***
Diperkenalkan Gama sebagai kakak perempuannya yang baru Giana ketahui beranama Putri Pradipta, Giana tampak santai membawakan perannya. Putri Pradipta adalah seorang dokter cantik di salah satu rumah sakit terkemuka tempat orangtuanya meninggal Sepuluh tahun yang lalu. Giana memulai ektingnya dengan sangat apik. Sekalipun ia tidak gerogi. Kepercayaan diri yang Gia miliki membuatnya pintar sekali membawakan peran.
Diam-diam Gama mengakui keahlian Giana dalam berpura-pura. Gadis Dua Puluh Lima tahun itu terlihat natural setiap kali ia mengucapkan kata. Persis seorang kakak yang penuh perhatian juga penyayang. Jika Gama boleh berkomentar, Giana mirip sekali dengan kakaknya.
Tak bisa dipungkiri, keahlian Giana dalam memainkan perannya membuat rindu di hati Gama untuk kakak perempuannya sedikit terobati karena mereka sudah jarang bertemu sejak sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Jadi, kapan pertunangan kalian diresmikan?" pertanyaan itu membuat lamunan Gama tentang kakak perempuannya yang mungkin saja saat ini masih sibuk bekerja menjadi buyar.
Gama tahu cepat atau lambat orangtua Dea akan melempar pertanyaan padanya. Gama yang tadinya diam-diam memperhatikan Giana, kini mengalihkan perhatian pada calon mertuanya. Wajah datar yang biasanya Gama tunjukan berubah menjadi penuh senyuman. Menunjukan bahwa dia sangat menghargai orangtua Dea yang tak lama lagi akan menjadi mertuanya.
"Secepatnya Om. Setelah lamaran malam ini, aku akan meresmikan pertunangan kami secara langsung. Secepatnya pula aku akan Menikahi Dea karena kalian sudah menerima lamaran kami," jawab Gama.
Giana bertanya dalam hatinya, entah apa yang Gama pikirkan hingga sanggup berbohong sejauh ini. Seolah pernikahan yang dia janjikan hanya sebuah permainan. Sehingga, sanggup membohongi kedua orangtuanya. Melupakan restu yang sebenarnya. Justru menyewa kakak perempuan untuk mengelabui keluarga kekasihnya.
Gelengan kepala yang Giana tunjukan sambil tersenyum menunjukan ketidak percayaannya sampai detik ini. Rencana sehidup semati yang Gama impikan bersama Dea benar-benar sempurna. Tak peduli restu itu tak pernah ia dapatkan.
Penuhnya isi pikiran membuat Giana juga bertanya-tanya, entah kenapa ia merasa aneh pada Dea dan orangtuanya. Sepanjang Giana memainkan perannya, mereka tampak tak curiga. Padahal dibalik ektingnya yang sempurna di mata Gama, Giana diam-diam sengaja menunjukan kesalahannya agar mereka sedikit saja curiga.
Namun, baik Dea maupun orangtuanya sama-sama tidak curiga. Terkesan tidak peduli jika Giana boleh menilai. Mereka seolah sengaja membuat sandiwara ini berjalan dengan semestinya.
"Bagaimana menurut Nak Putri?" bukan karena belum puas bertanya pada Gama, tetapi menurut Naumi, mamanya Dea, akan terlihat aneh rasanya bila tidak bertanya pada Kakak perempuan Gama. Giana pun sadar, Naumi ingin melibatkan dirinya di sini.
Giana terkekeh pelan. Ia membalas tatapan Naumi dengan lembut sekaligus tegas. Menggambarkan seorang Kakak perempuan yang sesuai gambaran dari Gama tentang Putri Pradipta yang sesungguhnya. "Sesuai keinginan Gama saja, tante. Sebagai seorang Kakak, aku hanya perlu menemani dan mendukung adikku," ucapnya.
Naumi membalas senyuman lembut yang Giana berikan. Lagi-lagi Giana berasumsi yang tidak-tidak. Tak bisa dirinya pungkiri, memiliki pengalaman dan berhadapan dengan berbagai macam karakter kliennya, membuat Giana sedikit memahami perasaan seseorang.
Setengah jam yang lalu Giana berjanji untuk tidak ikut canpur urusan Gama selain dari menyamar jadi Kakak perempuannya. Giana juga menekankan dirinya untuk tak lagi menilai perilaku Dea apalagi kedua orangtuanya. Namun, tatapan mata Naumi tampak memiliki banyak sekali rahasia. Senyumnya, tutur katanya membuat Giana curiga. Ia yakin sesuatu telah orang-orang ini sembunyikan dari Gama. Namu, Giana ragu Gama menyadari hal itu.
Giana pun ragu Gama akan percaya bila ia mengungkapkan kecurigaannya. Karena di mata Giana, Gama terlalu jatuh cinta pada Dea. Lelaki itu tampak dibutakan olehnya.
"Begitukah?" tanya Naumi. Lalu mengalihkan perhatiannya kembali pada Gama. "Kalau begitu resmikan secepatnya saja, Gama. Tante nggak mau Dea menunggu terlalu lama," ucapnya terkesan memaksa dibalik senyum manisnya mempesona.
Gama menganggukan kepalanya bagai kerbau dicucuk hidung. Tampak menurut pada apa yang orang-orang ini minta. Melihat itu membuat Giana mengedikan bahunya. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak berkomentar. Tugasnya hanya menyamar sebagai Putri Pradipta, Kakak perempuan Gama. Selebihnya, Giana tak memiliki hak apapun untuk mengurusi kehidupan lelaki itu.
"Kak Gi ... maksudku Kak Putri akan membantu kita. Iya, kan Kak?"
Senyum yang tadinya menghiasi bibir mungil Giana mendadak hilang seketika. Ia tak mengerti kenapa Gama masih saja melibatkannya. Padahal, dalam perjanjian, dirinya hanya akan membantu Gama ketika melamar saja.
"Kak Putri?" panggil Gama sambil diam-diam menekan ucapannya agar Giana menyahuti.
"Ohh ahhh," Giana terkekeh salah tingkah. Sandiwaranya hampir saja terbongkar andai ia tak mendapatkan kesadaran secepatnya. "Tentu," jawabnya tak rela. Giana tidak paham apa tujuan Gama sebenarnya. Hal ini jelas berbeda dari yang tertulis dalam kontrak mereka.
"Sayang .... jangan paksa Kak Putri. Kalau dia sibuk, kita bisa urus semuanya sendiri," sahut Dea sambil mengapit lengan Gama dengan mesra.
Ingin sekali Giana menganggukan kepalanya, menyetujui apa yang Dea katakan. Sungguh, dirinya tak perlu terlibat lebih dalam lagi. Cukup sebatas lamaran saja.
"Nggak bisa gitu, Sayang, Kak Putri harus hadir di antara kita," menolak usulan kekasihnya, Gama menggelengkan kepala. Gama pikir Giana masih harus memerankan sister contract. Akan tampak aneh bila tak ada siapapun dari anggota keluarganya ketika hari pernikahannya dan Dea tiba.
Gama baru saja menyadari betapa pentingnya peran Giana di sini. Gama sanggup memperpanjang kontrak demi lancarnya hari sakral itu. Meski sebenarnya, Giana pun tetap menjadi orang asing baginya, juga bagi kedua orangtua Dea.
"Tapi ..."
"Sssttttt nurut sama aku," potong Gama dengan cepat saat Dea kembali ingin memberinya usul. Dea mengangguk pasrah setelah melirik kedua orangtuanya.
Bagi Dea menikah dengan Gama adalah tujuan dalam hidupnya. Tidak masalah bila keluarga kekasihnya itu tidak merestui asal Gama bersedia menikahinya. Dea betul-betul tidak peduli apa kata orang. Tujuannya bukan orang-orang di belakang kekasihnya itu, melainkan hanya Gama seorang. Dengan memiliki Gama, Dea bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan.
"Aku rasa udah nggak ada yang perlu dibicarakan," ucap Gama sekenanya. Obrolan panjang lebar yang berujung lamaran sudah terlaksana dengan sempurna. Mereka hanya perlu menentukan tanggalnya saja. Gama bisa melakukan itu berdua saja dengan Dea setelah mendiskusikannya sekali lagi nanti.
"Om, tante, terimakasih karena telah menerima lamaranku untuk Dea," perhatian Gama sepenuhnya berada pada kedua orangtua Dea.
Baik Naumi maupun Juardi sama-sama menganggukan kepala. "Baiklah Gama, semoga hari bahagia kalian segera tiba," ucap Juardi terdengar sangat tulus di telinga Gama, tetapi terdengar licik bagi Giana. Hal itu membuatnya menggenggam tangan dengan erat. Merasa bingung terhadap penilaiannya yang semakin buruk saja pada keluarga Dea.
"Kalau begitu kami pamit pulang dulu,"
"Kak Putri harus istirahat karena besok dia ada praktek," alasan Gama masuk diakal meskipun kenyataannya tidak seperti itu.
Tanpa banyak protes apalagi menahan Gama dan Giana, keluarga Dea mengiringi kepergian keduanya. Tentu setelah Giana berbasa basi memeluk Naumi dan Dea secara bergantian. Memerankan saudara perempuan yang setuju akan lamaran ini.
"Mulai sekarang hingga selesai pernikahan nanti namamu adalah Putri Pradipta, Kakak perempuanku yang bekerja sebagai dokter," ucap Gama setelah memastikan Giana duduk aman di dalam mobil tepat di sebelahnya.
.
.
Bersambung.