2. Levrand House

2344 Words
AIMEE London, musim panas 2019 Keesokan paginya aku bangun kesiangan gara-gara membaca novel sampai larut malam. Alhasil, aku sekarang terburu-buru memasukkan pakaianku ke dalam koper, karena pagi ini kami sekeluarga akan pergi ke London mengunjungi bibi Adrienne. Aku juga memasukkan beberapa novelku ke dalam koper secara sembarangan, lalu menutup koperku yang sudah melebih kapasitas membuatku kesulitan untuk menutupnya. Aku menyeka dahiku dengan punggung tanganku dan tersenyum puas melihat keberhasilanku menutup koperku yang membutuhkan beberapa menit lebih lama. "Aimee, cepatlah turun! Sarapan pagi telah siap,’’teriak Mom dari bawah. "Aku akan turun sebentar lagi,’’teriakku tidak kalah kerasnya. Cepat-cepat aku membersihkan diri dan berganti pakaian, lalu menyeret koperku dengan susah payah ke bawah. Di ruang makan Dad, Mom dan adikku hampir menyelesaikan sarapan pagi mereka. "Pagi!”sapaku dengan suara ceria dan langsung memakan omelet yang sudah disiapkan dengan terburu-buru, karena aku tidak ingin ditinggal. "Kamu lama sekali turun. Sejak dari tadi apa yang kamu lakukan di atas?’’tanya Mom memperhatikanku lekat-lekat.”Aku tahu pasti kamu semalam membaca novel sampai larut malam dan bangun kesiangan.” "Mom benar,’’gumamku pelan. Mom mengeleng-gelengkan kepalanya melihatku. "Cepat habiskan makananmu!” Aku memakan habis omelet dengan cepat dan setelah membantunya membereskan bekas sarapan pagi, aku pergi ke depan rumah membantu Dad memasukkan koper-koper ke bagasi mobil dan Ginger telah duduk manis di dalam mobil dengan wajah ceria sambil memeluk bonekanya. Aku masuk ke dalam mobil yang disusul oleh Dad yang duduk di kursi pengemudi. "Dad, kenapa mom lama sekali?”tanya Ginger tidak sabaran. "Mom sebentar lagi datang.” Tidak lama kemudian Mom keluar rumah dengan terburu-buru. "Kalian sudah siap untuk pergi?”tanya Mom kepadaku dan Ginger. Kami berdua mengangguk bersamaan. Selama di dalam perjalanan Mom tidur , aku membaca novel, sedangkan Ginger asik menonton tv dan Dad berkonsentrasi mengemudi. Sesekali aku melihat ke arah jendela mobil melihat pemandangan yang di lalui selama dalam perjalanan. Aku mulai merasa mengantuk. Dalam hitungan menit, aku sudah terlelap tidur. Aku tiba-tiba berada di sebuah pesta yang sangat megah. Alunan musik klasik memenuhi seluruh ruang pesta dan membuatku takjub , aku melihat diriku sendiri memakai gaun sangat indah dan mewah. Gaun pesta dari abad sembilan belas. Sebelumnya aku tidak pernah memakai gaun, karena sejak dulu aku memang tidak suka memakai gaun, tapi untuk pesta ini aku membuat pengecualian. Ratusan cahaya lilin menerangi seluruh ruang dansa dan menyinari seluruh gaun pesta yang terlihat sangat luar biasa di mataku. Suara tawa dan musik bercampur menambah suasana pesta itu terlihat sangat ramai. Aku sejenak memandangi kekaguman apa yang ada di depan mataku. Pesta ini lebih mewah dan elegan dibandingkan pesta-pesta di abad dua puluh satu yang selama ini aku hadiri. "Maukah Anda berdansa denganku, nona?”tanya seorang pria. Aku terkejut melihat ada seorang pria yang mengajakku berdansa dan terlebih lagi pria itu sangatlah tampan yang memiliki sepasang mata abu-abu yang indah. Aku seperti terhipnotis oleh aura pesona pria itu dan mengiyakan ajakannya berdansa. Pria itu mengajakku ke tengah lantai dansa hampir semua orang yang ada di pesta itu memperhatikanku saat aku berdansa dengannya. Bisik-bisik mulai terdengar saat kami menginjakkan kaki di tengah lantai dansa, tapi aku berusaha untuk tidak mempedulikannya. Aku terus saja berdansa dan berdansa. Gerakan kakiku begitu lincah seperti aku sudah terbiasa melakukan dansa waltz padahal aku sama sekali tidak bisa berdansa. Pria itu selalu tersenyum selama berdansa denganku. Setelah alunan musik berhenti, pria itu membawaku ke halaman belakang untuk mencari udara segar dan kami berjalan-jalan di bawah langit malam bertaburan bintang . Dalam hati, aku bersorak riang dan membayangkan wajah kesal Wilona kalau saat ini aku sedang bersama seorang pria yang lebih tampan dari pacar barunya dan berasal dari keluarga bangsawan. Pria itu terlihat seperti seorang pangeran. Tiba-tiba pria itu mencium tanganku dan tersenyum kepadaku yang membuat hatiku melayang dan berbunga-bunga. Senyumannya sungguh mempesona yang membuat para wanita mana pun akan jatuh kepelukannya . Aku melonjak terkejut saat di lihatnya pria itu mendekatkan wajahnya. Aku merasa gugup ,senang sekaligus takut. Sebelumnya aku tidak pernah sedekat ini dengan seorang pria. Jantungku sudah berpacu dengan kencang dan aku merasakan keringat dingin mulai keluar dari tubuhku. Wajah pria itu semakin dekat dengan wajahku. Apakah aku akan diciumnya? Oh Tuhan berikan aku kekuatan untuk menerima ciumannya. Bagaimana ini Aku sudah mulai nampak frustasi akan dicium oleh pria tampan di depanku dan ini akan menjadi ciuman pertamaku. Seulas senyuman tersungging di bibir pria itu. Aku memejamkan mataku dan dirasakannya sentuhan lembut dan hangat di bibirku. aku merasa akan pingsan saat itu juga. Pria itu kembali tersenyum dan aku masih shock telah dicium olehnya. Ini sungguh luar biasa. Saat pria itu akan menciumku kembali , aku mendengar suara Ginger adiknya. "Kak Aiiiimeeee, banguuuun,’’teriak Ginger. Aku terbangun ternyata aku memang telah bermimpi. Aku menatap kesal adikku, karena telah menganggu mimpiku. "Kenapa kamu teriak-teriak kepadaku?”seruku marah. ‘’Kamu sudah menganggu mimpi indahku.’’ Aku memeloti adikku dengan galak. Mata Ginger langsung memerah dan berkaca-kaca. Tangisan Ginger pun pecah. "Dasar anak cengeng,”ejekku. "Moooom,’’teriak Ginger. Aku berdecak kesal dan saat itu juga aku mendapati Mom sedang menatapku kesal. "Ada apa lagi? Kenapa kalian berdua selalu saja bertengkar.” "Ginger sudah mengangguku mimpiku.” "Jadi karena itu kalian bertengkar?” Aku mengangguk."Tadi aku sedang bermimpi dicium oleh pria tampan .” "Dicium siapa?’’tanya Mom terkejut tidak percaya. "Aku rasa dia adalah Clayton,’’kata Aimee pelan. "Siapa dia? Apa dia pacarmu?”tanya Mom dengan pandangan menyelidik. "Bukan. Dia itu adalah tokoh utama pria dalam novel ini,’’kataku dengan tersenyum lebar sambil memperlihatkan novel yang berjudul Whitney, my love kepada ibuku. Mom langsung mengambil novel itu dari tanganku dan memperhatikan novel itu dengan dahi berkerut. "Jadi kau bermimpi dicium oleh tokoh utama pria yang ada di dalam novel ini?’’ Aku mengangguk dengan cepat. Mom menghembuskan napas panjang dan memperhatikanku lekat-lekat, lalu kembali menyerahkan novel itu kepadaku. ”Sepertinya kamu memang sudah ingin punya kekasih kalau begitu jangan terlalu banyak mengkhayal. Carilah calon suami yang baik dan dapat Mom percayai!’’ "Itu sepertinya akan sulit, karena aku ingin memiliki seorang kekasih dan calon suami sempurna seperti yang ada dalam novel-novel yang aku baca.” Mom kembali menatapku dengan pandangan sedikit kesal. ”Otakmu sudah banyak diracuni oleh novel-novelmu. Di dunia ini tidak ada pria sempurna seperti yang ada di dalam novel. Itu kan hanya sebuah cerita. Mom juga dulu sepertimu memimpikan dan mendambakan seorang pria seperti yang ada di dalam novel-novel, tapi Mom cepat-cepat membuang pikiran itu dan kembali kepada kenyataan. Hidup tidak seindah seperti yang ada dalam sebuah cerita. Sebaiknya lupakan saja khayalanmu itu ! Cepat ambil kopermu! Kita sudah sampai.” Aku melihat jam yang hampir menunjukkan jam empat sore. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih lima jam tidak terasa karena memimpikan Clayton. Aku mendesah. Whitney Stone, kamu sungguh beruntung mendapatkan pria seperti Clayton. Aku iri padamu. Aku menggurutu kesal dan aku pun mengambil koperku di bagasi mobil. Aku baru menyadari saat ini aku sudah berada di depan rumah bibi buyutku. Aku mengagumi rumah bibi Adrienne yang besar dan luas. Rumah bergaya Victoria ini berdiri dengan megahnya di tengah-tengah halaman yang luas. Aku berusaha mengangkat koperku yang berat menaiki tangga depan dengan susah payah. Kenapa harus ada banyak anak tangga di depan rumah keluhku kesal. Aku melihat Ginger yang masih memandang kesal kepadaku. Wajahnya masih basah oleh bekas air mata dan aku menyesal telah memarahi Ginger tadi. Sepertinya aku memang harus minta maaf kepadanya. Seorang pelayan pria membukakan pintu. Pelayan itu terlihat sudah tua. Kepalanya sedikit botak dan rambutnya sudah didominasi oleh warna putih. "Nyonya Adrienne sudah menunggu kalian. Silahkan masuk!’’ Pelayan itu menyingkir ke samping memberi jalan kepada kami. Bibi Adrienne menyambut ramah kedatangan kami disebuah ruang keluarga yang terlihat sangat hangat dan nyaman. Ibu langsung memeluk bibi Adrienne dan reuni keluarga ini membuatku terharu. Satu persatu bibi Adrienne memeluk Dad, Mom dan adikku dan pada saat pandangannya tertuju kepadaku, wanita tua itu memandangku dengan rasa tidak suka. Itu terlihat jelas dari tatapannya dan aku sudah menduga hal ini. Aku memaksakan diriku untuk tersenyum lebar. "Halo bibi Adrienne!’’sapaku seramah mungkin. Bibi Adrienne melihatku seakan ia sedang menilaiku. "Kamu sama sekali tidak berubah. Tubuhmu masih sangat kurus dan tidak berisi. Kamu juga tidak terlihat feminim sama sekali. Penampilanmu terlihat berantakan. Ini sungguh menyedihkan. Ini pertama kalinya seorang wanita dalam keluarga Mcgrath yang terhormat ada wanita sepertimu yang tidak memperdulikan penampilan,’’ujarnya sinis. Aku hanya diam saja begitu juga dengan Dad dan Mom. Aku mengakui kalau saat ini diriku memang sangat berantakan, karena aku baru saja bangun tidur . Bibi Adrienne memang sejak dulu selalu membanggakan keluarga dan keturunannya. Sejak zaman dulu keluarga Mcgrath selain berasal dari keluarga bangsawan juga terkenal dengan kecantikan dan ketampanan para anggota keluarganya. Menurut cerita Mom, dulu bibi Adrienne sangat cantik dan digilai oleh semua pria, bahkan banyak lamaran yang datang untuknya, tapi bibi Adrienne punya pilihan hatinya sendiri. Ia jatuh cinta kepada salah satu anggota keluarga Lanchester dan akhirnya mereka menikah. Bibi Adrienne memiliki tiga orang anak dan semuanya sudah menikah. Mereka sudah tidak tinggal lagi bersama dengannya kadang aku merasa kasihan kepada bibi buyutku itu . Aku tahu selama ini hidup bibinya itu kesepian. "Kalau kamu didandani sedikit, kamu akan terlihat sangat cantik meskipun bentuk tubuhmu tidak begitu menunjang. Aku akan membelikan beberapa gaun untukmu supaya kau terlihat tampil feminim.’’ "Hah gaun. Tidak terima kasih. Aku tidak memerlukannya.” Aku memandang horror bibi buyutku. Sejak dulu aku memang tidak suka memakai gaun. Aku ingat sewaktu Mom mengejar-ngejarku supaya aku mau memakai gaun dan akhirnya mom menyerah. Aku melirik mom dengan tatapan memelas. "Bibi Adrienne, sepertinya kami membutuhkan istirahat,’’kata Mom. "Ya kamu benar, Xylina. Pasti kalian lelah. Aku akan menyuruh pelayan untuk mengantar kalian ke kamar masing-masing.” Bibi Adrienne membunyikan sebuah lonceng dan tidak lama kemudian seorang pelayan yang membukakan pintu tadi datang. "George, antar mereka ke kamarnya masing-masing!’’ perintahnya. "Baik nyonya.” Pelayan itu memperhatikan mereka satu persatu, lalu berkata,’’Mari ikuti saya!’’ Kami mengikuti pelayan itu dan membawa kami ke lantai dua. Beberapa pelayan lainnya kemudian datang menyusul untuk membantu membawakan barang-barang yang kami bawa. Aku begitu senang mendapatkan kamar yang sangat besar. Aku langsung melompat ke tempat tidur dengan senang. Setelah puas merasakan keempukan kasurnya, aku turun dari tempat tidur dan membuka jendela kamar. Seketika itu juga angin sejuk segera masuk ke kamar. Jendela kamarku menghadap halaman belakang dan aku bisa melihat kolam renang yang cukup besar terbentang luas. Airnya yang biru berkilauan terkena sinar matahari begitu menggodaku untuk berenang di sana. Di kejauhan aku melihat sebuah mansion tua yang tidak terurus dan terlihat menyeramkan. Tiba-tiba bulu kudukku selalu berdiri saat tatapan mataku tertuju ke mansion itu tiap kali mengunjungi bibi Adrienne. Aku terakhir datang ke sini ketika usiaku sekitar 14 tahun dan baru sekarang aku mengunjungi bibi Adrienne lagi di rumahnya. Mungkin di sana ada hantunya pikirku. Entah kenapa aku merasakan ada sesuatu yang menarik tentang mansion tua itu. Suara ketukan di pintu mengejutkanku. Aku mengelus d**a untung saja tidak punya penyakit jantung kalau tidak pasti sudah terkena serangan jantung sekarang.”Masuk!’’ Seorang pelayan wanita masuk ke dalam kamar membawa nampan berisi sepoci teh dan kue yang terlihat sangat enak.”Aku membawakan teh dan kue untuk Anda.” "Terima kasih, Alina.” Aku langsung memakan kue itu dengan lahap.”Kue ini enak. Aku suka.” "Kalau Anda menginginkanya lagi bisa saya ambilkan di dapur.” "Aku rasa ini sudah cukup,’’kataku dengan mulut penuh kue. "Aku akan membantu Anda membereskan pakaian Anda.” Alina mulai membuka koperku yang sudah melebihi kapasitas dan novel-novel langsung berhamburan keluar. "Novel-novel itu bisa ditaruh di meja , nanti aku yang akan membereskannya.” Aku memperhatikan Alina salah satu pelayan bibi buyutku yang sedang sibuk membereskan pakaian untuk di masukkan ke dalam lemari. Alina seumuran dengan ibuku yang hampir menginjak empat puluh tahunan dan pelayan itu salah satu pelayan favorit di rumah bibi buyutku. Bibi Adrienne tidak mempunyai banyak pelayan hanya ada sepuluh pelayan termasuk tukang kebun."Alina, apa kau tahu tentang mansion tua itu?’’ Alina menatapku sebentar, lalu tersenyum.” Mansion itu bernama Levrand House. Dulu keluarga Levrand tinggal di sana.” Alina kembali kepada pekerjaannya. "Apa mereka pindah?’’ "Tidak ada yang tahu kemana mereka pergi. Mereka tiba-tiba menghilang begitu saja. Lenyap seperti di telan bumi. Tidak ada seorang pun yang tinggal di rumah itu selama kurang lebih 200 tahun hanya ada sepasang suami istri yang sesekali datang ke sana untuk melihat keadaan rumah itu.” "Kenapa tidak ada yang menempati rumah itu?’’ "Menurut kabar rumah itu berhantu. Di sana sering terdengar jeritan seseorang setiap malam dan saya sering mendengarnya, jika malam telah tiba.” Wajahku menjadi pucat. Kue yang sedang aku makan menjadi susah untuk aku telan. Aku paling takut kalau sudah berhubungan dengan hantu. Sejak masih kecil aku adalah seorang penakut dan tidak tahan,jika ada teman-temanku membicarakan tentang hantu. Aku lebih memilih pergi dari pada harus mendengarkan cerita-cerita hantu dari mereka. kue yang dipegangku terjatuh begitu saja ke meja. ’’Setiap malam?’’tanyaku tidak percaya.Sewaktu aku kecil dan terakhir datang ke sini aku tidak pernah mendengar jeritan hantu. ”Benar nona Aimee, setiap malam. Itu sebabnya tidak ada seorang pun yang mau tinggal di sana,’’kata Alina yang sekarang pandangan matanya terarah kepada mansion tua yang berada tidak begitu jauh dari rumah bibi Adrienne. Alina kembali mengalihkan perhatiannya kepadaku, lalu tersenyum. ”Apakah nona takut?’’ Aku langsung menganggukan kepalanya dengan cepat. Alina tersenyum miring, lalu pelayan itu mendekatkan wajahnya kepadaku. ”Hantu itu sering datang ke rumah ini . Aku pernah melihatnya. Saat aku pergi menuju kamarku pada malam hari.” Wajahku menjadi sangat pucat, lalu Alina tertawa geli saat melihat ekspresi wajahku. ”Saya hanya bercanda nona Aimee. Tidak ada hantu rumah itu yang datang ke sini.” Aku memandang cemberut kepada Alina. "Kamu sudah membuatku ketakutan setengah mati.” "Maafkan aku nona. Anda sejak masih kecil memang tidak berubah masih saja penakut. Aku sudah selesai membereskan pakaian Anda sebaiknya sekarang Anda beristirahat. Makan malam sebentar lagi.” Alina berbalik berjalan menuju pintu dan sekarang tinggalah aku sendirian di kamar. Suasana kembali menjadi hening yang terdengar hanyalah gemerisik dedaunan di pohon . Aku berjalan menuju jendela yang terbuka yang disambut oleh hembusan angin yang cukup kencang. Tatapan mataku kembali tertuju ke arah Levrand House. Apa yang sebenarnya terjadi kepada keluarga mereka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD