Kehamilan Tidak Diinginkan

860 Words
Flashback tujuh belas tahun yang lalu "Keluar kamu dari sini." Surya menarik lengan Nira secara paksa, membuat langkah perempuan itu terseok-seok mengikuti langkah kaki Surya yang tegap dan lebar. "Ah!" Nira meringis menahan sakit saat dia jatuh dari undakan teras karena di dorong oleh Surya. Dia mengelus perutnya yang mulai membuncit, takut terjadi sesuatu dengan janin yang sedang dikandungnya. Tidak dihiraukannya kaki dan sikunya yang terasa nyeri karena berbenturan dengan blok batako. "Jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi di sini kalau kau tidak ingin terluka. Dasar perempuan murahan! Beraninya menjebak putraku agar mau bertanggung jawab untuk anak harammu," seru Surya dengan ekspresi wajah yang menyeramkan. "Dasar perempuan licik. Sudah miskin, tidak tahu diri. Wajah buluk seperti itu mana mau anakku denganmu." Gita berkacak pinggang melihat Nira yang masih terduduk di bawah. Nira kembali menangis mendengar penghinaan dari mereka. Dia datang pada ke rumah itu untuk meminta pertanggungjawaban dari Niko, anak dari pengusaha properti itu, tetapi yang dia dapat hanya hinaan dan sumpah serapah. Tiga bulan sebelumnya dia mengatakan kekhawatirannya pada Niko, kekasihnya, karena tamu bulanannya yang tidak kunjung datang. Gaya pacaran mereka berdua yang sudah kebablasan tentu saja membuat Nira semakin gelisah. "Sayang, aku telat datang bulan. Aku takut ... kalau aku hamil bagaimana?" bisik Nira pada Niko. "Mungkin cuma telat, Sayang. Tidak usah khawatir, aku kan tidak keluarkan di dalam, jadi kamu tidak mungkin hamil," ucap Niko sambil tersenyum. Mereka sedang berada di belakang sekolah di jam pulang, jadi bisa dipastikan keadaan di sana sepi. Niko membelai wajah Nira lembut, lama-kelamaan belaian itu turun ke bibir. Dia mengelus bibir Nira dengan ibu jarinya. Ketika Niko berusaha mendekatkan dirinya, Nira menahannya. "Kita lagi di sekolah." Nira menatap Niko galak, bibirnya cemberut — kesal karena Niko ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan. "Kamu gemes banget sih. Rumah kamu kosong apa tidak? Apa mau coba main di sini? Mumpung sepi." Niko menatap Nira dengan tatapan menggoda. "Gila. Tidak mau." Nira pura-pura merajuk mendengar godaan sang pacar. Niko adalah pacar pertama Nira. Siapa yang tidak kenal dengan anak dari pengusaha properti sekaligus donatur terbanyak di sekolah mereka itu. Wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang tinggi membuatnya menjadi idola bagi para siswi di sana. Nira merasa beruntung bisa memenangkan hati Niko. Mereka satu kelas saat di kelas tiga. Setelah beberapa kali berada dalam satu kelompok bersama membuat Nira dan Niko menjadi dekat. Saat sedang melakukan study tour ke Pulau Bali saat senja, di Pantai Kuta Niko menyatakan cintanya pada Nira, romantis sekali. Teman-teman yang melihat menyoraki mereka. Saat tahun baru tiba, mereka merayakannya bersama-sama dengan teman-teman satu kelas di sebuah caffe. Niko membawa pergi Nira diam-diam pulang ke tempat kos yang dia sewa. Suasana kos yang sepi karena ditinggal para penghuni menikmati malam tahun baru membuat Niko leluasa melakukan rayuannya. Nira menyerahkan sesuatu yang seharusnya dia jaga, secara cuma-cuma untuk Niko. Sejak saat itu melakukan kegiatan dewasa yang seharusnya hanya dilakukan suami istri bukan lagi sesuatu yang tabu untuk mereka berdua. Akan tetapi kesenangan mereka tidak lama. Nira semakin gelisah saat tamu bulanan tidak kunjung datang, sehingga dia memberanikan diri pergi ke apotek untuk membeli test pack. Dia memakai masker dan topi agar tidak ada yang bisa mengenalinya. Terburu-buru dia memasukkan test pack itu ke dalam saku jaket setelah menerimanya. Mata Nira hampir keluar saat garis dua itu mulai nampak. Air mata sudah tidak dapat terbendung lagi. Nira menangis terisak-isak di kamar mandi, menutup mulut dengan rapat karena tidak ingin ibunya mendengar suaranya. Keesokan harinya Nira memberikan test pack itu pada Niko. Mereka yang akan menempuh ujian akhir sekolah kala itu membuat Nira semakin stres. "Apa ini?" Niko memperhatikan test pack yang Nira berikan kepadanya. "Aku hamil." Niko melo tot menatap Nira, tidak percaya dengan pendengarannya. "Yang benar saja! Bagaimana bisa?" Niko kaget dan bingung. "Ya bisa! Kita kan sering melakukan itu. Sekarang bagaimana?" Nira mulai menangis di hadapan Niko. "Aku kan tidak keluarkan di dalam. Kamu pasti tidak cuma melakukan itu sama aku, kan?" Niko melemparkan test pack itu ke wajah Nira. "Kok kamu ngomong seperti itu ke aku. Kamu yang pertama dan satu-satunya orang yang menyentuhku, Niko." Nira jongkok dan menutup wajahnya dengan tangan. Semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan nasibnya yang hamil sebelum menikah dan sekarang orang yang dia cintai menuduh dia hamil dengan lelaki lain. Niko melihat ke sekitar lalu menunduk memperhatikan kekasihnya yang menangis. Dia mengusap wajahnya, dia bingung harus melakukan apa. "Nira, maaf. Nanti aku pikirkan jalan keluarnya ya. Sekarang lebih baik kita pulang dulu." Niko menarik lengan Nira agar berdiri dan menghapus air mata yang membanjiri wajah Nira. "Ayo aku antar." Mereka pulang berboncengan dalam diam. Perjalanan pulang hari itu sama sekali tidak menyenangkan seperti biasa. Niko menghentikan laju motornya di depan rumah tetangga Nira, berjarak dua rumah dari rumah Nira. Dia memang tidak pernah mau mengantar sampai rumah jika tahu ibu Nira sedang ada di rumah. pulang dulu." Niko menarik lengan Nira agar berdiri dan menghapus air mata yang membanjiri wajah Nira. "Ayo aku antar." Mereka pulang berboncengan dalam diam. Perjalanan pulang hari itu sama sekali Nira berjalan pelan menuju rumah sambil menunduk melihat ke arah sepatunya. "Siapa yang antar kamu barusan Nira?" Seorang laki-laki memakai jaket kulit berwarna hitam menghadang jalan. Mata Nira membola melihatnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD