Student Exchange [Ody]

1174 Words
Semua mahasiswa dan mahasiswi pendidikan senu rupa memadati aula gedung C, menunggu pengumuman dari dekan tertinggi untuk kelanjutan kabar burung yang mereka terima. “Misi, misi,” Gadis berambut pirang yang dikuncir kuda, membelah kerumunan karena dirinya harus berada di paling depan, arena sedari tadi namanya sudah dipanggil. “Minggir dah heh!” Kali ini, ia terpaksa meninggikan suaranya agar orang-orang di depannya member jalan. Ia sudah terlalu dongkol, sebab mereka semua seolah tidak menghiraukan keberadaannya di belakang. Padahal mereka semua tahu jika nama mereka belum dipanggil, tapi mengapa semuanya tidak mau menunggu dengan sabar. Dan malah memeadati area depan, seolah menyusahkan mahasiwa yang namanya sudah terpanggil. “ODY! PAK, ITU ODY!” Untungnya ada suara dari Ivanna, gadis yang melihat Ody sedang berusaha menerobos kerumunan. Seketika juga membuat hati  Ody lega bukan main, karena berkat Ivanna dirinya tidak akan gugur. Pria paruh baya, yang memakai setelas jas resminya langsung menangkap suara dari Ivanna, dan meminta semua orang memeberi jalan untuk Ody, yang harus segera mengambil semua berkas yang berada di mejanya. “ODY! Pak dia terjatuh, tolong dia!” Ivanna kembali berteriak saat melihat Ody terkulai lemah, karena semua orang masih belum memeberikannya jalan. “Kalian benar-benar tidak mengerti bahasa manusia! Minggir semuanya! Keamanan tolong bawa mahasiswi kesayangan kami ke ruang kesehatan!” Pria yang sama dengan yang tadi, langsung menyuruh tim keamanan untuk segera membantu Ody yang sudha terkapar ke lantai. “Saya selaku dekan tertinggi Fakultas Bahasa dan Seni sangat kecewa dengan kalian, yang sama sekali tidak menuruti semua ucapan saya tadi. Mulai dari suara lembut hingga meninggi, seperti sekarang. Kami semua tahu jika kalian semua pasti sangat terkejut karena ternyata mahasiswi yang terpilih program student exchange mendadak berubah menjadi 5 orang. Tapi semua itu, kembali kami sampaikan jika itu di luar wewenang fakultas. Terima kasih.” Penjelasan panjang dari dekan langsuh dihadiahi teriakan kecewa dari semua mahasiwa maupun mahasiwi fakultas bahasa dan Seni, yang tidak terpilih untuk program studi exchange. Mereka semua menganggap pihak fakultas melakukan tindak kecurangan, karena tiba-tiba yang merubah jumlah penerima program tersebut. Membuat mereka semua juga menerka dan mengenjatkan senjata pada kelima penerima program tersebut. Dan salah satu korbannya adalah Ody, gadis yang baru saja dibawa tim keamanan untuk ke ruang kesehatan. “Puas lo, hah? Kalo gak keterima mah sabar aja, kek binatang lo mainnya kekerasan!” Cibir Ivanna pada mereka semua yang masih berdiri di sekitaran meja utama aula. Sebagai teman dekat dari Ody, ia tidak terima melihat Ody dilakukan semena-mena oleh mereka semua, yang hanya bermodal fikiran negative mereka. Mereka semua selalu berfikiran jika terpilihnya Ody untuk program ini,  dikarenakan sosok papahnya yang terkenal sebagai sponsor tertinggi universitas mereka. “Sok pinter lo, padahal anak semester tua!” Cibir gadis yang mempunyai warna mata abu-abu, saat Ivanna melewati dirinya, “Emang gue pinter! Kalo kita mau lulus semester kemarin pun bisa, gak usah banyak omong deh lo!” Buka pernyataan yang membuat gadis bermata abu-abu itu terdiam, melainkan suara dari beberapa mahasiswa dan mahasiwi semester tua yang juga terpilih untuk program student exchange. Mata Ivanna terbelalak sempurna, hatinya lega karena ternyata dirinya tidak sendirian yang mendengar cemoohan dari anak bau kencur, yang masih menempuuh semester 3 perkuliahan. Saat ini semua temannya bergabung jadi satu, seolah menunjukan taring anak semester tua yang selalu dicemooh, dengan bukti nyata, mereka terpilih untuk program bergengsi seperti student exchange, sekarang. “Kalian diem aja, belajar yang bener. Gak usah ngikutin kita, ikutin si Ody.yang negebuktiin dirinya bisa berssaing dengan anak semester tua kaya kita.” Gadis berkacamata yang akrab dipanggil Difa langsung memberikan wejangan, sekaligus godaan yang terbalur menjadi satu. Membuat semua anak semester 3 diam tak berdaya. Layaknya anak junior yang sedang dilabrak senir di kamar mandi, yang padah awalnya mereka yang mencari masalah. “Dah lah, cabut. Ayo jenguk si Ody, sekalian ngomongin persiapan ke California.” Suara manja nan centil dari Sofia mengajak ketiga temannya meninggalkan aula utama dengan tangan yang bergerak kesana-kemari mengusir anak semester 3, yang langsung membuat mereka semua jenggah melihatnya. ** “Bangun juga akhirnya. Nih langsung isi aja formulirnya, besok kita ke kantor imigrasi buat bikin passport.” Ujar Difa, yang langsung memberikan berkas pada Ody yang masih terkulai lemah di ranjang. “Ehhh i—ya, Dif. Makasih ya. Makasih juga kalian semua udah nolongin gua adu bacot kan ya pasti sama anak-anak di aula?” Balas Ody dengan suara teramat pelan. “Santai aja, kaya sama siapa aja deh lo. Mereka gak tau aja kalo kita sebenernya udah deket drai alama, tapi karena jarak umur lo yang jauh aja bikin ada space.” Balas Ivanna, yang langsung didukung oelh mereka semua. Ody langsung melengkungkan senyumnya, kembali merasa beruntung telah mengenal keempat sosok penolong seperti mereka semua. Mungkin jika ia tidak mengenal mereka, dan tidak 1 universitas dan fakultas dengan mereka. Ody akan menjadi seorang kutu buku yang hanya menghabiskan waktunya di perpustakaan dan di ruangan kelas pertemuan. ** Sepanjang jalan menuju rumah sepi layaknya hati, membuat Garry dan Ody dian tak bernyawa, sampai akhirnya Ody melihat ada penjual gulali di depannya. “Mau lagi? Kamu baru pulang dari dental lho, Dy. Tahan dulu deh yaaa, setelah satu minggu, aku belikan lagi gulali.” Ujar Garry seraya menatap mata Ody, yang sedang menunjukan puppy eyesnya. Namun kali ini semua itu tidak membuat Garry luluh, karena baginya kesehatan Ody lah yang terpenting saat ini. Meskipun hanya kesehatan dari giginya. Namun jika penyakit itu sudah kambh kembali, membuat dirinya pusing dengan celotehan Ody yang tidak henti-hentinya mengeluh. Garry  pun bingung, jika kebanyakan orang saat sedang sakit gigi banyak terdiam seribu bahasa, namun kenapa hanya Ody yang bawel setengah mati, hingga membuatnya bingung harus melakukan apa. Seperti bayi yang kehilangan botol s**u, dan seperti anak ayam yang kehilangan induk. Itulah Ody saat sedang sakit gigi. Membuat orang lain jengkel, hingga bisa bertengkar hebat seharian. “Yaudah, satu minggu lagi aku tunggu janji kamu!” “Tapi… kalau satu minggu sudah berjalan, berarti waktu kita tinggal 3 minggu lagi ya, Garr?” Ujar Ody seraya berjalan sambil menatap Garry yang masih emmandang lurus jalan. Tapi yang sebenarnya, pandangan Garry begitu kabur dan hanya raganyalah yang masih bisa ia rasakan saat ini. “Bolehkah kita menyerah? Tapi,  Istiqlal saja berdampingan dengan Katedral” “Bolehkah kita terus memaksa?” “Untuk mengubah kemustahilan menjadi sebuah kemungkinan.” Seutas kata-kata bergenre melodrama, kembali memenuhi fikiran Garry yang masihh belum rela untuk kembali dengan kehidupannya masing-masing. Ia belum mau meniggalkan seorang Ody yang padahal sudah berusia 21 tahun, tapi masih berkelakuan 10 tahun. Garry masih mau merawat si kecil Ody yang sangat ia sayangi, dan sejenak melupakan pil pahit yang selalu sedia di kotak obat miliknya. Namun semua itu hanyalah pertahanan yang sanggup ia bangun untuk Ody seorang, dan bagaimanapun juga Garry dan Ody tidak pantas untuk saling merubah keyakinan yang sudah ditetapkan untuk mereka, hanya demi kisah cinta mereka. Karena mereka berdua hanyalah makhluk ciptaan yang masih di luar kata baik untuk sang pencipta, dan hanya inilah yang mampu mereka lakukan untuk pencipta mereka masing-masing, sekaligus berjanji tidak akan menghianati pencipta satu sama lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD