Bab 18 : Banjir

2086 Words
Di lain tempat, tepatnya Ucok dan kawan-kawan, masih setia duduk di semak-semak bebatuan dekat dengan sungai, mereka masih stay di sana. Guna memperkecil tersesat lebih jauh, paling tidak, jika bantuan datang, mereka akan menyusuri sungai dan menemukannya di sini. "Lagian, yang namanya penyesalan selalu terlambat. Kalau duluan itu namanya pendaftaran." Mendengar celetukan ini, mereka bertiga akhirnya tertawa bersama, meskipun tidak selepas biasanya, terhitung mungkin sudah lebih dari 10 jam mereka ada di hutan ini, asupan makanan hanya berasal dari roti kemasan dan juga air mineral. Sekarang air mineral hanya tinggal tersisa punya Andi. Sedangkan milik Ucok dan Adul sudah habis dan tinggal botolnya saja. "Bang, ambil air sungai aja, yok. Persediaan," ujar Adul mengajak Ucok untuk ke sungai mengambil air. Ucok yang setuju pada akhirnya mengikuti langkah Adul mencari jalan agar sampai ke pinggiran sungai. Beberapa kali mereka haru merayap ketika melewati batu besar. "Sejak kapan di Sibayak ada sungai besar?" Tanya Ucok sembari memasukkan air ke dalam botol minumnya. "Entahlah, Bang. Hutannya aja udah kayak gak Sibayak, bingung aku. Tiba-tiba ketemu hutan yang kayak gini lebatnya. Ini aja kita baru lihat cahaya, Kan? Semalam gak lihat apa pun." "Yah jelas lah, bodoh. Kan semalam itu memang waktunya lagi malam. Yah jelas gak nampak langit, paok kali." Adul terkekeh geli, ia menatap ke arah semak-semak yang menghalangi jalannya untuk menuju sungai. Ia melihat ke tepian yang semua nya tertutup oleh semak dan jurang yang lumayan tinggi. "Gimana, yah. Cara turunnya?" Andi dan Ucok menggeleng dengan kompak lalu ber TOS ria, seakan itu sudah mereka berdua rencanakan. Adul mendengus kesal. Ia kembali melihat ke arah tepian sungai, mencari jalan yang sekiranya bisa ia loncati, ataupun ia turuni. "Yok, jalan agak ke atas lagi,"ajak Adul. Di tangan nya ada dua botol minum, dan di tangan Ucok ada dua botol juga. Sedangkan Andi membawa tasnya. Karena tas milih Ucok dan Adul mereka tinggalkan di tempat mereka berhenti tadi. "Tas kalian gimana?" Tanya Andi. Ucok melirik ke arah kawannya yang satu itu. "Gampang, nanti kita ambil lagi." Setelahnya tidak ada suara apapun, mereka fokus dengan jalanan yang penuh dengan rerumputan liar mencari jalan yang menuju tepian sungai. "Ada, Bang. Agak ke bawah, yok lah." Adul berusaha turun, begitu sampai di tepian, Adul segera mengisi air di dalam botol minumnya. Melihat ke segala penjuru sungai yang terlihat sangat asri. "Bang, kayaknya di sini aja kita dulu, mana tau ada yang nyariin kita, bisa cepet nemukannya." "Loh, Dul. Tas kalian masih di sana." "Oh iya, yaudah kita ambil itu dulu, baru balik sini. Kau Ndi bawa tas siapa?" "Tasku lah ,Dul. Gimana nya kau?" Aduk mendekati Andi yang berdiri di sebelahnya. "Ini tas aku, paok." Seru Adul dengan terkekeh geli, kenapa pula lah kawannya yang satu ini? Tidak sadar tas siapa yang sedari tadi ada di punggungnya. Andi yang mendengar seruan Adul langsung mengecek tas nya, dan alangkah terkejutnya ia begitu menyadari apa yang dikatakan oleh Adul adalah kebenaran. "Kok bisa tas kau? " Ucok menggeplak kepala Andi, ia sangat gemas dengan kepolosan anak satu itu. "Waktu kau gak sadar kan si Adul yang gendong, jadi tasnya itu aku yang bawa, nah kau setelah sadar mungkin otaknya gak berfungsi lagi, jadi gak bisa bedakan warna, tas kau warna navy, tas si Adul wana hitam. Buta warna kau?" "Anjir, bisa gitu yah. Dah lah, Enceng. Mana sini, aku mau minum." Andi merebut paksa botol minum yang ada di tangan Adul, lalu menenggaknya dengan penuh semangat. "Rakus kali anak satu ini." "Cuma air minum aja kok. Noh mengalir gitu." Ucok duduk di bebatuan sungai, ia menyelonjorkan kakinya, lalu melihat aliran sungai yang lumayan deras dan memilki bebatuan yang besar-besar. "Bang, ambil tas dulu, yok." Ajak Andi. Ucok hanya melihat sekilas, lalu kembali menghadap ke arah sungai, Andi jelas saja merasa heran, ada apa dengan seniornya itu? "Woy, Bang. b***k?" Teriak Andi lagi. Namun bukannya menyaut, ucok malah acuh tak acuh. "Kau ambil sendiri lah, Ndi. Sekalian titip tas ku." Adul mengernyit kan dahinya, sejak kapan Ucok menjadi sosok seperti ini? Bahkan seperti bukan Ucok saja. Andi melihat ke arah Adul. "Dul, yok kawani aku. Itu orang gak punya otak nya itu, tas dia juga, tapi ngatur aja pandenya." Sungut Andi kesal. Ucok langsung berdiri, ia menatap Andi dengan sorot mata yang tidak bersahabat. "Muncung kau itu, lantam kali. Apa salahnya kau ambil sendiri, sekalian kau ambil punyaku, jangan semua-semua harus kami kawani, macem bocah tau kau!" "Anjing emang kau, Yah. Gak tau diri, kau pikir gara-gara siapa kami kayak gini? Hah! Gara-gara kau." Teriak Andi dengan sorot penuh kebencian. Semua emosi yang ia pendam selama perjalanan yang melelahkan ini, ia tumpahkan di hadapan Ucok secara langsung. Adul memijat keningnya ketika merasa kepalanya teramat sakit. "Apa nya mau mu, Ndi? Ngajak gelot kau? Ayo lah, kau pikir siapa kau, bisa nuduh aku kayak gitu, kau pun ikut andil, kau yang nyarankan jalur ini, kau yang buat kami milih jalur ini," ucap Ucok dengan menggebu-gebu, bahkan ia sudah maju beberapa langkah ke arah Andi. Jika tidak segera adul hentikan, maka bisa saja ada pertumpahan darah di tengah hutan ini. "Kalau kau gak ambil pendapat, gak bakal gini kita, asal kau tau, udah berulang kali si Adul minta berhenti, tapi nyatanya gak mau kau dengarkan kami." "DIAM! GAK BISA DIEM KALIAN? HAH? BUKANNYA CARI JALAN KELUAR, MALAH SALING NYALAHKAN. SAMA-SAMA SALAH KALIAN BERDUA, JADI GAK USAH CARI PEMBENARAN KAYAK MANA PUN!" Ucap Adul dengan berteriak keras, membuat Adul dan Ucok terdiam secara langsung, dan hanya saking melirik tajam satu sama lain. "Kalian sadar gak? Di situasi kayak gini bukan saatnya salih salah-salah kan. Lebih baik cari jalan keluar, kau Andi mau ambil tas kan? Ayo aku yang nganter, dan bang Ucok. Coba kurangi sifat egois Abang, biasanya Abang gak kayak gini. Tapi entah kenapa pendakian kali ini sifat Abang sangat sangat sangat menyebalkan." Adul tanpa banyak kata, naik ke atas dan menuju tempat tas kedua rekannya berada. Diikuti oleh Andi yang masih dalam keadaan emosi, meninggalkan Ucok sendirian di tepi sungai. "Ndi, gak baik kalau marah-marah gitu, di sini yang salah gak cuma bang Ucok, tapi kita semua. Jadi jangan nyalahin bang Ucok aja lah." Andi terdiam, sama sekali tidak menanggapi apa yang Adul sampaikan, saat ini dirinya tengah menenangkan diri, dan meredam emosinya yang sedang memuncak hebat. Bahkan dirinya tidak sadar apa saja yang telah ia ucapkan tadi. "Ndi, kau denger gak apa yang aku cakap?" "Denger!" Adul menghela nafas, ia sebenarnya juga emosi melihat tingkah Ucok, namun tidak mungkin ia mengucapkan semua emosinya secara gamblang, untung saat ini meredam emosi adalah salah satu jalan yang terbaik. "Jujur aja, Ndi. Aku sebenarnya juga emosi, tapi yah mau gimana lagi, kalau kitanya gelut, yang ada kita gak bakal ketemu jalan keluar." "Entah lah, Dul. Emosi kali aku liat tingkah si Ucok. Rasanya pengen nonjok muka dia aja." Adul terkekeh, sangat jarang melihat seorang Andi yang biasanya pecicilan menjadi emosian. Apalagi ini sampai hampir adu jotos dengan Ucok, bukan sifat Andi sama sekali. "Jauh juga kita jalan tadi yah," ucap Adul begitu sampai di tempat tas mereka berada. "Lumayan lah, untung inget, kalau gak inget, dah lah, mau makan apa kita? Sementara di sini semua logistik." Mereka hendak berjalan kembali menuju tepi sungai, namun tiba-tiba langit berubah menjadi mendung, dan cuaca yang tadinya terang benderang menjadi gelap. Tak lama, suara gemuruh air seperti sedang banjir terdengar semakin dekat. Adul dan Andi langsung menepi mencari tempat yang lebih tinggi, mereka panik begitu menyadari Ucok yang masih berada di pinggiran sungai, bagaimana keadaan seniornya itu? Andi dan Adul hanya bisa berserah diri kepada Tuhan, mengharapkan Ucok selamat, meskipun ketika melihat bagaimana air banjir itu, mereka ragu jika Ucok sempat menyelamatkan diri. "Dul, bang Ucok gimana itu, Dul. Bang Ucok." Histeris Andi sambil menangis ketakutan. Tak berbeda jauh dengan Andi, Adul juga sudah menangis mengingat Ucok yang mereka tidak tau bagaimana kabarnya. "Ya Allah, bang Ucok. Gimana coba dia itu? Nyesal aku tinggalkan dia tadi, Dul. Ya Allah." Adul menatap air yang berwarna kecoklatan dan membawa batang-batang pohon serta lumpur yang bercampur dengan bebatuan. Banjir yang tiba-tiba, bahkan mendung saja baru sampai di atas mereka, apa mungkin di hulu sana sudah hujan duluan? Akan tetapi sedari tadi cuaca tidak menunjukkan adanya hujan. Membayangkan Ucok yang terombang-ambing di tengah banjir, entah mengapa membuat Adul merasakan sangat sesak. Bukan seperti ini harapan mereka untuk kembali pulang, jika yang di maksud oleh Ucok adalah pulang selamanya, mengapa harus sekarang? Andi masih terisak di samping Adul, sama hal nya dengan Adul, Andi melihat ke arah air, memantau semua yang terbawa arus itu, mana tau secara tiba-tiba, Ucok muncul di atas kayu-kayu yang terbawa arus banjir, meskipun itu tidak mungkin, melihat kondisi airnya saja, kodok yang bisa berenang sekali pun tidak akan selamat. "Gimana nih Dul, ya Allah, hiks... Aku bingung kali ini. Banjirnya gede banget, bang Ucok kemana?" "Aku juga gak tau, Ndi. Gak bakal ngira kayak gini kan, bahkan botol minumnya masih sama kita, bang Ucok di sana sendirian." Rasanya Adul ingin mengulang waktu, di mana mereka masih berada jauh dari sungai, sehingga kejadian seperti ini tidak menimpa mereka. "Kasian bang Ucok, Dul. Ayo cari bang Ucok, mudah-mudahan masih di sana dia, selamat. " Adul menyetujui itu, ia dan Andi langsung berdiri dan menerobos semak belukar mengikuti jalur sungai, hingga mereka sampai di tempat mereka mengisi air tadi. Di sana sama sekali tidak ada apa-apa dan siapa-siapa, hanya ada air sungai yang berwarna coklat sedang meluap-luap. Seolah pegunungan ini tengah memuntahkan kapasitas airnya. "Ndi, gak ada bang Ucok, Ndi." Teriak Adul begitu menyadari Andi yang bahkan sudah mau nekat menghampiri air sungai itu. "Ndi jangan kesana!" Teriak Adul kembali, ia menyusul Andi yang dengan cepat sudah sampai di dekat banjir. Mereka melihat ke sana ke mari, bahkan Andi melihat ke arah semak-semak yang tadinya terlihat tinggi sekali ketika hendak turun ke bawah, kini terlihat sama dengan tinggi sungainya. "Besar banget banjirnya, Dul. Kemungkinan bang Ucok selamat dikit." Panik Andi, dia mendekati Adul yang tengah mencari keberadaan Ucok juga. "Cari lagi, Ndi. Insyaallah ada," seru Adul yang masih dengan semangat mencari keberadaan Ucok. Paling tidak mereka bisa menemukan pemuda itu, hidup maupun mati. Sekitar 1 jam mereka sudah mencari Ucok di pesisir sungai, namun tidak membuahkan hasil sama sekali, keberadaan laki-laki itu bak di telah bumi, entah bagaimana kondisinya saja, Adul dan Andi tidak mengetahuinya. "Aku mau pulang, Dul. Rasanya aku gak sanggup lagi kalau kayak gini, udah banyak kali kejadian yang kita alami, dari yang gak mistis sampai bencana kayak gini juga kita ngalamin." Adul merenung, mereka bersandar di pohon yang cukup besar. "Pengen pulang, tapi kita gak tau jalannya di mana. Kau lihat sekeliling kita, itu juga mendung, sebentar lagi hujan, mending bangun tenda dulu, yah." Andi mengangguk, mereka dengan terburu-buru mendirikan tenda, hingga hujan datang, tak lama setelah tenda selesai dan keduanya masuk ke dalam tenda. Keduanya duduk termenung dengan pikirannya masing-masing, tanpa ada suara dan hanya keheningan yang ditemani oleh rintik hujan yang semakin deras, pikiran mereka berkecamuk, mengingat sosok Ucok yang tidak diketahui keberadaannya. "Ndi, semisal bang Ucok gak selamat, kita harus cari jasad nya sampai ketemu, yah?" Andi mengangguk lemah, ia menangis kembali mengingat sebelum kejadian ini, ia sempat bersitegang dengan Ucok. Bahkan dirinya mengatai Ucok dengan kejam. "Hiks, aku merasa bersalah, Dul. Coba tadi bang Ucok kita ajak naik, gak bakal begini kejadiannya." "Semua udah takdir, ndi. Yang kita lakukan sekarang cuma ikhtiar sama doa, doa kan aja bang Ucok selamat, dia sempat menepi sebelum banjir datang, lagian kit-...." "Dul, Andi." Adul terdiam, ia seperti mendengar teriakan seseorang dari luar, Adul enggan membuka pintu tenda, ia harus mawas diri dengan kemungkinan adanya sosok yang membahayakan mereka. "Adul! Andi!" Teriakan itu semakin keras terdenga, beradu dengan suara air hujan. "Dul, denger gak? Ada yang manggil, tapi kayak suara bang Ucok." "Jangan dulu, Ndi. Takutnya demit yang buat bahaya." Andi menyetujui ucapan Adul, ia kembali tenang meski dalam pikirannya bertanya-tanya, siapa gerangan yang memanggil mereka. Hingga tak lama, tenda mereka seperti di dekati oleh seseorang, Andi meringsut mendekati Adul yang juga sudah waspada, dan memilih diam bak patuh. Bayangan orang itu semakin dekat, dan berdiri tepat di depan pintu tenda, dengan balutan jaketnya, Andi merapat ke Adul dan saling menggenggam tangan. Sosok yang berdiri di depan tenda, tak lama terlihat jongkok dan menggoyangkan pintu tenda itu. Sontak saja Andi merasa sangat takut, mereka pernah di posisi seperti ini. Dan ada kemungkinan bakal terjadi lagi. "Ya Allah, siapa pun itu, tolong lindungi kami dari marabahaya. "
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD