," ujar Jesty, tidak percaya akan jawaban Elwin. Memang pria itu jauh berbeda waktu pertama ia temui di rumah Ayud terkesan kaku dan dingin. Lha ini, sejak kemarin jadi kebalikannya. Tapi jika kebaikannya, ia baik sekali. Ayud minta apa pun di beri, itu yang Ayud pamerkan kemarin padanya. Ayud pamer di belikan ponsel keluaran baru bermata tiga di belakangnya. Makanya, selain malas melihat Elwin kemarin di sana, ia malas juga sama temannya itu.
"Mas nyaman sama Jesty," jawab Elwin, setelah lama berpikir. Mungkin mencari kata yang pas dengan apa yang dia rasakan, mungkin.
"Ah, Jesty pusing kalau urusan gitu. Gini aja deh." Tak mau melanjutkan obrolan yang jurusannya sudah Jesty tahu, ya ucapan tipe laki-laki pencinta wanita ya gitu. Jadi, lebih baik di alihkan saja. "Jesty dalam beberapa waktu ada di sini." Ucapan Jesty mengukir senyum di wajah Elwin, lalu hilang seketika saat Jesty melanjutkan ucapannya. "Pokoknya sampai luka mas sembuh. Ingat perjanjiannya. Ini hanya bentuk tanggung jawab semata."
Terdengar konyol dan tidak masuk akal memang, tinggal di rumah laki-laki dengan alasan tanggung jawab. Mau bagaimana lagi, ia memang melukai. Setidaknya harus menyembuhkan juga, meski tahu, Elwin bisa ngapa-ngapain sendiri. Tangan dan kaki masih berfungsi dengan baik.
Adakah alasan lain?
Ada.
Jangan lupa misinya. Misi mendekatkan Elwin dengan Ayud. Yah, supaya ia bisa terbebas juga. Ia tidak mau Elwin terus menerus mengganggunya. Hubungan baik antara mereka berdua-Ayud dan Elwin- pasti akan menghalangi itu. Ia harus menjadikan Elwin bucin ke Ayud, karena sejauh yang ia lihat kemarin saat menjadi obat nyamuk, Ayud lah yang banyak bertindak, bukan Elwin.
"Iya, Jesty."
"Oleh karena itu, untuk kedamaian, ketenangan dan agar Jesty nyaman tinggal di sini, mas Elwin tidak boleh membuat Jesty kesal atau marah. Jesty enggak mau marah-marah. Capek Mas, capek."
"Iya, Jesty."
"Satu lagi, Mas harus nurut sama Jesty. Apapun, enggak boleh bantah."
"Iya Jesty," jawab Elwin, jawaban yang sama.
"Oh ya, Mas Elwin juga enggak boleh masuk ke kamar Jesty. Lakukan itu sekali lagi, Jesty akan membenci Mas Elwin," ancam Jesty.
"I-iya."
"Tadi malam, Mas masuk lewat mana?" tanya Jesty penasaran, ia yakin telah mengunci pintu.
"Lewat pintu."
"Jesty kunci pintunya. Tadi pagi juga Jesty yang buka."
"Ada pintu lain di sana, Jesty enggak lihat?"
"Benarkah?" Mungkin terlalu lelahnya ia sampai tidak mengamati keseluruhan kamarnya, harusnya ia room tour tadi malam. "Kalau gitu pintunya harus di kunci, nanti Jesty yang pegang kuncinya. Titik. Enggak boleh di bantah."
"Iya Jesty."
"Bagus!"