Rahman beserta yang lain masih berdiskusi banyak hal, sedangkan Fahri sudah terlelap dengan seorang teman di dalam tenda.
Fahri tidur dalam keadaan gelisah, keringat terus mengalir di sekujur tubuhnya, bahkan sangking tidak tenang nya Fahri tidur, teman yang berada di sebaliknya juga sampai terbangun, lalu melihat ke arahnya.
"Bang, bang Fahri, Bang." Pemuda itu berusaha membangunkan Fahri dengan menggoyangkan lengannya, namun mata itu masih tertutup dengan tubuh yang terus menggigil.
Pemuda yang bernama Ahmad Siregar itu segera keluar tenda dan mencari keberadaan Dhani. Begitu melihat Dhani dan anggota lain duduk melingkar tak jauh dari tenda, Ahmad langsung menghampiri kelompok diskusi itu.
"BANG DHANI, BANG DHANI!" Teriak Ahmad memanggil nama Dhani yang sontak membuat kelompok diskusi itu segera bangkit dan menghampiri ke tempat Ahmad berada.
"Ngapa nya kau? Malem-malem ribut kali, teriak kek orang hutan."
"Bang, bang Fahri itu kenapa? Badannya menggigil."
Mendengar itu, Rahman dan Anu langsung berlari masuk ke dalam tenda tanpa banyak kata. Melihat bagaimana kondisi Fahri yang menggigil, namun berkeringat dan mulutnya memanggil nama Ucok lirih.
"Ri, jangan gini lah, jadi bingung semua," ujar Rahman lirih, ia sangat bingung juga kalau begini, Ucok dan kedua rekannya belum ditemukan, sedangkan Fahri malah dalam kondisi yang tidak baik.
"Kalau kau gini, aku gimana coba mau cari yang lain?" ucap Rahman dengan nada yang lemas, ia tidak bisa meninggalkan Fahri dalam kondisi begini, yang ada pikirannya tidak akan fokus dan akan terpecah.
"Man, coba minggir dulu, biar Abang lihat kondisi Fahri."
Rahman menepi, menyisakan ruang untuk Anu memeriksa kondisi Fahri. "Coba ambil semua selimut yang ada, ini dia kedinginan ini."
Dengan gerak cepat, Rahman dan beberapa anggota lain mencari persediaan selimut yang mereka punya, dan sengaja ditinggalkan oleh beberapa pendaki yang sudah pulang tadi. Setelah menemukan tiga buah selimut, Rahman dan Anu langsung membungkus tubuh Fahri dengan selimut tersebut. Berharap dapat mengurangi rasa dingin yang ada di tubuhnya.
"Kok gini kali ya Allah, gak kebayang bakal gini."
"Gimanalah, Man? Emang udah jalan takdirnya begini," jawab Anu sambil duduk di sebelah Rahman mengawasi Fahri. Hingga sebuah teriakan mengagetkan mereka semua.
"FAHRI, FAHRI, FAHRI."
Teriakan yang membahana dan bergema di penjuru hutan, Rahman langsung keluar bersama dengan Anu yang juga ikut menyusul Rahman kemudian. Dhani yang tadinya berada di luar sangat jelas mendengar suara itu, suara yang terlihat dekat, namun tidak ada wujudnya.
"Cok, kalau emang kau mau pergi, pergilah Cok, jangan ganggu Fahri, kasihan dia," sahut Dhani dengan mata yang tetap menatap ke seluruh penjuru hutan.
"FAHRI! FAHRI! FAHRI!"
Lagi, teriakan itu muncul lagi, bahkan kali ini semakin terasa sangat dekat. Anu berlari ke arah semak-semak tepat berada di belakang tenda. Begitu sampai, dengan cepat Anu membiakkan semak belukar itu, namun tidak ada apa-apa.
Dhani sendiri memilih masuk ke dalam tenda guna melihat kondisi Fahri. Begitu masuk, ia dikejutkan dengan bibit Fahri yang membiru serta suara lirihan yang terus memanggil Ucok.
"Ri, jangan gini, Ri. Ucok selamat, Ucok pasti selamat."
Tubuh Fahri yang semula menggigil, kini malah mengejang dan kaku secara spontanitas. Dhani jelas saja kaget, dengan cekatan ia mencoba menyelamatkan tubuh rekannya ini. Beberapa kali ia mencoba dengan membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an, hingga percobaan yang kesekian kalinya, barulah tubuh Fahri melemas. Dan tak ada lirihan yang terdengar.
Anu yang tadinya melihat dari luar tenda, menghampiri Dhani. "Kenapa, Dhan? Aman gak?"
"Aman, insyaallah. Yang jelas, harus ada yang jaga Fahri di sini. Kalau bisa banyak. Aku rasa ada yang gak beres terjadi sama orang Ucok, sampe kayak gini. Jarang banget kejadian," jelas Dhani sambil memandang Rahman yang duduk termenung memandangi Fahri yang tidak sadarkan diri.
"Dah, kau jangan ikut melamun, nanti kayak Fahri lagi, " Anu menepuk pundak Rahman pelan, lalu meremas untuk menguatkan.
"Besok, ada sekitar 6 orang tinggal di sini yah, jaga Fahri. Gawat kalau gak dijaga, soalnya ada yang aneh sekarang, kalian jangan ngelakuin satu hal yang ngelanggar etika, inget itu. "
"Iya, Bang," jawab semua anggota yang berada di sana dengan serempak. Beberapa anggota memutuskan untuk tidur dan masuk ke dalam tenda, sedangkan sebagian lagi, terlihat berjaga malam sesuai shif yang ditentukan.
Beberapa anggota tim SAR juga bergabung bersama mereka, ada sekitar 12 anggota tim SAR, dan 5 Anggota relawan. Yang masing-masing, membawa perlengkapan yang mumpuni untuk pencarian besok.
"Bang, pernahnya Abang ngalamin hal gini?" Tanya Anu begitu sampai di samping salah satu petugas tim SAR.
"Kalau cari orang hilang di hutan pernah, tapi gak sehoror ini, sih. Kalau kali ini, sampai sekarang aja bulu kuduk Abang naik."
"Sama sih, bang. Bawaannya was-was mulu, kayak gak tenang, mau tidur pun gak bisa jadinya. Kok gitu yah, Bang?"
Anggota tim SAR itu menggelengkan kepalanya pelan. "Gak tau lah, dek. Tapi kayaknya ada yang udah kalian langgar ini sebenarnya, makanya bisa sehoror ini. Gak kebayang aku kalau jadi tiga temen kalian itu."
"Entahlah, Bang. Aku aja udah punya firasat buruk sebenarnya, apalagi inget kalau orang itu katanya gak bawa perlengkapan yang sesuai. Mungkin kalau mereka Deket sungai bisa ada kemungkinan selamat, tapi kalau gak, yah susah juga, Bang. Air itu yang penting."
Beberapa anggota mengangguk setuju, mereka sering diwanti-wanti ketika tersesat di dalam hutan, maka cari sumber air yang bisa dijadikan air minum, untuk menghindari dehidrasi yang berlebihan. Dan membuat akibat yang fatal.
"Iya kalau orang tuh ketemu sungai, kalau enggak?" Sangsi Rahman. Dhani dan Anu menggeleng serempak. "Ucok itu orang yang paling paham sama pendakian dan hal-hal lainnya, jadi gak mungkin dia berfikir dangkal, pasti bakal cari air itu."
"Yah, doakan aja, ketiga temen kalian itu berada di pinggir sungai jadi gak susah carinya. Nih, yah. Aku kasih kalian gambaran yang sebenernya, ada tiga kemungkinan buat temen kalian, yang pertama, ketemu dan selamat. Yang ke dua, ketemu dalam keadaan tidak selamat. Atau yang ketiga, sama sekali tidak ditemukan. Dan dari tiga kemungkinan ini, kalian harus siap sedia menerima apa pun itu, karena inilah resiko dari kegiatan kalian...,"
"..., Kalian yang memilih untuk mendaki, menjelajah hutan, dan tidur beberapa jam di hutan belantara. Kalau sudah memilih, berarti siap menerima konsekuensi," jelas anggota tim SAR dengan jelas sekelasnya.
"Gak ada tuh, orang yang mau temen nya hilang, tapi emang takdir yang buat dua hilang, kalian bisa apa? Makanya, apa pun, dan di mana pun, etika, attitude, dan adab itu nomor satu. Di mana pun. "
Rahman mengangguk, sama halnya yang disampaikan oleh keluarganya, setiap kali ia berangkat, semua anggota akan memberikannya wejangan untuk selalu menjaga etika dan adab, terlebih lagi di dalam hutan. Karena kita tidak akan pernah tau, kita hidup berdampingan dengan banyak makhluk lain. Sudah sepantasnya kita menjaga etika yang merupakan pondasi.
Malam ini, mereka isi dengan saling menceritakan pengalaman masing-masing, beberapa orang juga mengatakan pernah mengalami yang namanya tersesat dan terpisah dari rombongan, akan tetapi tidak serumit ini.
Rahman pada akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam tenda tempat Fahri berada, ia akan tidur bersama pemuda itu, sekaligus mengistirahatkan tubuhnya. Keganjilanan malam ini akan menjadi sejarah bagi dirinya dan yang lain.
Ia melihat ke arah Fahri yang tengah terlelap dengan tenang, tidak ada kerutan dan juga keringat yang tadinya menghiasi tidur sahabatnya ini. Kalaupun nanti Ucok dan kedua rekannya itu tidak dalam kondisi selamat, ia akan menerima semua itu dengan lapang, dengan catatan, jasad ketiganya ditemukan.
"Man, udah gimana?" Mata Rahman mengerjap pelan, yang tadinya sudah ingin tidur, tapi mendengar suara dari Fahri yang tiba-tiba bertanya, membuat kantuk Rahman hilang tak tersisa.
"Gimana apanya, Ri?"
"Bang Ucok gimana?" Tanya Fahri dengan suara yang sangat lirih
Rahman menghela nafas pelan. Bagaimana ia akan menjelaskan semua ini kepada Fahri, dirinya saja tidak mengetahui di mana posisi tiga rekannya itu. "Besok kita cari, ke arah hutan seberang sungai. Soalnya udah ganjil semua ini, tapi Aswad! Apa pun nanti hasilnya harus bisa terima kau, jangan drop." Peringat Rahman kepada Fahri yang terdiam dan menatap langit-langit tenda.
"Aku udah gak berharap orang itu hidup, Man. Yang aku harapkan orang itu ketemu, itu aja. Mau hidup mau enggak, aku serahkan sama tuhan. Tadinya aku optimis mereka pasti bisa bertahan, setidaknya udah sering mendaki, Kan? Tapi pas denger suara bang Ucok yang manggil-manggil, feeling aku udah beda, pasti udah terjadi sesuatu sama mereka."
Rahman terlihat ragu ketika akan mengucapkan sesuatu. "Emm... Sebenarnya, Wad. Tadi ada lagi suara itu, tapi manggil kau juga, kuat banget, sampe rasanya telinga kami itu berdengung."
Fahri menatap ke arah Rahman dengan sendu. "Kira-kira, kenapa yah bang Ucok manggil-manggil aku gitu? Minta tolong atau gimana?"
"Jangan langsung menyimpulkan itu suara Ucok, bisa jadi itu suara makhluk halus." Rahman dan Fahri langsung melihat ke arah pintu tenda, di mana ada Anu yang hendak masuk.
"Jangan percaya, logikanya aja, suara sekuat itu, apa iya suara manusia? Gak mungkin, kan? Kecuali orang itu pake toa, dan satu lagi, ke mana Ucok? Suaranya ada, kenapa orangnya enggak? Kan aneh."
"Tapi, Bang. Kalau seumpamanya itu beneran Bang Ucok gimana?"
"Astagfirullah, suara Ucok walaupun nge bas, tegas, kuat, itu gak akan bergema sekuat itu. Suara tadi itu udah buat telinga kita b***k sesaat, Kan? Kau Rahman, b***k gak?"
Rahman mengangguk, memang teriakan tadi itu membuat telinganya berdengung dan tidak bisa mendengar sesaat.
"Nah, udah jelas itu bukan Ucok. Jangan mau terseret sama makhluk yang begituan, yang jelas sekarang kita ikhtiar, yakin, dan jangan putus doa."
"Iya, Bang," sahut keduanya kompak.
"Tapi yang Abang heran, kenapa kok semua ini terasa aneh? Janggal gitu."
"Iya kan, Bang. Rasanya itu udah mistis banget, apalagi teriakan itu gak hanya sekali, dan yang disebut itu cuma Fahri doang."
Fahri menghela nafas, bayangan jika ketiga temannya tidak selamat satu pun membuat dadanya nyeri seketika. "d**a aku rasanya sakit kali kalau kayak gini, Bang ."
Anu mengangguk, jelas terasa sakit, bagaimanapun ketiga temannya itu merupakan orang yang selalu ada untuk mereka.
"Sekarang tidur ajalah, besok siapkan tenaga nyari orang itu, semoga aja ada titik terang."
Fahri dan Rahman berbaring, hingga tak lama kemudian, mata mereka secara perlahan mulai menutup. Anu yang menyadari kedua juniornya telah tertidur, langsung keluar dari tenda, melanjutkan diskusi bersama dengan Dhani.
"Dah tidur, Nu?" Tanya Dhani begitu melihat Anu yang menghampirinya. "Udah, Fahri juga udah tenang," sahut Anu.
"Menurut kau selamat lagi orang tiga itu?"
"Selamat, insyaallah. Walaupun udah pesimis aku sekarang, Dhan. Tau sendiri kalau kata orang tua yang kayak gini itu pertanda gak baik. "
"Iya sih, Nu. Gak terpikir di logika ku kayak gini, kayak ada yang salah."
"Ah, udahlah, ini-ini aja yang kita bahas, mending ngopi aja dulu, mana kopinya?"
"Belum masak airnya," ucap Dhani yang langsung pergi melihat air yang tengah mereka masak. Anu sendiri memilih duduk dan menatap tenda-tenda anggota yang berjejer. Tidak ada yang aneh, semua terlihat sangat normal, hanya saja kejadian tadi membuat beberapa pendaki yang ikut dalam pencarian ini merasa ketakutan dan ada yang memilih di dalam tenda saja.
"Nah, Nu. Kopimu."
Anu menerima secangkir kopi itu, ia menyeruput pelan sembari matanya tetap mengawasi sekitar. "Dhan. Keluarga Ucok dah di kasih tau?"
"Kayaknya udah, soalnya besok si Panji bakal datang."
"Loh, Panji gak ikut yah? Pantes gak ada yang ribut."
Dhani terkekeh geli, Dhani anak yang hiperaktif, sebelas dua belas dengan Fahri Aswad, tidak bisa diam. Pantas saja bisa akur satu kost hampir 3 tahun lamanya.
"Tadi si Azril pas ke bawah yang nelpon Panji, udah di kasih tau semua keluarga kok."
"Sendiri besok Panji ke sini?"
"Engga kayaknya, soalnya banyak kata Panji. Anak-anak lain juga pada mau ikut nyari."
"Alah, lebih baik Panji aja, kadang yang ikut itu bukan membantu, tapi cuma jadi penonton aja sih."
Dhani mengangguk, semakin banyak orang terkadang bukan membuat pekerjaan lebih cepet selesai, yang ada malah semakin riwet dan juga tidak me jamin orang banyak itu mau bekerja semua, terkadang ada yang hanya numpang nama dan kerjaannya cuma mencari tahu. Bukan membantu.
"Mau tidur gak, Dhan?"
"Nantilah, Bang. Sekalian gabung sama orang itu, jaga malam."
Anu mengangguk, ia menyeruput sekali lagi kopi yang ada di gelasnya. Semoga saja pencarian besok membuahkan hasil, dan mendapat hasil yang terbaik, meski itu kecil kemungkinan.
"Aku balek tenda lah yah. Itu tenda Fahri tolong diawasi, soalnya ada yang aneh sama lokasi itu. Takutnya Fahri kenapa-napa."
Anu memutuskan untuk tidur, menyiapkan energi dan menyusul anggota lain yang sudah terlelap.
Malam masih panjang.