Chapter 13

1435 Words
Hari-hari terlewati dan semua berubah sejak hari itu. Hubungan Hwa Goon dan Tae Hwa kembali pada awal pertemuan mereka. Bukan karena Tae Hwa, melainkan Hwa Goon lah yang sepertinya tengah menjaga jarak dengan suaminya itu. Sejak saat itu, Hwa Goon kembali menjadi sosok yang lebih pendiam dari sebelumnya. Tentunya hal itu membuat Tae Hwa merasa sangat bersalah. Bukannya tak berusaha untuk mendekati Hwa Goon. Setiap hari ia selalu berusaha mendekati wanita itu, tapi entah kenapa semua semakin terasa sulit sejak hari itu. Lalu bagaimana dengan hubungan terlarang antara Tae Hwa dan Joo Hyun? Semua yang pernah terjadi di antara mereka berdua telah berakhir malam itu. Meski Joo Hyun secara diam-diam sering mengunjunginya, sepertinya Tae Hwa benar-benar telah menutup hatinya untuk wanita itu. Semua berjalan terlalu cepat bagi Tae Hwa, di mana tak ada yang berjalan dengan baik sejak kembalinya ia ke istana. Tak berbeda dengan keadaan di sana. Hatinya pun turut berantakan meski yang dilihat oleh orang-orang di raut wajah tenangnya hanyalah kedamaian. Pagi itu, sang Putra Mahkota berdiri di bukit yang berada di belakang istana. Membiarkan cahaya matahari yang masih malu-malu memberikan kehangatan pada tubuhnya yang berdiri di antara ribuan embun yang menyergap rumput-rumput liar di bawah kakinya. Tak bermaksud mengusik ketenangan pagi itu. Hwa Goon datang mendekat dengan tatapan asing yang selama ini ia tunjukkan. Berdiri satu meter di belakang Tae Hwa, pandangan wanita itu menangkap bahu tegap sang Putra Mahkota. "Putra Mahkota." Netra Tae Hwa bereaksi akan panggilan itu. Namun seakan berbalik hanya akan mengembalikan kenangan buruk pada wanita itu, dia tetap bertahan pada posisinya. "Kau datang seorang diri, Putri Mahkota?" "Hamba ingin berpamitan." Mendengar hal itu, Tae Hwa hendak berbalik. Namun pergerakannya terhenti oleh suara Hwa Goon. "Mohon jangan berbalik." Tae Hwa menggerakkan ekor matanya ke samping, dan bahkan hal itu tak cukup membantunya untuk bisa menemukan sosok Hwa Goon di pandangannya. Dia kemudian berucap, "sebesar itukah kebencianmu kepada suamimu ini?" "Hamba tidak pernah memiliki perasaan seperti itu terhadap Putra Mahkota." "Lalu ... dosa yang manakah yang sudah kuperbuat hingga istriku sendiri melarangku untuk berhadapan dengannya?" "Karena sangat menyakitkan melihat wajah Putra Mahkota untuk saat ini." Tae Hwa sempat tertegun. "Katakan padaku." "Hamba tidak bisa mengatakannya." "Kenapa?" "Karena Hamba, akan segera kehilangan Putra Mahkota begitu hamba mengatakannya." "Kau membuatku takut, Park Hwa Goon." "Hal apakah yang membuat Putra Mahkota takut?" "Aku tidak bisa mengatakannya padamu." "Kenapa?" "Karena aku, mungkin akan segera kehilanganmu jika aku mengatakannya padamu." Hwa Goon bungkam ketika Tae Hwa berhasil mengembalikan apa yang ia katakan sebelumnya. Wanita itu lantas berjalan dengan tenang menuju ke tempat sang Putra Mahkota. Berdiri tepat di belakang pria yang selalu ia kagumi. Tae Hwa pun tahu akan hal itu, namun sang Putra Mahkota tetap pada posisinya. Tae Hwa kemudian berucap, "jangan pergi." Hwa Goon maju selangkah dan memeluk Tae Hwa dari belakang. Memberikan sedikit kejutan bagi sang Putra Mahkota. Tak mendapatkan respon lebih dari Hwa Goon, Tae Hwa kembali berucap, "setidaknya jika kau menolak untuk tinggal, kita bisa pergi bersama." "Hamba pergi untuk menghindari Putra Mahkota." Batin Tae Hwa tersentak. "Apa maksud dari ucapanmu?" Hwa Goon menghela napas dengan pelan sebelum memberikan jawaban yang sebenarnya telah memberatkan hatinya. "Sebentar saja ... mari kita berpisah." "Kenapa begini?" Merasa tak ada lagi yang ingin disampaikan, Hwa Goon pun melepaskan pelukannya dan mengambil tiga langkah ke belekang. Bermaksud mengakhiri pertemuan singkat mereka pagi itu. "Hamba mohon undur diri—" "Mari kita buat kesepakatan," celetuk Tae Hwa, berusaha untuk menahan wanita muda itu sedikit lebih lama. "Kesepakatan apa yang Putra Mahkota maksud?" "Aku ... akan merelakan jabatanku untuk bisa hidup bersamamu." Hwa Goon terkejut mendengar hal itu keluar dari mulut Tae Hwa. "Apa yang baru saja Putra Mahkota katakan?" Tae Hwa berbalik. Mengabaikan peringatan Hwa Goon, ia lantas menghampiri istrinya dan berdiri di hadapan wanita muda itu. Satu tangan Tae Hwa meraih telapak tangan Hwa Goon. Sedikit mengangkatnya ke udara dengan genggaman lembut yang ia berikan. "Setelah kau pergi ... aku akan menyerahkan takhta ini kepada Pangeran Joon Myeon. Dan setelahnya, kita bisa pergi bersama." "Putra Mahkota ..." "Tidak masalah bagiku harus hidup sebagai seorang petani. Asal aku bisa hidup bersamamu, aku akan melakukannya." Hwa Goon menjatuhkan pandangannya. "Putra Mahkota tidak perlu melakukan hal itu. Jika Putra Mahkota ingin menikah kembali, hamba tidak akan melarang." "Bukan itu yang kuharapkan. Dengan berbicara seperti itu, kau sama saja meragukan suamimu." Hwa Goon kembali mengangkat pandangannya. Menatap netra teduh milik Putra Mahkota yang selalu ia kagumi setiap waktu, namun sekarang justru memberikannya luka setiap waktu. "Putra Mahkota tidak bisa melakukan hal itu." "Seorang pewaris takhta memang tidak akan pernah mampu memenuhi janjinya kepada seorang wanita. Namun akan berbeda jika dia hanyalah seorang pria biasa tanpa jabatan yang tinggi." "Putra Mahkota tidak bisa melakukan hal itu." Sekali lagi Hwa Goon menegaskan, dan sekali lagi Tae Hwa menunjukkan pemberontakannya. "Aku, Kim Tae Hwa ... aku bersumpah di hadapan istriku yang sudah terluka karena perbuatanku, bahwa aku tidak akan pernah menikahi wanita lain lagi setelah ini." Tatapan Hwa Goon gemetar. Tak percaya jika sumpah itu terdengar begitu mudah diucapkan oleh pria di hadapannya kini. "Aku tidak akan pernah menikah lagi seumur hidupku ... tidakkah kau mempercayai hal itu, Park Hwa Goon?" "Kenapa? Kenapa Putra Mahkota melakukan hal ini?" "Pergilah, dan tunggu aku di sana. Setelah aku melepaskan tahkta ini, aku akan menjemputmu." Hwa Goon menggeleng. "Putra Mahkota tidak perlu melakukan hal ini. Silla membutuhkan Putra Mahkota." "Tapi aku membutuhkanmu ... sebagai seorang pria." Batin Hwagoon tersentak. Dia kemudian menarik tangannya dari genggaman Tae Hwa dan memalingkan wajahnya. "Sudah waktunya untuk pergi. Jaga diri Putra Mahkota baik-baik ... selamat tinggal." Hwa Goon berbalik dan segera berjalan pergi meninggalkan Tae Hwa yang sebenarnya tak rela untuk melepaskan kepergiannya. Dari jauh-jauh hari, Hwa Goon sudah mengatakan keinginannya untuk menenangkan diri di Kuil. Dan meski Tae Hwa berat untuk melepaskan wanita muda itu, pada akhirnya Tae Hwa menyetujui keinginan Hwa Goon. Namun hanya sampai lima belas hari saja. Setelah tak lagi terlihat sosok Hwa Goon dalam pandangannya. Tae Hwa kembali menghadap ke arah sebelumnya, kembali merasakan sepi yang semakin bertambah di kala sang surya melambung lebih tinggi. Hwa Goon pergi, namun saat itu Chang Kyun datang menggantikan posisi wanita muda itu. Ekor mata Tae Hwa bergerak ke samping tatkala ia menyadari siapakah sosok yang kini berdiri di belakangnya. "Kau memiliki sesuatu untuk dikatakan, Chang Kyun?" "Putri Mahkota sudah pergi." "Lalu?" "Apa tidak masalah membiarkan Putri Mahkota pergi seperti ini?" "Ini adalah pilihannya." "Izinkan hamba untuk ikut dalam perjalanan ini." "Dia ingin sendiri ... itulah sebabnya dia pergi. Berikan waktu padanya dan aku akan mengakhiri semuanya." Changkyun memandang penuh tanya. "Apa yang sedang Putra Mahkota bicarakan?" "Lepaskan semuanya ... apa yang kau miliki saat ini, hanya akan membawa petaka bagi hidupmu." Batin Chang Kyun tersentak. Merasa tak asing dengan perkataan itu, seperti Tae Hwa yang hanya ingin mengingatkannya tentang perkataan seseorang. "Mungkinkah kakek itu sudah sampai di Nirwana," Tae Hwa membawa pandangannya bertemu dengan langit dan justru perkataannya barusan berhasil mengejutkan Chang Kyun. "Putra Mahkota ... apa yang sedang Putra Mahkota pikirkan?" Pandangan Tae Hwa kembali terjatuh dengan seulas senyum yang menghiasi kedua sudut bibirnya. Menampakkan kesedihan dalam sorot matanya. "Bukankah itu seperti sebuah pengingat untukku?" "Putra Mahkota tidak bisa mempercayai perkataan orang asing yang baru Putra Mahkota temui. Mohon, jangan mengambil keputusan yang salah." "Aku ... akan meninggalkan takhtaku, Chang Kyun." "P-putra Mahkota." Chang Kyun benar-benar tak habis pikir dengan ucapan Tae Hwa. Apakah sang Putra Mahkota benar-benar serius ingin meninggalkan takhta. "Aku akan melepaskan semuanya dan mengabdikan hidupku untuk keluarga kecilku. Aku berpikir bahwa itu mungkin lebih baik." Chang Kyun menundukkan kepalanya dan lantas bergumam, "mohon, pertimbangkan kembali keputusan Putra Mahkota." Kembali memandang langit, segaris senyum tipis terlihat di kedua sudut bibir Tae Hwa. "Aku akan menjadi pecundang untuk menebus semua dosa yang telah kuperbuat pada istriku. Mulai hari ini ... kau bisa meninggalkanku, Park Chang Kyun."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD