***
Seperti biasa, Giana siap memerankan pacar dadakan untuk salah satu kliennya. Setelah kemarin Farel mengatakan bahwa ada klien baru yang membutuhkan bantuan mereka, hari ini Giana pun siap untuk bekerja. Sikap Gama yang terkesan merendahkannya kemarin tidak akan pernah menghentikan tujuan hidup Giana yang sudah ia rencanakan sejak sepuluh tahun yang lalu.
Mungkin hatinya sakit akibat hinaan Gama, tetapi dirinya tidak akan menyerah hanya karena lelaki arrogant itu menghinanya. Seperti sepuluh tahun yang lalu, hari ini pun Giana tidak akan menyerah dari rasa sakitnya. Seluruh kebahagiaannya mungkin sudah direnggut, tetapi kebahagian dan masa depan Gufta baru saja dimulai. Giana tidak akan membiarkan adik semata wayangnya itu merasakan apa yang pernah dirinya rasakan. Kehilangan impian yang sejak kecil telah ia cita-citakan tentu saja bukan suatu hal yang mudah.
Namun, sebisa mungkin Giana merelakan hal itu. Setiap hari ia yakinkan hati bahwa suatu hari nanti semua akan kembali pada tempatnya. Giana kuat menjalani hari-hari hingga sampai saat ini.
“Hai, kamu siap?” pertanyaan itu membuat Giana menolehkan kepala. Matanya jeli memperhatikan wajah baru yang hari ini menghampiri. Tentu saja Giana tak memerlukan latihan untuk sekedar menjadi pacar dadakan. Ia sudah terlalu piawai melakukan itu. Mudah saja baginya untuk terlihat natural, apalagi lawannya pun terlihat mudah diatur.
Giana menganggukan kepalanya. “Aku sudah siap! Di mana mantan pacarmu?” tanyanya.
“Sebelumnya, kita berkenalan dulu. Namaku Bobi, senang karena gadis secantik kamu yang menjadi pacar dadakan untukku,” ucap Bobi.
Sekali lagi Giana menganggukan kepalanya. Dirinya sudah terbiasa menemui orang-orang seperti Bobi. Giana tidak merasa terganggu sama sekali, ia justru bangga akan kecantikannya. Setidaknya, dari banyaknya kesialan dalam hidup ini, dirinya masih memiliki suatu keuntungan dari wajah cantiknya.
“Aku udah tahu. Kamu juga pasti udah tahu namaku, kan?” Giana mengedikan bahunya.
“Ohhh, iya aku udah tahu. Kalau gitu kita langsung aja ya,” Bobi tampak salah tingkah. Giana anti berdekatan terlalu lama dengan klien yang belum apa-apa sudah berniat merayunya.
Beberapa detik kemudian seorang perempuan cantik menghampiri keduanya. Tampak sinis ketika Gia menyelipkan tangannya pada Bobi. Tampak memamerkan senyum cantik miliknya. “Dia mantanku,” bisikan Bobi terdengar seperti peringatan bagi Giana. “Aku sudah siap. Biar aku yang berperan,” balasnya.
Ketika perempuan berparas cantik itu mendekat, Giana memulai aksinya. Ia pun membiarkan semua orang melihat kemesraannya dengan Bobi, seolah hal itu sesuatu yang wajar. Namun, bukan berarti Giana membiarkan Bobi menyentuhnya sesuka hati.
“Bobi, siapa dia?” pertanyaan logis ketika seorang mantan yang masih tergila-gila melihat mantan pacar bersama perempuan lain.
“Pacar baruku.” Jawaban Bobi terdengar sebal, hal itu membuat Giana menarik sudut bibirnya.
“Kamu yakin?” pertanyaan macam apa itu? Mantan pacar Bobi baru saja meremehkan Giana. Asal tahu saja, beberapa saat yang lain Bobi baru saja mencoba merayunya.
Giana ingin tertawa tetapi ia tahan. Alih-alih membuat target curiga, Giana justru semakin membuat hubungannya dengan Bobi tampak nyata di mata gadis itu. Sengaja Giana membuka mulutnya. “Dia siapa, Sayang?” tentu saja pertanyaan itu memukul dua orang sekaligus.
Bobi sampai mengerjap heran dibuatnya. Apalagi suara yang Giana keluarkan terdengar manja di telinga. Sesungguhnya, Giana ingin cepat-cepat mengakhiri pekerjaannya hari ini karena sejak beberapa menit yang lalu matanya menatap bayangan Gama yang menatap penuh ancaman padanya.
Giana takut Gama menghancurkan sandiwara mereka. Lihat saja tatapan lelaki itu, tampak bersiap membongkar sandiwara ini. Giana tidak ingin mengecewakan kliennya. Apalagi Bobi benar-benar ingin menjauh dari terror sang mantan pacar.
“Sayang? Siapa dia?” Giana menekan panggilan yang ia berikan pada Bobi. Ia mencoba menyadarkan Bobi dari keterkejutannya. Lagi pula kenapa Bobi masih saja terkejut di saat semua yang akan Giana lakukan sudah tertulis di dalam kontrak.
“Ahhhh, ini Luna, mantan pacarku.” Bobi pun dengan sengaja menekan setiap kata yang ia ucapkan. Terutama ketika ia menyebut Luna sebagai mantan pacarnya.
“Bob! Aku nggak mau putus sama kamu! Aku masih cinta,”
Bukan cinta menurut Giana, tetapi obsesi. Cinta tak harus memiliki, tapi obsesi memaksa untuk memiliki. Jadi, mana mungkin rasa yang Luna sebut itu cinta. Berdasarkan cerita Bobi, Luna mengikutinya setiap hari. Selalu saja mengganggu hidupnya, hidup pacar barunya pun diganggu begitu saja.
Itulah kenapa Bobi ingin menghindar dari Luna. Bobi merasa tidak nyaman bila didekatnya. Dan sebagai Layanan Siap bantu, Giana seharusnya bisa melakukan yang terbaik untuk mengusir Luna dari hidup Bobi. Semoga saja rencana mereka tidak digagalkan oleh lelaki yang sejak tadi siap untuk menghancurkan sandiwara ini.
“Tapi Bobi ini pacarku, Mbak Luna! Jangan coba-coba ganggu dia!” Giana serius memberi Luna ancaman. Ia ingin melihat apa yang bisa perempuan itu lakukan untuk membalasnya.
Benar saja, beberapa detik kemudian Luna bermaksud menyiramnya dengan jus yang sempat ia pesan sebelum Bobi datang. Namun, Luna kalah cepat. Giana sudah membaca niat busuk Luna hingga bisa menghindar dari amukannya.
“Gue bukan cewek lemah yang bisa lo tindas seperti yang lainnya. Gue bilang jangan dekat-dekat Bobi atau lo bisa dapetin yang lebih parah dari ini!” peringatan itu Giana berikan pada Luna setelah ia membalas Luna dengan menarik rambutnya.
Jangan terkejut dan tak seharusnya Bobi khawatir dengan sikap Giana, karena ini adalah pekerjaannya. Giana terbiasa jadi tontonan sejak menerima tawaran bekerja di Layanan Siap Bantu. Jika tidak orang lain yang melukainya, maka ia yang akan menyakiti orang itu. Semua hanya demi keinginan kliennya. Namun, Giana tak pernah dengan sengaja memulainya. Giana tidak akan menyentuh Luna andai perempuan itu tidak menyerangnya lebih dulu.
“Lepasin gue! Bobi ….”
“Akhhhhh iya iya, lepasin dulu ini. Gue nggak akan nyari Bobi lagi,” Luna urung berteriak pada Giana karena Giana kambali menarik rambutnya. Luna sadar pacar baru Bobi yang satu ini ternyata tak bisa ia ancam begitu saja.
Dari pada menambah penderitaan, lebih baik Luna melepaska Bobi saja. Ia memang sengaja membalas Bobi dengan mengusik hubungan lelaki itu dengan perempuan lain karena tak suka Bobi memutuskannya. Namun, bila lawannya seperti Giana, tentu saja tak mudah baginya.
Luna mendengkus sebal setelah rambutnya tak lagi dicengkram oleh Giana. Tanpa mengatakan apa-apa, Luna pergi begitu saja.
Giana mengembuskan napasnya dengan lega. Tak hanya karena berhasilnya ia menyingkirkan Luna, tetapi ia merasa lega karena ancaman Gama tak lagi berlaku padanya. Gama juga sudah tak ada di tempatnya.
“Ohhhh astaga!” pekik Giana saat matanya menangkap bayangan Gama yang ikut keluar dari kafe setelah melihat Luna keluar. Buru-buru Giana menyusul lelaki itu karena takut terjadi sesuatu. Teriakan Bobi pun tak membuatnya menghentikan larinya.
“Mau apa?” napas Giana terasa kembang kempis. Untunglah ia berhasil meraih tangan Gama. Giana melirik Luna yang terus berjalan. Giana menghela napas dengan lega. Luna tidak menyadari apa yang terjadi.
Dengan kesal Giana menarik tangan Gama untuk mengikutinya. Tak jauh dari tempat itu ia menghempaskan lengan Gama. “Mau nyari masalah?” bentaknya.
Dahi Gama berkerut, lalu kekehan keluar dari mulutnya. Giana berhasil masuk ke dalam perangkapnya. Asal Giana tahu saja, Gama memang sengaja mengikutinya karena ingin meluruskan masalah kemarin. Gama rela meminta maaf. Semua hanya demi Dea seorang. Siapa sangka sesuatu seperti ini bisa menaklukan Giana. Sehingga tak perlu membuatnya menekuk lutut untuk mendapatkan permohonan maaf itu.
Gama sengaja menampakan dirinya setelah memahami apa yang terjadi di kafe beberapa saat yang lalu. Gama bisa menebak bahwa Giana sedang bekerja. Ia akan membuat Giana salah paham hingga berpikir akan membongkar sandiwaranya. Ternyata, rencana itu berhasil hingga membuat Giana mengejarnya seperti ini. Giana pasti berpikir, dirinya akan mengacaukan semuanya.
“Kenapa memangnya?” senyum sinis sengaja Gama perlihatkan di depan gadis itu.
“Dasar nggak punya kerjaan! Mau hancurin semuanya, iya?” jujur saja Giana sempat senang karena tak perlu berurusan lagi dengan Gama sejak Farel mengembalikan uang muka kepada Gama. Namun, sejak melihat wajah Gama lagi di kafe ini, Giana merasa sesuatu akan terjadi. Dan ternyata firasatnya benar-benar terjadi. Ia harus berurusan lagi dengan lelaki sombong seperti Gama Pradipta.
Lagi-lagi Gama menunjukan senyum sinisnya. Ia bersedekap. “Kerjaanku sangat banyak, tapi karena tidak sengaja melihat tukang gosip di tempat ini, naluri ingin melindungi tiba-tiba saja membuatku ingin menyelamatkan orang lain,” ucapnya secara asal.
Giana sungguh geram mendengar itu. Ternyata Gama benar-benar berniat membertitahu Luna apa yang sedang ia lakukan. Beruntung Luna sudah pergi. Sehingga Giana tak perlu merasa takut dan tidak nyaman pada Gama. Giana akhirnya sanggup membalas senyum sinis Gama. Ia pun menunjukan kekuasaanya. “Coba saja kalau berani,” tantangnya.
“Berani menantangku, Giana?” Gama tampak santai dengan pertanyaan itu. Membuat Giana sedikit curiga, tetapi ia tak ingin terlihat gentar di mata Gama.
Giana menganggukan kepalanya dengan tegas. “Lakukan apapun yang kamu bisa, Pak Gama!”
“Aku sungguh tidak peduli,” Giana mengedikan bahunya tak peduli. Padahal, diam-diam ia merasa khawatir pada apa yang akan Gama lakukan melihat dari tatapan remeh yang terus saja dia tunjukan itu.
“Kamu yakin tidak peduli?” tanya Gama sambil menunjukan ponselnya. Giana yang terlalu khawatir menganggap hal itu sebuah ancaman. Dia mulai berpikir bahwa Gama sudah mendapatkan nomor Luna. Giana gugup, tapi sebisa mungkin dirinya bersikap biasa.
Giana bahkan mencoba tertawa agar Gama tidak melihat kekhawatirannya. Lalu , ketika Gama mulai mengambil ancang-ancang untuk menghubungi seseorang, buru-buru Giana menarik ponselnya. “Jangan gila!” ujarnya kesal.
Demi apa nanti ia akan bertanya pada Farel tentang bagaimana ia menganggap Gama sebagai temannya? Lihat apa yang Gama lakukan? Tak hanya menghina pekerjaan mereka, tetapi juga ingin menghancurkannya. Sungguh sial! Kenapa mereka harus terlibat pada lelaki seperti Gama.
“APA MAUMU?” rasanya tak cukup teriakan itu memekakan telinga Gama. Ingin sekali Giana melakukan sesuatu yang bisa membuat Gama terluka.
Apalagi saat melihat senyum sinis kembali muncul di bibir lelaki itu. Giana semakin ingin menghancurkannya, tetapi apa yang bisa Giana lakukan saat ini? Gama sudah memiliki kartu As untuk menghancurkannya lebih dulu.
Tanpa Giana sadari, pertanyaan yang beberapa detik lalu Giana ajukan sudah Gama tunggu-tunggu sejak beberapa saat yang lalu. Gama sudah menantikannya. “Pertama, kembalikan dulu handphone itu,” ucapnya sambil mengulurkan tangan, meminta benda pipih miliknya segera dikembalikan.
Giana melirik sebal padanya. Lalu segera mengembalikan apa yang Gama inginkan.
“Kedua, turuti perintahku!” ujar Gama. Membuat Giana mengangakan mulutnya. Apa maksud Gama? Perintah yang mana dan seperti apa?
“Maksudmu?”
Gama tersenyum tipis. “Kamu harus tetap jadi kakak perempuanku!” jawaban itu membuat Giana lagi-lagi mengangakan mulutnya. Giana tidak percaya, setelah menghinanya dan teman-temannya, ternyata Gama masih membutuhkannya.
Tck.
Kenapa Gama tak meminta langsung pada Farel? Apakah lelaki itu malu karena telah mengejek mereka? Giana geleng-geleng kepala. Tak hanya sombong, tetapi Gama juga memiliki gengsi setinggi bintang di langit.
“Ohh kamu masih butuh bantuanku, Pak Gama yang terhormat? Tapi pekerjaan ini terlalu rendah di mata Bapak Gama yang terhormat,” Giana mengedikan bahunya. Segala yang ia ucapkan semoga dapat membuat Gama tersindir. Namun, alih-alih tersindir, Gama justru terkekeh remeh.
“Kalau kamu keberatan, aku bisa mengatakan pada perempuan itu tentang sandiwaramu,” ancamnya.
Giana kembali gelisah. Ia tidak mengenal Gama hingga tidak tahu bagaimana sikap lelaki di depannya ini sebenarnya. Namun, tatapan matanya menunjukan ketegasan bahwa dia tidak main-main soal ancaman itu.
“Baiklah! Tetap saja kamu harus bicara dulu pada Farel!” Giana berteriak.
“Nggak perlu!” balasan Gama membuat Giana mengerutkan dahinya. Lalu ia tertawa. “Kau pasti sangat malu. Makanya jangan asal bicara!” ucapnya terang-terangan.
Gama tampak salah tingkah. Dia memang sedikit malu karena kejadian kemarin, tetapi sekali lagi semua demi Dea. Apapun akan Gama lakukan demi sang pujaan hati. Termasuk menekuk lututnya seperti yang Giana lakukan kemarin. Itulah kenapa pagi tadi ia mendatangi Layanan Siap Bantu. Namun pintu mobil belum dibuka, tapi Giana sudah menampakan batang hidungnya lebih dulu. Giana meninggalkan kantor, sehingga Gama memutuskan untuk mengikutinya.
“Maafkan aku Gama, tapi kamu harus bicara dulu pada Farel. Sampaikan permintaan maafmu itu kalau mau aku bantu,” Giana mengedikan bahunya. Gama boleh saja mengancamnya, tetapi saat ini Giana sudah sadar bahwa Gama memerlukan bantuan mereka.
Setidaknya, Farel dan Aya harus mendengar permintaan itu sekali lagi setelah Gama mengutarakan penyesalannya. Dengan begini mereka akan saling menguntungkan.
“Kamu …”
“Giana … apa yang terjadi?” baru saja Gama ingin membalas perkataan Giana, tetapi Bobi, klien Giana tiba-tiba saja menghampiri.
Perhatian keduanya teralihkan. Jika Giana tersenyum lega menyambut Bobi, maka Gama memasang wajah masam kepadanya.
“Nothing. Emhh Bob, pekerjaanku sudah selesai. Semoga setelah ini mantan pacarmu nggak gangguin kamu lagi. Sesuai kontrak, jasaku hanya bisa dipakai sekali lagi setelah ini,” ucap Giana pada Bobi.
Giana kembali mengalihkan perhatiannya pada Gama. “Pikirkan perkataanku, Pak Gama. Ajukan permintaan sekali lagi pada Farel karena kontrak sudah dibatalkan,” ucapnya.
“Kalau begitu …,” Giana menatap bergantian antara Gama dan kliennya. “Aku permisi dulu,” pamitnya.
“Aku anterin kamu pulang, Giana,” ucap Bobi, tetapi tentu saja Giana menolak. Ia tidak suka dirayu oleh kliennya sendiri. Ketika urusannya sudah selesai, maka tak perlu lagi ada kontak selanjutnya. “Terimakasih, tapi aku bisa pulang sendiri,” tegasnya.
.
.
To be continued.