Where Your Attitude?

1037 Words
*** Gama menoleh kesal saat Farel tak hanya memanggil namanya, tetapi juga menarik tangannya. Decakan meluncur begitu saja karena Farel tak juga melepaskan tangannya. "Ada apa?" tanyanya dengan suara yang berat, sarat akan kekesalan. Tck. Tak hanya Gama yang berdecak sebal, Farel pun melakukan hal yang sama. "Lo yang datang ke gue, Gama! Lo yang minta bantuan kami, tapi ada apa dengan sikap lo itu?" Farel menatap Gama dengan tatapan tajam miliknya. Gama menghempaskan cengkraman tangan Farel. Memang, dirinya yang datang mencari Farel. Namun, bukan berarti ia harus menerima perlakuan tidak menyenangkan seperti ini dari mereka. Ia datang ke tempat ini dengan sangat terpaksa. Meskipun meminta bantuan, tetapi dia membayar dengan harga yang cukup tinggi. "Harusnya lo tanya sama teman-teman lo itu, Farel! Nggak pantas mereka gosipin gue sebagai klien kalian!" "Hal sekecil itu lo permasalahkan?" Farel geleng-geleng kepala dibuatnya. "Kecil lo bilang? Mereka menertawakan gue!" "Tapi wajah lo memang sekaku itu," sinis Farel. Tak suka dirinya ketika Gama menghina pekerjaannya. Gama terlalu sombong. Sikap seperti itulah yang membuat Gama dijauhi teman sekolahnya dulu. Namun, seorang Gama Pradipta tidak peduli dengan semua itu. Hidupnya bukan untuk mencari perhatian palsu dari orang lain. "Gue nggak suka lo jelekin pekerjaan gue, Gama! Lo boleh hina kehidupan gue, tapi nggak pekerjaan gue dan teman-teman gue!" Gama terkekeh remeh. "Gimana rasanya dihina, Farel? Gue pun nggak suka teman-teman lo ngehina sikap gue!" balasnya. Farel sadar ia tak akan menang melawan Gama. Farel berdecak sebal, membiarkan Gama meninggalkannya setelah mengatakan itu. Farel membuka ponselnya, ia mentransfer kembali uang muka yang sempat Gama berikan kemarin. Farel tahu mereka tak mungkin bisa bekerja sama dengan klien seperti Gama. Sudah permintaannya aneh, ditambah sikapnya seperti orang yang kurang didikan. Tentu akan menyusahkan Giana nantinya. Setelah mentransfer uang itu, Farel kembali ke kantor mereka. Ia tidak langsung masuk ke sana. Dirinya menatap bangun di atas atap itu dengan lekat. Benar kata Gama, kotak segiempat itu rasanya tak pantas disebut kantor. Farel menghela napasnya dengan berat. Sesak dadanya mengingat kembali perkataan Gama. Namun, ia belum mampu untuk pindah. Tak mungkin meminta pada orangtuanya ketika ia sudah meninggalkan rumah bertahun lamanya. Tak ingin larut dalam kesedihan terlalu lama, Farel akhirnya melangkahkan kaki menuju kantor itu. Ia membuka pintu dan mendapati Aya juga Giana sedang menunggunya. "Ada apa?" tanya Aya sambil menghampirinya. Farel menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa. Aku sudah mentransfer kembali uang muka yang Gama berikan," jawabnya seraya tersenyum tipis. Baik Aya maupun Giana menghela berat mendengar itu. "Maafkan aku," ucap Giana ketika hening melanda mereka. Walau bagaimanapun ini juga kesalahannya. Namun, karena sudah meminta maaf ia masih saja dihina oleh Gama, Giana merasa Gama sudah keterlaluan. "Sikap Gama memang nyebelin, Gi. Kamu santai aja, kita nggak cocok punya klien seperti dia," Farel mengedikan bahunya. "Kalian jangan khawatir, kita sudah punya klien baru," ucap Farel selanjutnya. Aya dan Giana lagi mengembuskan napas mereka, tetapi kali ini terdengar lega. Lalu, senyum keduanya memenuhi penglihatan Farel. Syukurlah, pacar dan temannya itu baik-baik saja. *** Gama terkejut ketika menerima notifikasi dari Farel tentang uang muka yang dikembalikan lagi padanya itu. "Jadi kalian nggak butuh uangku?" Gama berdecak sinis. "Baiklah! Aku juga nggak butuh bantuan kalian!" ujarnya. Gama yang sedang menyetir menambah kecepatan mobilnya. Sejak awal ia memang setengah hati meminta bantuan pada Layanan Siap Bantu. Gama pikir itu aneh. Namun, karena desakan dari Dea, akhirnya Gama nekat menghubungi Farel. "Sial!" kesalnya. Jika bukan karena mendengar ejekan dari Giana dan temannya itu, Gama pasti tidak akan sekesal ini. Ejekan itu mengingatkannya pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Kejadian yang membuatnya harus hidup sendiri di tengah keramaian. Waktu itu Gama masih duduk di bangku Sekolah, seseorang mulai membulinya karena ia jarang tersenyum. Wajahnya barangkali benar sekaku kanebo kering, sehingga banyak anak lelaki yang memusuhinya. Sementara anak perempuan justru semakin menyukainya. Hal itu mengganggu Gama. Ia tidak suka semua orang menilainya seperti itu. Dirinya hanya ingin orang lain menyukainya dari apa adanya dirinya. Itulah kenapa Gama tak suka mendengar Giana mengejeknya seperti itu. Gama benar-benar tersinggung dan merasa kejadian beberapa tahun yang lalu terulang lagi. Gama memukul stir mobilnya dengan keras. Sekarang dirinya bingung harus mengatakan apa pada Dea. Sudah pasti kekasihnya itu akan marah karena ia tidak mendapatkan kakak perempuan yang Dea inginkan. Bukan kakak perempuan yang juga ikut-ikutan menentang hubungan mereka seperti mamanya. "Benar-benar sial!" geram Gama. Dirinya heran kenapa kakaknya ikut-ikutan menolak Dea, padahal yang Gama lihat Dea adalah gadis baik-baik yang tulus mencintainya. Namun, yang mamanya dan kakak perempuannya lihat justru sebaliknya. Dea adalag gadis matre yang hanya ingin memanfaatkannya. Bahkan Diandra, mamanya pernah mengatakan bahwa keluarga Dea bekerjasama untuk memanfaatkannya. Gama tidak percaya hal itu. Ia menolak mentah-mentah tuduhan mamanya. Gama yakin Dea dan keluarga adalah orang-orang terhormat yang tidak akan pernah melakukan itu hanya demi harta. Dea tak mungkin menukar ketulusan cintanya dengan kekayaan. Bagi Gama, Dea adalah kekasih impian yang selalu mengerti dirinya. Memang, Dea suka sekali belanja. Menghabiskan uangnya, tetapi Gama merasa hal itu wajar. Dea adalah kekasihnya, sehingga tak masalah baginya untuk mengeluarkan uangnya. Gama tidak keberatan melakukan itu. "Astaga!" pekiknya saat mendengar ponselnya bergetar. Buru-buru Gama meraih benda pipih itu. "Dea," Gama meringis. Pasti Dea ingin menanyakan perihal kakak perempuan yang ikut dalam rencana mereka. "Halo Sayang, ada apa?" tanya Gama dengan lembut. Berbeda sekali dengan sikapnya beberapa saat lalu terhadap Giana. Dari tempatnya berada Dea membalas. "Gimana rencana kita? Lancar? Mama sama Papa udah nanyain mulu kapan kamu datang ke sini," sikap Dea yang manja membuat Gama ingin segera bertemu dengannya. Namun, karena pertanyaan Dea selalu saja seputar lamaran membuat Gama mendadak ingin menghindar darinya. Bukan karena Gama tak cinta, tetapi masalah ini sedikit pelik karena orangtuanya tak merestui. "Lancar, Sayang. Tapi sabar dulu, aku lagi mendalami karakter sama dia," terang Gama sedikit gugup. Sengaja dirinya berbohong agar tidak mendapatkan kemarahan dari Dea. "Kamu nggak bohong, kan? Kasihan orangtuaku kalau kamu bohongin!" Gama menghela napasnya dengan berat. "Aku nggak bohong. Kamu tenang aja, tunggu kabar selanjutnya dari aku, Sayang." ucapnya. "Ya udah kalau gitu. Kamu lagi nyetir ya, Sayang?" Gama pun mengiyakan. "Aku tutup ya Sayang, nanti telepon lagi," ucap Dea. Lagi-lagi Gama mengiyakan, lalu membiarkan Dea menutup teleponnya. Gama menghela napas dengan berat. Dirinya tidak tahu harus melakukan apa. . . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD