Jesty mengernyitkan dahinya meski matanya masih terpejam. Kebisingan di sekitarnya cukup mengganggu tidurnya yang lelap, rasanya nyaman sekali, jauh berbeda dari tidurnya yang sebelum-sebelumnya. Sesuatu yang cukup langka. Dan kenyamanan yang ia rasakan ini tak ingin ia lepaskan begitu saja. Tapi apa? Suara bising itu terus saja mengganggunya.
Jesty meraba-raba sekitar dirinya, mencari sumber suara yang ia benci saat ini. Ia yakin itu bunyi ponsel.
"Jangan di situ, Jesty."
Mata Jesty langsung terbuka lebar mendengar suara serak khas bangun tidur. Bukan suara perempuan, laki-laki! Sejak kapan ia tinggal bersama orang lain? lima tahun sudah ia hidup seorang diri.
"Jesty, jangan."
"Jesty."
"Ah, berisik sekali," ucap Jesty masih belum sadar.
"Jesty membuatnya bangun. Sakit, Jesty. Dibuka saja."
Teringat akan sesuatu, Jesty sontak membuka kedua matanya. Gerakan patah-patah, Jesty menoleh ke samping. Semakin terkejut lah dirinya, mendapati siapa orang yang tengah tidur di sampingnya.
"Selamat pagi, Jesty."
"Mas El-ElWin."
"Ya, Jesty." Elwin menatap Jesty, wajah pria itu tampak memerah. Bibir bawahnya di gigit seolah tengah menahan sesuatu.
"Mas ke-napa?" tanya Jesty, awalnya ia ingin marah. Namun wajah merah Elwin, membuatnya mengurungkan niat itu. Ia jadi khawatir, apa Elwin sakit karena terguyur air semalam? kenapa bisa sakit? airnya cuman segayung kok.
"E-enak Jesty. Genggam lebih erat."
"Apanya?" Tentu Jesty bingung. Ia sama sekali tidak mengerti yang Elwin bicarakan.
Elwin tidak menjawab, pria itu menggenggam tangan Jesty. Kemudian ia gerakan sesuai gerakan tangannya sendiri.
Jesty merasa aneh, pandangannya pun tertuju pada tangannya yang di genggam Elwin. Dalam tangannya itu ia rasa tengah menggenggam sesuatu yang keras. Apa itu?
"Jes-Jesty." Elwin mendesah.
Desahan Elwin cukup menyadarkan Jesty. Ia jadi tahu apa yang ia genggam.
"Mas Elwin Gila!"
Jesty mendorong Elwin sampai tersungkur ke lantai. Wajah Jesty memerah tak karuan. Ini gila, pertama kalinya dalam seumur hidup ia melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat, pernah ia lihat tapi versi kecil. Sedang ini, versi dewasa!
"Jesty, Mas kebentur lantai."
"Bodoh!" Jesty menutup wajahnya, malu sungguh ia rasakan. Astaga, mimpi apa dirinya semalam.
"Dahinya berdarah lagi, Jesty."
"Astaga!"
Itulah pagi mereka. Dua insan dipertemukan dalam ketidaksengajaan. Awalnya hanya niat membantu. Kenapa berakhir seintim itu? Mungkinkah takdir Tuhan sedang bekerja? Entahlah.
***
Tak sempat mandi, penampilan dari ujung kepala sampai ujung kaki, yakin seratus persen sangat-sangat berantakan. Jesty panik, darah Elwin tidak berhenti keluar, siapa yang enggak panik. Ia takut, pria itu gagar otak dan ia di tuntut. Tidak, ia memang sebatang kara, tapi katakan tidak untuk hidup yang kian malang.
Jesty bersyukur, otak Elwin masih bekerja untuk meminta dirinya memanggilkan dokter pribadi pria itu di saat ia bingung mau menghubungi siapa, untuk menyelamatkan jiwa raga pria yang baru dua puluh empat jam ia kenal itu. Jesty mana tahu hal begituan, ia tahunya berobat ya ke apotek. Beli obat beres. Sakit berat pun, ke klinik, tempat dokter praktek atau kalau enggak puskesmas. Harus antre! Elwin mana pernah merasakan hal itu. Jesty cukup cerdas untuk tidak gegabah menyeret Elwin ke salah satunya. Bisa kekurangan darah terus the end. Habislah ia.
"Dahimu baik-baik saja, bro. Kau tidak perlu khawatir. Hanya darah yang keluar, bukan otak."
"Hm."
"Masih kaku seperti biasanya," ujar seseorang yang saat ini mulai membereskan peralatan dokternya. Pada akhirnya luka Elwin harus dijahit. Tidak banyak. Hanya tiga jahitan. "Aku heran, seagresif apa wanita di belakang sana, hingga kau seperti ini," bisik Dio, dokter pribadi Elwin sekaligus teman yang tak Elwin anggap. Bisik-bisik karena takut di dengar oleh Jesty si penjaga pintu. Ya begitu, salah sendiri ada di ambang pintu seolah satpam.
"Hei aku bisa dengar yang kau bicarakan ya? Kau pikir aku wanita apa?" sewot Jesty. Kesan pertemuan pertama tidak menyenangkan, membuat Jesty enggan bertemu pria ini. Pria yang ternyata seorang dokter. Profesi yang bagus, sangat bagus malah berbanding terbalik dengan kelakuan. Jika ia tahu dokter pribadi Elwin adalah orang yang ia temui kemarin, mana sudi tadi ia menghubungi sambil memohon-mohon untuk cepat datang. Males!!
Dio menggidikkan bahunya. Wanita kalau marah ngeri. "Aku hanya mengatakan sejujurnya. Lihat temanku dahinya harus di jahit."
"Aku enggak ngapa-ngapain!"
"Mana buktinya? Pasti kau mau membunuhnya dan mengambil hartanya 'kan?" tuduh Dio. Hanya menggoda saja, tidak bermaksud menuduh dalam artian sebenarnya.
Dada Jesty kembang kempis, wajahnya memerah sudah. Ia akan membuka mulutnya bersiap untuk menyerang dengan kata-kata mematikan, tetapi urung karena Elwin mendahuluinya berbicara,
"Diam Dio, Jesty hanya memegang milikku. Dia kaget."
"Milikmu?" Bingung Dio, sembari meneliti wajah Elwin sampai ke kaki. "Ma-maksudmu sesuatu yang ada di antara ke dua kakimu?"
Elwin dengan santainya menganggukkan kepalanya. Sementara wajah Jesty semakin memerah. Bukan marah lagi, malu juga.
"Astaga! Beneran agresif. Pantesan kasurnya berantakan. Jadi ini perbuatan hina kalian." Dio berdecak di akhir kalimatnya. Ia heran.
"Terkutuklah kalian berdua, enggak ada yang berbuat hina! Otak kalian berdua saja yang kotor!" Murka Jesty.
Pintu pun menjadi pelampiasan amarah Jesty. Yah, Jesty yang malang, kasihan.
***
Jesty dongkol setengah mati, hidupnya yang tenang kini mendadak berubah menjadi suram, konyol, aneh, gila dan ... dan ... dan semuanya lah.
Bangun tidur berharap semua yang terjadi kemarin hanyalah mimpi. Eh, ternyata nyata.
"Akkhhh!" teriak Jesty, ia mengacak rambutnya yang sudah berantakan semakin berantakan. Sungguh tidak elegan sama sekali. "Pagi ini aku di tampar kenyataan. Ternyata semuanya bukan mimpi! Huaaa!"
"Tuhan! kenapa hidupku jadi seperti ini?! kembalikan hidup damaiku, Tuhan!"
"Aku mo-mohon!!!"
"Aku suka sendirian!"
"Aku cinta rumahku!"
"I Love my Self !"
Usai berteriak untuk melegakan diri. Jesty menggelepar kan dirinya ke kursi. Kini ia tengah berada di kursi yang terbuat dari kayu, dekat dengan kolam renang. Halaman belakang yang cukup luas dengan kolam berukuran sedang. Ada gazebo pula.
Jesty menggelengkan kepalanya seraya bergumam, "Tidak-tidak, aku tidak iri." Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Akan lebih baik aku di rumahku sendiri meski di sini sangat nyaman dan sejuk."
"Hah!" Jesty membuang nafas kasar. Ia semakin meluruskan kakinya, meletakkannya di atas pijakan meja bundar. Dan kepalanya tepat di sandaran kursi. Memang tidak nyaman, tapi tak apa, ia malas bergerak ke gazebo untuk bermalas-malasan meski sebenarnya ingin.
"Jesty lelah, Tuhan. Tolong lebih kuatkan Jesty. Lebih sabar kan Jesty. Lebih lebih dan lebih."
"Berlebihan juga tidak apa-apa."
Do'a Jesty demi kemakmuran hidupnya sendiri.