Chapter 10

1274 Words
Sore hari, rombongan Silla berpamitan kepada para pengurus Kuil. Dengan menaiki kuda, meraka lantas menempuh perjalanan kembali ke istana dengan beberapa prajurit yang berjalan kaki. Di barisan depan, Raja Kim Jeon menjalankan kudanya dengan diapit oleh kedua putranya. Sedangkan di belakang mereka, terdapat Hwarang Park Chang Kyun dan juga Hwarang Bae Ju Ho yang mengawal kunjungan mereka kali ini. Raja Kim Jeon sekilas memandang kedua putranya bergantian sebelum berucap, "bagaimana menurut kalian? aku ingin mendengar pendapat kalian?" Tae Hwa dan Joon Myeon sempat bertukar pandang, memilih siapakah yang akan menjawab duluan. Namun keputusan segera diambil oleh Tae Hwa. "Jika Kakak tidak keberatan, Kakak bisa berbicara lebih dulu." Joon Myeon mengulas senyumnya. "Aku akan mengambil kesempatan ini dengan baik ... apapun keputusan yang Ayahanda ambil, aku hanya bisa mendukungnya." Raja Kim Jeon tertawa dan memandang Tae Hwa. "Bagaimana denganmu, Putra Mahkota?" "Apapun itu, aku harap Ayahanda memikirkan nasib rakyat setelah ini." Raja Kim Jeon tampak mempertimbangkan sesuatu. "Moon Jun Young adalah orang yang cukup berpengaruh di Gaya ... mungkin akan sangat sulit mengendalikan rakyat Gaya tanpa memaksa mereka." Joon Myeon menyahut, "aku dengar rakyat Gaya sangat setia kepada Raja mereka ... tapi jika dibiarkan, mungkin dalam waktu cepat mereka akan menyusup ke dalam istana." "Ayahanda harus memperkuat penjagaan di perbatasan," timpal Tae Hwa. "Aku sedang mempertimbangkan untuk menutup Seorabol," ucap Raja Kim Jeon. Tae Hwa dan Joon Myeon serempak memandang ayah mereka. "Menutup Seorabol?" "Maksud Ayahanda?" "Menutup Seorabol dari dunia luar, dengan artian hanya para Bangsawan lah yang bisa keluar masuk Seorabol." Tae Hwa dan Joon Myeon saling bertukar pandang. "Bagaimana menurut kalian?" "Bukankah itu harus melalui persetujuan dari para menteri terlebih dulu?" Joon Myeon dengan cepat menimpali, "aku pikir itu tidak buruk ... dengan begitu kita bisa mengendalikan siapa saja yang bisa tinggal di Seorabol. Dengan menutup Seorabol, kita bisa memperkecil kemungkinan bahwa penyusup akan masuk ke dalam istana ... bagaimana menurutmu, Putra Mahkota?" Wajah Tae Hwa terlihat sedikit canggung. Menunjukkan penolakan yang tak mampu ia sampaikan ketika lisannya justru mengatakan hal lain. "Jika itu memang keputusan yang terbaik, aku tidak memiliki hak untuk mencampurinya." Mendengar jawaban dari sang adik, salah satu sudut bibir Joon Myeon sekilas terangkat. Setelahnya, mereka sedikit mempercepat perjalanan. Dan ketika hari sudah semakin gelap, mereka semakin dekat dengan istana. Tae Hwa memelankan laju kudanya dan menyamakan langkah kudanya dengan kuda milik Chang Kyun. Chang Kyun menegur, "Putra Mahkota terlihat sedikit gelisah, adakah hal yang membuat Putra Mahkota tidak tenang?" "Entahlah, perasaanku sedikit tidak enak." Chang Kyun memandang wajah Tae Hwa dari samping, mencoba memahami apakah kiranya yang telah membuat tuannya itu tidak tenang. Dan ketika mereka hampir sampai di istana. Saat itu Tae Hwa turun dari kudanya bersama kedua Hwarang lainnya. Bukan hanya itu, dibandingkan dengan berjalan di depan, ia lebih memilih berjalan di belakang bersama Chang Kyun hanya karena tak ingin orang luar mengetahui identitasnya yang sesungguhnya. Perjalanan mereka pun berakhir malam itu. Semua kembali ke paviliun masing-masing untuk mengambil waktu istirahat mereka. Ditemani oleh Chang Kyun, Tae Hwa melangkahkan kakinya menuju paviliunnya. Namun ketika langkah mereka hampir sampai di area paviliun, dari arah paviliun Kasim Cha berlari dengan tergesa-gesa. Melihat hal itu, Tae Hwa lantas menghentikan langkahnya. "Apa yang membuat Kasim Cha berlari seperti itu?" Tak ada jawaban karena memang pertanyaan itu lebih ia tujukan kepada dirinya sendiri. Dalam waktu singkat, Kasim Cha pun sampai di hadapan keduanya dengan wajah yang sangat panik. "Putra Mahkota ... Putra Mahkota sudah kembali?" "Kenapa kau terlihat panik seperti itu?" "Hamba, hamba membawa kabar buruk, Putra Mahkota." Raut wajah Tae Hwa tiba-tiba terlihat kaku. "Kabar buruk apa yang kau maksud?" "Putri Mahkota, sesuatu yang buruk terjadi pada Putri Mahkota pagi tadi." Rahang Chang Kyun dan juga Tae Hwa sontak mengeras. "Apa yang terjadi? Di mana dia sekarang?" "Putri Mahkota berada di paviliun." Tanpa berucap apapun lagi, Tae Hwa dan Chang Kyun segera bergegas menuju paviliun dengan langkah lebar mereka yang membuat Kasim Cha sedikit kesulitan untuk mengejar mereka. Dalam waktu singkat, keduanya sudah sampai di paviliun Putri Mahkota. Saat itu semua dayang yang berbaris di depan pintu serempak menunduk. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Tae Hwa segera membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, sedangkan Chang Kyun yang tinggal di luar menjatuhkan pandangannya pada Yeon Woo. "Apa yang terjadi?" Mendengar suara berat itu menegurnya, Yeon Woo lantas mengangkat wajahnya. Di sisi lain, Tae Hwa berjalan menghampiri Dayang Choi yang saat itu berdiri di luar tirai dan segera menghampirinya dengan langkah yang terburu-buru. "Putra Mahkota sudah kembali?" "Apa yang terjadi?" Wajah Dayang Choi terlihat sedikit memucat ketika ia tak menemukan kata yang tepat untuk menyampaikan berita buruk pada sang Putra Mahkota. "Katakan apa yang terjadi?" "Putri Mahkota ... Putri Mahkota kehilangan calon bayi di dalam kandungannya," ucap Dayang Choi penuh sesal dengan kepala yang tertunduk dalam. Sedangkan Tae Hwa membulatkan matanya dengan rahang yang semakin mengeras. "Apa ... apa yang baru saja kau katakan?" "Semua ini adalah kesalahan hamba yang tidak bisa menjaga Putri Mahkota dengan baik. Atas kesalahan hamba ... hamba pantas menerima hukuman mati, Putra Mahkota ..." "Keluar," gumam Tae Hwa, terdengar tak ramah ketika tatapan hangatnya berubah menjadi dingin. Menunduk dalam, Dayang Choi lantas berjalan menuju pintu dan menghilang dari pandangan Tae Hwa. Saat itu Tae Hwa melangkahkan kakinya mendekati ranjang. Perlahan, di singkapnya tirai tersebut dan kemudian berjalan masuk. Bisa dilihatnya bahu Hwa Goon yang sedikit berguncang ketika wanita muda itu berbaring memunggunginya. Tae Hwa lantas duduk di tepi ranjang. Terdiam untuk beberapa waktu ketika ia merasa ragu untuk menegur. Namun ia sadar bahwa keterdiamannya sama sekali tak bisa memperbaiki apapun. Dengan tatapan yang kembali melembut, pada akhirnya mulutnya pun bersedia untuk terbuka dan menegur. "Park Hwa Goon." Bahu Hwa Goon berhenti berguncang, tampak ia yang terkejut dengan suara familiar yang terdengar di balik punggungnya. Wanita muda itu bangkit dari tidurnya dan segera menoleh ke sumber suara. Namun saat itu tangisnya kembali terdengar. Tae Hwa melipat satu kakinya di atas ranjang dan sedikit mendekat. Ia kemudian mengulurkan kedua tangannya, membawa yang terkasih ke dalam dekapannya. Membuat tangis itu kembali menjadi. "Maaf ... maafkan aku ..." lirih Hwa Goon yang bersahutan dengan isak tangisnya. Tangan kanan Tae Hwa mengusap surai hitam istrinya itu. Mencoba menenangkan meski hatinya sendiri tak bisa memiliki ketenangan itu. "Tidak perlu meminta maaf, ini bukanlah kesalahanmu." Hwa Goon menggeleng, dan semakin menenggelamkan wajahnya. Menangisi nasib buruk yang menimpanya hari itu dan menumbuhkan penyesalan yang mendalam dalam hatinya. "Maaf ..." "Jangan bicara lagi ... harusnya aku yang mengatakan hal itu. Maaf ... maaf karena sudah meninggalkanmu." Tae Hwa diam-diam menghela napas beratnya, merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Untuk kali pertama ia merasakan ada sesuatu yang seperti tengah menggerogoti hatinya dari dalam dan menimbulkan rasa sakit yang perlahan membuatnya sulit untuk bernapas. Dia marah, sangat marah. Namun ia tidak bisa melampiaskan kemarahannya itu sebelum ia tahu apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga ia sampai kehilangan calon bayinya. Dia bisa saja menyalahkan Hwa Goon atas kejadian ini. Namun akal sehatnya menyuruhnya untuk menunggu. Menunggu hingga ia mengetahui kebenaran yang terjadi ketika ia meninggalkan istrinya tersebut. "Kenapa jadi seperti ini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD