***
Giana merasa sangat puas karena telah memberi Gama pelajaran. Mungkin Giana memang memiliki kekhawatiran yang berlebihan terhadap ancaman Gama beberapa menit yang lalu, tetapi Gama tak bisa mengancam Giana lebih dari itu karena Gama membutuhkan Giana.
Kini, Giana akan menunggu permintaan kedua dari Gama setelah sempat meremehkan pekerjaannya.
“Sungguh memalukan,” ejek Giana sesampainya ia di kantor karena melihat Gama sudah duduk di depan Farel dan Aya.
Mendengar ejekan itu, Gama menggenggam tangannya dengan erat. Nama Dea ia bisikan demi menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu pada Giana.
“Ahh Gi, ehmm Gama mau ajuin permintaan lagi,” ucap Aya sambil menghampiri Giana. Jujur, dirinya pun merasa terkejut mendapati Gama datang lagi pada mereka.
Entah apa yang Gama pikirkan hingga akhirnya kembali ke tempat ini. Ruang segiempat yang kemarin sudah lelaki itu hina. “Gimana menurut kamu?” bisik Aya.
“Ay buatin tamu kita kopi. Aku mau bicara sama Gia dulu,” tegur Farel yang sejak tadi menimbang permintaan Gama. Tak mudah bagi Farel melupakan perkataan Gama yang terlalu menghina dirinya kemarin.
“Ohhh baiklah,” Aya yang pengertian mengangguk saja. Selagi Farel membawa Giana keluar, Aya menawari Gama minuman. Namun, Gama menggelengkan kepalanya. Diam-diam Aya bersyukur, karena dirinya pun tak suka pada sikap Gama yang kemarin sungguh keterlaluan.
Di luar, Farel berkacak pinggang. Ia menatap lantai dengan kesal. “Gama dan akal sehatnya, Gi, bikin kesal setengah mati!” ujarnya setelah menoleh pada Giana yang berdiri tak jauh darinya.
Giana mengangguk setuju. “Dia sudah minta maaf sama kalian, Rel?” tanyanya tanpa membalas tatapan Farel.
“Sudah. Kamu yang minta?”
Kali ini pun Giana menganggukan kepalanya. “Kita nggak sengaja ketemu di kafe dan dia ngancam aku untuk bocorin sandiwara sama mantannya klien kita,” terang Giana.
“Ujung-ujungnya dia maksa aku buat bantuin dia lagi. Persis seperti rencana yang dia mau. Tapi aku nggak mau, aku bilang harus ajukan permintaan lagi.”
“Tapi sebelum itu Gama juga harus minta maaf terlebih dahulu sama kalian,” ucapnya.
“Tolak aja kalau kamu nggak suka, Rel,” Giana mengedikan bahunya tak peduli. Seharusnya mudah bagi Farel menolak klien yang sulit diajak bekerja sama, apalagi yang sudah pernah mengecewakan mereka seperti Gama. Namun, Farel masih mengingat pertemanannya di masa SMA dulu. Memang, mereka tak sedekat itu, tetapi Farel tak bisa menolak permintaan Gama.
Farel kembali mengalihkan perhatiannya pada Giana. “Kamu nggak masalah kerja sama dia?” tanyanya.
Giana pun tersenyum. Kali ini ia membalas tatapan Farel. “Aku sudah biasa, Rel. Nggak masalah selagi dia sanggup bayar kita. Lagipula Gama sudah minta maaf, kan?” tanyanya.
“Kalau gitu kita lanjutkan saja Gi. Ambil kembali permintaan Gama. Kita bantu dia semaksimal mungkin. Bagaimanapun juga kepuasan pelanggan adalah nomor satu,” putus Farel. Giana pun setuju. Persetan dengan semuanya, yang penting saldo rekeningnya akan bertambah.
Keduanya sudah sepakat untuk menerima permintaan Gama lagi. Mereka masuk kembali untuk menemui Gama dan meluruskan segala perkara kemarin.
Farel mengangguk singkat saat Aya menatapnya, meminta penjelasan. “Baiklah Pak Gama, saya akan buatkan kontrak baru untuk Bapak. Mohon jangan diulangi lagi ya Pak kejadian kemarin, gimanapun juga Bapak masih membutuhkan bantuan kami,” ucap Aya sengaja menekan kejadian kemarin kepada Gama.
Aya mengulurkan berkas kepada Gama agar segera di tanda tangani. Isi berkas itu selalu sama. Hanya sebaris kata yang harus ditulis tangan yaitu tujuan dalam permintaan ini. Gama pun menerima berkas tersebut dan menuliskan hal yang sama dengan kontrak pertamanya. Setelah itu ia menanda tangani dengan cepat.
“Kapan kita melanjutkan rencana ini, Pak Gama?” kini Giana yang mengambil alih.
Gama menggenggam tangannya dengan erat. Ia mencoba untuk membalas senyum tipis yang Giana tunjukan. “Dua hari lagi!” jawabnya.
Giana membulatkan mulutnya. Tak ada masalah baginya, tetapi Gama yang harus terbiasa dan menganggapnya sebagai kakak jika ingin sandiwara mereka bejalan dengan mulus. “Aku akan berikan yang terbaik,” janjinya.
“Oya Ay, pekerjaan kakaknya Gama apa?” tanya Giana yang sudah mengalihkan perhatiannya pada Aya. Karena permintaan ini sedikit rumit dari biasanya, Giana juga harus tahu pekerjaan kakaknya Gama. Semua demi lancarnya rencana mereka.
Aya meringis. Akhirnya Giana bertanya juga soal pekerjaan ini. Aya bahkan mencoba melupakannya. Ia bermaksud untuk tidak memberitahu Giana saja.
“Kakakku adalah seorang dokter,” dengan santai Gama mengambil alih peran Aya untuk menjawab pertanyaan Gia.
Terang saja hal itu membuat Giana mengalihkan tatapannya pada Gama. Senyum di sudut bibir Giana perlahan menghilang ketika melihat wajah Gama yang serius, terkesan tidak sedang membohonginya. Giana pun kembali mengalihkan tatapannya pada Aya.
Bibirnya kembali tersenyum saat melihat sahabatnya itu mengangguk pelan. “Bagus! Akhirnya aku bisa membual soal pekerjaanku,” kekehnya.
“Gi …”
“Ini benar-benar permintaan yang langka ya Ay, Rel,” potong Giana dengan cepat. Ia menghentikan apapun yang ingin Aya katakan.
“Tenang saja, hal ini nggak akan mempengaruhiku,”
Sebenarnya, tak hanya cita-cita yang kandas yang Giana sedihkan jika mengingat seorang dokter. Sungguh bukan hanya itu. Namun, ia akan selalu teringat pada kedua orangtuanya bila sudah menyangkut dokter. Giana tidak bermaksud menyalahkan siapapun, tetapi entah kenapa ia merasa trauma.
“Apa yang kamu tahu tentang kedokteran?” tanya Gama yang terdengar tiba-tiba. Hal itu membuat Aya menggeram kecil. Gama memang tidak tahu situasi dan kondisi. Seenaknya saja ia banyak bertanya.
Giana menoleh pada Gama. Banyak yang Giana ketahui. Sewaktu semua masih baik-baik saja sepuluh tahun yang lalu, seringkali Giana menenggelamkan dirinya pada buku tebal yang biasa dimiliki mahasiswi kedokteran. Giana diam-diam membacanya, mempelajari setiap detailnya. Meskipun ia tak pernah mempraktekannya. Jika hanya teori, Giana sedikit mengerti.
“Kamu nggak usah khawatir, sebisa mungkin aku akan menghalangi orangtua Dea bertanya soal pekerjaan kakakku,” belum sempat Giana menjawab, Gama sudah lebih dulu membuka mulutnya.
Giana pun hanya menganggukan kepalanya. “Okay! Kupikir semua beres. Kita bisa bertemu lagi dua hari lagi, atau kamu masih mau latihan sama aku?” tanya Giana menawarkan sesi latihan pada Gama. Namun, Gama menggelengkan kepalanya.
“Aku bisa mengimbangimu. Itu saja, aku pergi dulu. Nanti akan ku transfer semua biaya ke rekening Farel,” ucap Gama sambil berdiri dari duduknya.
“Permisi,” lalu Gama betul-betul pergi.
Baik Aya, Giana maupun Farel sama-sama menggelengkan kepala melihat tingkah Gama. Aya menarik Giana agar mendekat padanya. “Nanti kalau pilih suami jangan kayak gitu ya, Gi. Hidupmu akan dalam masalah bila bertemu lelaki seperti Gama,” bisiknya.
Giana pun mengangguk setuju. “Kamu benar Ay, aku pasti tersiksa seumur hidup kalau sampai nikah sama lelaki seperti dia,” balasnya sambil mengedikan dagunya ke arah pintu yang tadi dilewati oleh Gama. Keduanya sama-sama terkekeh sebelum Giana pamit untuk pulang ke rumahnya.
.
.
To be continued.