Jesty memutuskan ikut kembali ke rumah Elwin. Bukan karena kasurnya basah dan dia tidak memiliki pengering untuk pengeringnya. Ia masih punya kipas kok. Bukan juga karena ia tidak memiliki tempat lain untuk tidur. Ia bisa tidur di atas tikar di lantai, atau di sofa. Tapi gimana ya? Sadar akan kesalahannya sih. Salah membuat dahi pria itu memar dan berdarah. Di tambah rengekan pria itu yang tiada henti. Sukses membuat telinganya panas.
"Mas butuh tanggung jawab, Jesty."
"Mas juga harus tanggung jawab ke Jesty. Kasur Jesty basah."
"Jesty ikut ke rumah aja ya."
"Atau kita menginap di hotel aja?"
"Rumah Mas jelek ya, Jesty. Jesty enggak mau nginap."
"Jesty jangan tidur di lantai, nanti Jesty sakit."
Yah begitulah tiada akhir. Setiap penolakan yang ia buat, Elwin selalu punya kata untuk membalasnya. Hah.
Jesty bingung. Kenapa Tuhan memberinya cobaan seperti ini. Haruskah ia selalu berhubungan dengan pria ini? Pokoknya, setelah memar itu hilang. Ia akan pergi menjauh. Ia tidak mau diikuti lagi. Sebagai perempuan yang mudah peka, ia tahu. Jelas tahu gelagat Elwin setelah mengingat hari ini. Demi persahabatannya, demi kesejahteraan hidupnya, ia perlu mempersiapkan diri. Setidaknya pergi liburan, tidak buruk juga. Ia butuh refreshing. Menjauh dari semuanya. Memblokir nomor Elwin dan memberi saran-saran untuk Ayudia agar lebih dekat dengannya sehingga Elwin sadar. Perasaan yang ada itu, hanya datang ketika jenuh. Bukan perasaan sesungguhnya yang akan bertahan lama. Jadi, ia bisa hidup tenang kembali tanpa gangguan.
Dan dalam satu hari dua hari ini, memar tersebut kemungkinan akan hilang. Hanya perlu diolesi salep atas saran dokter teman Elwin. Itu sudah cukup. Selagi di sana nanti, ia hanya perlu mengorek segala kesukaan Elwin, ketertarikan pria itu dari hobi dan sebagainya untuk mensukseskan misinya. Ia juga perlu menceritakan terus menerus tentang Ayud. Semua tentang Ayud. Ya, kesadaran akan hati butuh hal biasa untuk diceritakan.
Elwin harus sadar, yang dia butuhkan Ayud. Dan yang pria itu cintai itu juga Ayud, temannya. Bukan dirinya, pria itu harus sadar, bahwa yang dia rasakan hanya ketertarikan sementara. Siapakah dirinya, remahan rengginang yang tak berarti apa-apa. Beda kasta ia dan Ayud. Bagaikan langit dan bumi. Matahari dan Merkurius. Venus dan mars. Yupiter dan Saturnus. Uranus dan Neptunus. Intinya satu, Beda!
"Jesty tidur?"
"Astaga!" Wajah terlalu dekat itu sontak mengejutkan Jesty. Ia pun tanpa sengaja mendorong kepala pemilik wajah tersebut agar menjauh darinya. "Mas Elwin jangan gitu."
"Mas kira Jesty tidur. Mas mau gendong."
"Aku enggak tidur! Nih lihat, mataku masih seger."
"Harusnya Jesty tidur," ucap Elwin pelan.
"Kenapa aku harus tidur?"
"Mas mau gendong Jesty. Mas pingin kayak orang-orang di film."
Gemas sekali Jesty melihat Elwin. Rasanya, wajah datar namun polos itu pingin ia uwel-uwel.
"Ini bukan film, Mas. Ini dunia nyata," balas Jesty dengan penuh penekanan.
"Mas tahu."
"Makanya enggak usah mimpi!"
"Mas enggak mimpi Jesty. Mas masih sadar."
Jesty menggelengkan kepalanya. Jika ia tidak sabar, mungkin ia bisa gila menghadapi pria ini.
"Makanya enggak usah halu, Mas!"
"Mas enggak ha--"
"Stop!" potong Jesty. Ia membekap mulut Elwin agar berhenti berbicara. "Ada baiknya mas Elwin diam. Ini demi kewarasan Jesty. Ngerti?"Jesty berbicara dengan tatapan serius. Ia sudah lelah.
Elwin menganggukkan kepalanya. Mengerti. Ya, semoga memang mengerti.
Jesty pun menjauhkan tangannya dari mulut Elwin. Ia bersiap untuk turun.
"Kenapa di lepas, Jesty? Mas suka di gituin. Bisa lihat wajah Jesty dari dekat."
Harapan Jesty salah. Elwin tidak mengerti. Pria itu tetap terus berbicara.
"Jesty cantik. Mas suka."
"Menghilang saja kau Elwin bodoh!"
Tenang, Jesty tidak jatuh karena perkataan manis Elwin kok. Malahan membanting pintu mobil Elwin. Jawaban yang bagus, bukan?
"Sudah punya pacar kok ganjen. Dasar laki-laki, lihat bening dikit langsung berpaling. Eh tunggu." Jesty menghentikan langkahnya begitu sadar akan dumelannya sendiri. "Aku 'kan enggak cantik. Berarti pria itu buta. Fix, perlu periksa mata."
***
Jesty mendudukkan dirinya di sofa. Ia melihat Elwin memasuki pintu utama, tanpa membuang waktu Jesty meminta pada Elwin untuk di tunjukkan kamarnya. Ia ingin segera istirahat. Berharap semua yang ia lalui hari ini, hanyalah mimpi semata.
"Di mana kamarku, mas?"
"Jesty tidak mau makan malam dulu?"
"Ha, tidak-tidak aku mau tidur," tolak Jesty. Lapar tidak menghalanginya untuk lepas dari Elwin. Ia tidak mau melihat pria itu untuk saat ini. Sungguh.
"Tapi--"
Jesty mengangkat tangannya, isyarat agar Elwin berhenti bicara.
"Mas aku capek. Aku enggak mau berdebat, bertengkar atau apalah. Please, tunjukkan kamarku. Aku mau istirahat. Kalau mas tidak mau nunjukin, lebih baik aku pulang saja."
Elwin menggelengkan kepalanya. "Kamar Jesty ada di sebelah kamar mas. Jesty tidur di sana saja. Kamarnya bersih kok, mas selalu min--"
Tanpa ba-bi-bu, Jesty bergegas menuju kamarnya di rumah ini. Meninggalkan Elwin dengan ucapannya yang belum selesai.
Mengunci pintu, beres. Ia aman.
Merebahkan diri di ranjang, Jesty benar-benar menguasai tempat tidurnya. "Rumah ini lebih dari impianku," gumamnya seraya menatap langit-langit kamar. "Lampunya indah, kasurnya empuk, luas. Sangat berbeda dengan tempat tinggalku sekarang, huh."
Jesty mempunyai cita-cita, jika Tuhan memberi rezeki lebih, ia ingin memperbaiki rumah yang ia tinggali sekarang. Satu-satunya harta peninggalan kedua orang tuanya. Rumahnya sedari kecil, penuh akan kenangan.
"Ma, Pa, bukan Jesty tidak bersyukur. Rumah Mama dan Papa tetaplah rumah ternyaman bagi Jesty. Papa dan Mama jangan sedih ya. Maafin Jesty sempat membandingkan rumah ini dengan rumah kita."
Senyum terukir di wajah Jesty. Hatinya menghangat sekaligus sedih mengingat kedua orang tuanya. Sudah tiga tahun lamanya, rasa kehilangan itu, pasti akan tetap ada.
"Dan Tuhan, aku memang menginginkan pendamping hidup. Pria yang menemaniku di saat aku susah, pria yang bisa menjadi sandaran sekaligus penenang untukku. Pria yang menerimaku apa adanya dan yang bisa menuntunku ke arah yang lebih baik. Aku memang meminta-Mu menghadirkan pria baik pilihan-Mu, tapi kenapa justru dia yang hadir." Jesty menghela nafas, "Hamba tidak menginginkan pria yang sudah punya kekasih Tuhan. Apalagi pria aneh seperti dia, tolong carikan dan datangkan lagi, pria normal tentu saja. Yang tidak membuatku sakit kepala. Aku memohon pada-Mu Tuhan." Jesty berdo'a sembari memegang kepalanya. Sakit kepala benar ini.
"Jesty!"
"Hilangkan dia Tuhan, bawa pergi saja sampai ke kutub Utara," keluh Jesty, ia sampai menjambak rambutnya. Suara itu, semakin membuatnya sakit kepala saja.
"Jesty sudah tidur?"
Jesty meraih guling tak jauh darinya, kemudian bergumam, "Ya, lebih baik pura-pura tidak mendengar dan tidur saja."